32. The parallel thing

1.1K 381 112
                                    

Mereka kembali memulai pada lantai 8.


Lalu lantai 6,


lantai 4,


dan langkah mereka terhenti di lantai 3.

Mereka tak cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dengan banyaknya anak-anak tangga itu. Gedung besar menjadi sulit mereka lalui hanya dengan melewati tangga, apalagi setelah bertarung dan melalui batin yang penuh guncangan. Nekatnya mereka memutuskan untuk keluar dari area tangga darurat, berjalan dalam kesunyian mencari tempat yang lebih ruang dengan udara setelah sadar semua bahaya tak berada di sekitar tempat itu.

Beruntungnya, mereka benar-benar menemukan kekosongan tepat di dalam sebuah studio teater. Studio itu seolah mengizinkan mereka mengambil jeda disana, setidaknya membiarkan tubuh itu beristirahat. Sebagai orang yang terdepan, Mark Lee meminta agar teman-temannya berhenti sejenak.

"Beristirahatlah."

Mendengar instruksi itu, satu persatu dari mereka mendaratkan tubuh, menikmati sunyi yang mungkin hanya sesaat.

"Kalian boleh tidur." Kata Huang Renjun. "Aku yang akan berjaga."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku tak bisa tidur di saat-saat seperti ini."

Mereka mengangguk —terkecuali Grace dan Chenle karena sudah sangat letih. Tak ada alasan lain selain masih terhenyak karena kejadian tadi. Zhong Chenle sendiri sengaja menyembunyikan wajahnya, beristirahat dalam rasa bersalah itu. Mark, Jeno dan Jaemin perlahan memejamkan mata dengan tenang, membiarkan badan dan otaknya memperoleh waktu untuk diam.


Lain berbeda terjadi pada Osaki Grace Eun.


Tampilannya yang sudah sangat berantakan, rambut yang dikuncirnya dihadiri beberapa helai anak rambut yang berjatuhan. Balutan pakaian di bagian lengannya sobek, beberapa kulitnya pun tampak membiru karena lelah. Tetapi, itu semua tak akan pernah sebanding dengan rasa sakit yang mungkin akan ia bawa hingga mati.


Gadis sepertinya tak bisa melupakan hal menyakitkan begitu saja. Segalanya terus terulang, mengakibatkan dirinya kembali menangis untuk kesekian kali dalam keheningan. Grace berusaha menahan suaranya agar tak mengganggu rekan-rekan yang masih bertahan hingga detik ini.

Terkecuali lelaki yang sedang berjaga di sampingnya yang tentu masih tersadar.

Huang Renjun melirik jam tangan, menunjukkan waktu dini hari kemudian mengamati Grace lagi. Kehilangan 3 orang yang menjadi teman dalam keseharian, siapa yang tahan akan itu? Kuat pun masih belum cukup menggambarkan bagaimana ia bisa bertahan sampai detik ini.

Dibukanya jaket denim yang membalut tubuh, lalu Renjun jadikan penghangat untuk Grace. Merasakan hal itu, Grace semakin sendu karena terbayang-bayang akan hari-hari esok.

"Kau tidak akan pernah sendiri." Bisik Renjun. "Tak akan pernah."

Bagaimana? Apa itu akan terjadi?

Senyuman hangat Shotaro yang selalu menyambutnya ramah, panggilan noona dari Park Jisung saat meminta bantuan polling, serta kegencaran Lee Haechan guna mengungkap sebab-akibat padanya bersama dengan rolling eyes itu.

Lantas apalagi harapannya?







"Eun." Panggil Renjun. "Apa kau ingin tahu hal tak biasa dan menyakitkan untuk orang sepertiku?"


"..."


"Ada ingatan lain di memoriku."


"..."


"Kau mungkin tak akan percaya dengan ini, tapi—"

"Rasanya seperti mimpi, kala itu diriku seolah mempunyai enam sahabat namun berakhir menghilang di sebuah gedung. Ada yang tampak sepertimu, ada yang tampak sepertiku. Ada yang ingin menjadi vampir, ada yang diam-diam suka padamu. Ada yang memiliki cerita yang sama, namun dengan alur berbeda."


"..."


"Dunia parallel, kau percaya itu?"


Isakan Grace tiba-tiba mereda, lambat laun berganti mengamati Renjun dan ceritanya.

Hanya orang konyol yang akan percaya jika masing-masing manusia punya kehidupan berbeda di dunia lain.


"Ceritanya akan panjang, bersandarlah dan dengarkan aku."

Mulanya hanya memandangi bola mata Renjun, tetapi tak lama berselang Grace meletakkan kepalanya di bahu lelaki Huang ini.

"Anggap saja, ada seorang gadis bernama Grassie. Gadis utama yang selalu bersamaku sebagai diriku sendiri di dunia itu. Si ceria yang menjadi pemberani karena sebuah alasan. Kekurangannya, ia sering kali tak sadarkan diri saat shock. Namun aku paham, karena ia telah melalu banyak hal berat. Keberanian dan keteguhannya menjadi alasan aku suka padanya."

"Sayangnya bukan hanya diriku, tetapi ada yang lain yang merasakan hal serupa denganku."


Mata Grace menemukan jemari Renjun yang menunjuk Jeno Abraham, sedang tertidur pulas.


"Tak peduli dimana pun ia berada, ia akan sulit mengerti akan perasaannya. Lalu dia," kali ini mengarah pada Mark. "Di dunia itu, dia sama persis dengan dirinya disini. Ambisius karena tekanan. Dan mereka," —Jaemin juga Chenle. "Aku rasa mereka mempunyai kesamaan, sedikit buram."


Semakin lama, Grace merasakan hal yang tidak biasa. Ia mendongak, memandangi Renjun dengan segala pertanyaannya. Mendadak ada rasa lain terbayang. Menemukan fakta kalau dirinya berada dalam studio teater, gedung Le Reve.


Lagi dan lagi, déjà vu.







"Injun—"


"Ah, nama itu." Ucapnya dengan senyuman tipis.


Aku tetap tak paham, batin Grace.


Lantas, apa yang sebenarnya yang telah terjadi? Cerita Huang Renjun menjadi teka-teki yang sangat menyimpang. Dunia parallel? Apa dia sedang menyampaikan sebuah dongeng?







"Suara bising, lalu sebuah portal terbuka di dalam gedung itu. Semuanya menghilang dalam sekejap untuk menanggungnya, kecuali satu orang pemuda. Aku terbangun dan menyadari, mendapati diriku di dunia ini."

"Injun, sebenarnya ada apa denganmu?"

Jakun lelaki itu bergerak, menelan saliva untuk menghentikan semuanya. "Tidak, hanya—" kemudian ia menoleh, menatap Grace sepenuhnya. "Hanya aku yang menyadari semuanya."

"..."

"Aku merindukannya."

"..."

"Aku merindukan Grassie."

"..."

"Aku tak sempat mengatakan, jika lelaki ini sangat suka padanya."







Buk—







Grace tiba-tiba saja terlelap, tepat di bahu Renjun.







"Aku tak tahu, apa sebuah keberuntungan ataukah kutukan. Karena telah menjadi satu-satunya yang paham dengan dunia analog ini, adalah sebuah penderitaan bagiku."


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now