17. One key

1.1K 416 48
                                    

Pergerakan Grace membeku, tergantikan dengan pikirannya yang berlarian tanpa arah. Ia berusaha berpikir jernih, dengan tatapannya yang perlahan melihat ke arah Jisung yang masih membereskan barang-barang. Tak berselang lama, Grace menemukan orang yang menyadari perkara yang sama.

Huang Renjun, dan satu orang lainnya ikut menyadari situasi yang sama.

Renjun ikut memandang gadis Osaki ini, berharap mereka sedang tidak memikirkan hal yang sama.

Jika mendiang ibunya telah kehabisan obat sebelum meninggal, lantas kenapa benda itu masih ada pada Jisung sendiri?


Sret—


Tubuh Grace beranjak begitu saja saat seseorang bergegas menariknya. Degupan jantung keduanya seolah saling beriringan, begitu paham dengan keanehan yang baru saja terjadi. Jangan harap jika mereka bisa menanyakan hal itu pada Park Jisung secara to the point.

"Pura-pura untuk tidak melihatnya, dan jangan membahas itu hari ini." Kata Mark Lee —manusia yang menarik Grace.

"Tapi kenapa?"

"Aku rasa waktunya tak tepat. Jangan gegabah atau hal yang tidak diinginkan terjadi."

Benarkah?

Di saat-saat seperti ini mereka memang tak boleh melakukan kecerobohan. Mereka akan mulai berkompetisi, baru saja akan memulai latihan mereka.

"Jika apa yang kupikirkan terkuak, maka team kita akan dieleminasi bahkan sebelum semuanya mulai. Dan kalau itu terjadi, maka perjuanganku sampai detik ini menjadi sia-sia."

Ya, nyatanya bukan hanya Grace dan Renjun yang menaruh curiga, tetapi si tuan ambisius ini pun merasakan hal yang sama.

"Bagaimana aku bisa menyembunyikan masalah serius ini?"

"Diam saja." Mark semakin mendekat pada wajah Grace untuk memberi penekanan. "Jangan bodoh, jangan hancurkan rencanaku. Atau kau yang kusingkirkan? Untuk orang sepertimu sangat mudah melakukannya."

Grace mengalihkan pandangannya dan menjauh. Beberapa detik kemudian Renjun datang guna melerai amarah Mark, mencegah perkataannya semakin menampar Grace yang mulai menukik.

"Sudah cukup." Kata Renjun. "Kenapa kau suka mengganggu perempuan?"

"Kenapa kau ikut campur?"

"Kau suka dengannya?"

Mark mendengus, meremehkan ucapan Renjun yang baru saja terlontar. "Aku? Dia? Matamu." Kemudian beranjak meninggalkan Grace dan Renjun dengan tatapan kesalnya.

Grace menggigiti bibir bawahnya seraya memandangi kepergian Mark, kembali disibukkan dengan pikiran yang tak seharusnya ada.

"Kau baik-baik saja?"

"Eum, bisa kau lihat." Balas Grace berusaha terkekeh, berusaha. "Aku sudah biasa mendapat teguran darinya, tak masalah."

"Berbohong tidak akan memperbaiki situasi."

Senyuman Grace perlahan memudar karena disadarkan oleh ucapan lelaki Huang ini. Bagaimana bisa?


"Hyung, noona."


Grace kembali membeku, mendengar suara Park Jisung yang baru saja keluar dari kelas. Satu tangannya meremas ujung kemeja yang digunakan, apalagi saat pemuda tersebut berjalan mendekat dengan senyumannya yang merekah.

"Kenapa belum ke studio?" Tanya Jisung.

"Kami sedang membahas sesuatu." Balas Renjun dengan tenang. "Ingin bersama kami?"

Jisung mengangguk setuju. "Tentu."

Setelah itu mereka berjalan untuk menyusul teman mereka yang lain di studio. Jisung berdiri tepat di samping Grace, merasakan hawa mendebarkan karena perkara sebotol obat jantung tadi. Sadar jika Grace tak seperti biasanya, Jisung pun kebingungan. "Apa kau sakit?"

"U-uh?" Si gadis menjadi terbata-bata apalagi saat matanya bertemu dengan pandangan Jisung. "Ti-tidak, aku hanya—"

"Sudah sampai." Potong Renjun. "Kalian harus fokus hari ini, berikan yang terbaik." Tambahnya dan bergegas masuk, disusul Grace yang reflek mengikuti guna menjauhi Jisung.

Grace dengan cepat menuju tempatnya. Mengumpulkan fokus setelah menyingkirkan beban, lalu memetik senar gitar barunya, memecahkan pikiran yang satu di saat pikiran yang lain masih bergentayangan.


"Ah, bagaimana ini?" Kata Grace menahan suara usai menghancurkan latihannya sendiri. Beberapa temannya tersadar, namun tak menunggu lama mereka kembali pada kesibukan masing-masing.

Terkecuali Jeno dan Jisung.

"Bagaimana caraku menghadapinya?" Gumamnya untuk kedua kali.

Ini menjadikan kesempatan pada Jeno Abraham untuk bertanya, karena Grace tak biasanya seperti ini. "Kau baik-baik saja, Grace?"

Tak ada jawaban.

"Osaki Eun?"

Masih sama. Tetapi jemari gadis itu tampak terkepal, dengan kepala yang menunduk akibat stress yang semakin menggodanya.

"Hey, apa—"


"Bisakah kau tidak menggangguku? Lagu ini—"


Mereka otomatis terhenyak, mendengarkan suara seorang Osaki Grace Eun yang meninggi. Baru kali ini, baru saat ini ia terdengar sekesal itu.

"Apa, apa aku telah berbuat salah padamu?" Tanya Jeno dengan suara lembutnya, merasa bersalah. "Kalau itu karena aku menyambarmu, aku minta maaf. Aku tak sengaja, maafkan aku. Aku salah."

Dua di antara mereka yang lain mendecih, menyepelekan ucapan Jeno yang terdengar begitu klasik. Entah si Abraham ini hanya berpura-pura atau memang berlagak tidak tahu diri.

"Tidak, tidak seperti itu." Bantah Grace dengan kebohongannya. "Lagu buatanku membuatku repot dan membebani otakku. Emosiku sedikit tak terkendali akhir-akhir ini. Maaf jika aku terdengar tak sopan."

"Sudah, sudah. Jangan gaduh, kita akan berkompetisi yang berarti kita akan berkerjasama." Kata Jaemin mencairkan suasana. "Ayo kembali berlatih."

Jeno tersenyum.


Sly.


Tiba-tiba Lee Haechan berdiri, membentuk raut kebosanan dan rolling eyesnya untuk mencari sesuatu yang bisa menghibur. Dirinya terhenti, tatkala menemukan gitar klasik tidak terpakai. "Kalian ingin chemistry yang baik? Bagaimana kalau saling meminjamkan alat musik?"

Uh?

Mark memiringkan kepalanya, menunggu Haechan menjelaskan lebih rinci.

"Berusahalah terlihat dekat. Kau semua bodoh? Siapa yang punya ini? Aku akan meminjamnya."

"A-aku." Ucap Grace.

Haechan tersenyum miring kemudian naik ke atas sebuah meja untuk memainkan gitar milik Grace itu. Belum sempat menyelesaikan tiga kunci, Haechan berhenti. Tangannya menggoyangkan badan gitar, yang menimbulkan bunyi dari dalamnya. "Apa ini—"


Tak!


Sebuah benda terjatuh dari lubang gitar begitu Haechan membaliknya. Mereka semua menemukan sebuah memori DVR mobil atau car blackbox.

Semuanya spontan bertanya-tanya.

Apalagi begitu Jisung bangkit dan berlari mengambilnya dengan wajah ketakutan.

"Jisung." Panggil Chenle. "Ada apa dengan benda itu?"


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now