14. Rumah duka

1.2K 429 59
                                    

Keesokan harinya, aku dan rekan-rekan datang ke rumah duka yang juga menjadi tempat rumah abu, tempat Ibu Park Jisung disemayamkan. Dengan balutan pakaian berwarna hitam, kami masuk dan menemui Jisung yang tengah terdiam di samping peti mendiang ibunya. Dia diam, benar-benar diam menatap kotak persegi panjang yang besar itu.

Berkali-kali aku melihat teman-temanku, enggan berpisah meski pada kenyataannya kami tak sedekat ini. Beberapa orang menanyakan tentang kami, karena baru kami teman Jisung yang hadir di upacara pemakaman ini.

Nyatanya, Jisung terkenal sebagai orang yang mengejar peringkat hingga tak punya waktu untuk bergaul di sekolahnya. Jauh berbeda dengan dirinya saat di tempat kursus. Namun kurasa, ini bukanlah alasan tepat jika teman-temannya tak datang untuk sekadar menyampaikan kata turut berduka.

Zhong Chenle menemani sang sahabat karibnya begitu kami tiba. Jadi yang tersisa bersamaku sekarang adalah 5 pemuda ini. Aku tak banyak mengobrol, menyerahkan semua ucapan pada dua leader, Mark dan Jeno.

Saat menikmati hidangan yang disediakan, aku bermaksud mengabari saudaraku jika hari ini aku tak ada di rumah seperti biasa. Aku memainkan ponsel, mengutak-atik aplikasi pesan sampai membuka browser karena terlanjur bosan. Tagar yang trending hari ini, bertambahnya kasus serangan oleh mahkluk vampir. Aku merinding, tapi itu tak bertahan lama. Semakin waktu berjalan itu terasa semakin biasa, meski pada kenyataannya membahayakan semua manusia.

Diriku yang terlanjur sok berani, atau karena memang beban hidupku yang lebih berat. Entahlah.

"Teman-teman." Ucapku membuat mereka —kecuali Mark mengalihkan pandangan. "Aku ingin ke toilet."

"Hati-hati." Kata Jeno.

Hati-hatinya saat ini terdengar tidak berguna.

Tetapi aku mengangguk ringan sebelum bangkit untuk berjalan mencari toilet. Tidak begitu jauh, namun setelah masuk ke dalam toilet, aku sadar jika ini terletak persis di samping tempat abu. Bulu kudukku merinding saat tahu jika di bagian yang kusebutkan tadi begitu sunyi.


Sret.


Kurasakan seseorang menyebrang dari sebuah ruangan ke ruangan lain. Aku menoleh dan mengeceknya. Usai kutelaah dari pakaiannya, dia adalah Lee Haechan. Langkahku bimbang, apa lebih baik kembali atau tetap mengamatinya?

Sayang,

Aku lebih memilih untuk mengamati Haechan.

Diriku bersembunyi di balik dinding kaca dan melabeli Haechan yang tengah berdiri di depan sebuah lemari abu. Satu-satunya abu yang tertinggal di barisan sana. Aku memincingkan mata, berusaha mengetahui siapa yang lelaki Lee ini datangi.


"Kakak masih menyesal karena tidak bisa melihatmu sebelum pergi." Ucapnya. "Maaf Haejung."


Mendengarnya mengatakan kakak, sudah bisa kusimpulkan jika itu adalah mendiang adiknya. Di balik sosok misterius nan horor lelaki ini, masih tersimpan rasa pedih karena kepergian saudarinya.

"Kakak gagal bertahan dari depresi itu. Kakak gagal dari tekanan itu, Jung. Semua pikiran itu membuat kakakmu terkutuk, maafkan aku karena bukan lagi manusia, Haejunga."


Tunggu dulu,


Depresi?


Detik demi detik berlalu, dan Haechan terdiam setelah mengungkapkan permintaanmaafnya. Diriku terkejut saat Haechan mulai berbalik!

Segera aku masuk ke dalam ruangan sebelah, bersembunyi darinya. Kuharap ia tak menyadari kehadiranku disini.


Tap,


Tap—


Perlahan langkah itu terdengar menjauh, semakin jauh, hingga tak terdengar lagi. Kuhela nafas lega dan segera keluar, mengunjungi abu Lee Haejung —adik Haechan. Kutemukan foto seorang gadis cilik tengah tersenyum, di sampingnya ada gambar Haejung bersama Haechan, ceria bersama di sebuah tempat wisata.

Menyakitkan jika mereka sedekat itu dan Haechan tak ada di saat-saat kepergian Haejung.

Saat menyentuh kacanya, mataku menangkap sebuah buku yang terselip di dalam sana. Sebuah buku kecil, berwarna monokrom yang membuatku penasaran.

Kubuka pintu kacanya dengan pelan, meraih buku tersebut dan menemukan fakta, bagaimana gambaran keseharian seorang Lee Donghyuk sebelum ia dinyatakan hilang.


Minhyung, sahabatku yang penyabar kini semakin emosional. Ia gampang marah dan kerap menyalahkanku atas kegagalannya. Kupikir, aku telah gagal menjadi sahabat yang baik.


Aku tak tahu apa ini adalah buku harian atau hanya sebuah pesan singkat. Aku benar-benar tak tahu.


Bagaimana ini— dia semakin tak menganggapku. Ia mendesakku untuk hal yang sama waktu itu. Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika apa yang kulakukan pada Osaki Eun terulang?


Namaku?


Aku merasa bersalah pada mereka. Aku manusia tidak berguna.


Hari ini, aku menyadari jika aku terkena kutukan itu. Kini aku bukanlah manusia. Depresi yang terpendam ini semakin melebar, mengantarku pada neraka.


Malam ini aku butuh darah segar. Tolong kakak, Jung.


Minhyung bertemu dengan Eun. Aku rasa semuanya akan kumulai dari awal lagi. Aku benci mereka.


Jung, kakak akan muncul sebagai Lee Haechan. Tolong, bawa Lee Donghyuk bersamamu dan bertemu dengan ayah juga ibu. Kakak mencintaimu.


Ucapan Haechan waktu itu— "Darah, kebencian, malam, depresi, teror, pikiran, terpendam, aku salah satu dari mereka yang terkena kutukan ini. Apa— kau akan berlari keluar sana dan memberitahukan semua orang?"


Bibirku bergetar hebat, membuka lembar demi lembaran mengerikan yang ditulis oleh Haechan. Aku tak mengerti mengapa ia bisa melangkah sejauh ini.

Diriku benar-benar tercengang, tatkala menemukan 'Minhyung' yang dimaksud oleh Haechan.


Diriku benar-benar tercengang, tatkala menemukan 'Minhyung' yang dimaksud oleh Haechan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Buku kecil milik lelaki itu hampir saja terjatuh dari tanganku. Jiwaku terguncang setengah mati setelah menemukan semua fakta ini. Lantas apa sebenarnya hubungan kedua lelaki ini dengan masa laluku?

Segera kusimpan kembali buku tersebut dan keluar dari ruangan. Aku bergegas kembali ke tempat sebelumnya seraya menyembunyikan kegelisahanku.

Kuakui, manusia yang begitu peka terhadap kondisiku dimana saja adalah Huang Renjun. Ia datang menghampiriku, menyodorkanku sebotol air mineral setelah berkata, "kau benar-benar terguncang."

Kueratkan cengkraman pada pakaianku sendiri, berjuang menormalkan nafas yang terus memburu. Renjun membantuku untuk melakukan inhale-exhale dengan baik, agar asmaku tidak muncul di saat-saat seperti ini.

Tak sengaja ekor mataku memandang Chenle yang masih berada di samping Jisung.

Ia tersenyum, tersenyum tanpa arti menatap sesuatu.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now