15. Times get rough

1.2K 420 27
                                    

Kepulanganku menuju rumah menjadi momen sebagai kesempatan untuk overthinkingku berulah. Chenle yang tersenyum dalam duka sahabatnya, Jeno yang tidak juga sadar kalau aku telah tahu perbuatan buruknya, serta Haechan yang membuatku menyimpulkan jika kutukan vampir itu disebabkan oleh 'depresi'.

Sepanjang perjalanan, para lelaki itu membuatku benar-benar terhambat memikirkan hal lain.


"Euna."


Aku melihat lurus ke depan, menemukan Yangyang tengah merapikan pot bunga di pekarangan rumah kecil ini. Ia tersenyum, membuat beban ini sedikit terobati.

"Liuyang."

"Bagaimana hari ini?"

"Aku lelah."

Yangyang menepuk pundakku. "Kau telah melakukan yang terbaik, beristirahatlah."

Apa benar aku telah melakukan yang terbaik? Apa menyenbunyikan semuanya ada hal yang baik?

"Tapi, Euna." Yangyang seperti ingin menambahkan topik sebelum aku masuk ke dalam rumah. "Apa akhir-akhir ini kau melihat kelakuan aneh dari Taro?"

Pundakku tersentak.

"Dia semakin diam, sepertinya ia punya masalah. Apa kau diberitahu sesuatu olehnya?"

Aku menggeleng ragu, masih memutuskan untuk menyimpan keanehan Shotaro beberapa waktu terakhir.

Yangyang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, memperlihatkanku secarik kertas dengan coretan tak beraturan di atasnya. Ada juga simbol tersenyum, tulisan aku menyayangi saudaraku, juga telah bekerja keras. Ini seperti pelampiasan, dan aku sangat mengerti bagaimana coretan-coretan ini menjadi objek seseorang yang tengah terbebani.

"Aku menemukannya di saku celana Taro saat membawa pakaian ke laundry siang tadi. Agak khawatir rasanya, tetapi aku tak tahu harus bagaiamana untuk meminta Taro menceritakan masalahnya." Jelas Yangyang. "Dia— dia tidak mungkin stress atau bahkan depresi, kan? Dia masih punya semangat tiap pagi."


Kupahami satu hal karena perkataan Yangyang. Depresi.


Kata itu selalu melekat dalam topik 'kutukan' yang Lee Haechan tunjukkan. Ini seperti pecahan clue yang setelah sekian waktu aku mencarinya. Kedua orang ini, menjadi mahkluk aneh karena depresi atau beban yang memberatkan langkah hidup mereka.

"Taro ada di dalam?" Tanyaku.

Yangyang menggeleng. "Dia belum pulang daritadi, ini kan hari liburnya. Aku semakin khawatir."

Aku percaya Shotaro tak akan melakukan hal di luar dugaan kami. Dia tak seceroboh itu, dia tetap menyayangi kami. Kuminta Yangyang agar tak memikirkan hal buruk, lalu kami pun masuk ke dalam rumah untuk menunggu Shotaro pulang.

Sayang, bahkan saat sore telah berganti malam, lelaki bermata kecil itu tak kunjung muncul. Aku sudah bersama dengan baju rumah, Yangyang dengan dirinya di depan tv, serta angin malam yang masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Banyak hal yang menggerayangi pikiranku. Sekali lagi, apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Mark dan Haechan? Apa maksud dari senyuman Chenle tadi? Dan apakah semuanya akan semakin berubah seiring populasi vampir akan bertambah?

Sangat berbahaya jika tuntutan hidup yang menjadikan kutukan itu datang tanpa diundang.

Tiba-tiba pintu terbuka setelah sejam aku membaca buku di belakang Yangyang yang tengah menonton. Aku menoleh, melihat Shotaro yang datang sambil tersenyum.

Ingin aku menghapus senyuman itu, mengatakan padanya jika kau tak perlu sepalsu ini. Namun aku takut, dia akan berubah dan seperti orang tak kukenal.

"Kau darimana?" Tanya Yangyang masih berbaring di depan tv.

"Mencari pekerjaan lain." Jawabnya ringan.

"Taro, kau tak perlu sekeras itu. Nikmatilah waktumu." Ujarku yang diangguki Yangyang. "Kau tidak boleh menyiksa dirimu sendiri."

Shotaro hanya tersenyum kemudian berpamitan menuju ke dalam kamarnya. Aku dan Yangyang menghela nafas secara bersamaan, karena Shotaro cukup keras kepala dalam hal ini. Kuputuskan untuk bangkit dan menyimpan buku di atas meja, menyusul Shotaro untuk membuatnya lebih damai dengan diri sendiri.


Tok, tok.


"Hm?"

"Apa aku boleh masuk?" Izinku.

"Tentu, Euna."

Aku memutar gagang pintu, mendapati Shotaro dengan wajah tenangnya sedang duduk di tepi ranjang sembari memegang secarik foto. "Apa itu?" Tanyaku.

Dia menunjukkan gambar dimana kami sedang berlibur. Batinku bergetar, mendadak pilu menyoroti masa lalu kami yang terlampau bahagia.

"Aku sayang kalian. Kalian satu-satunya keluarga yang kupunya."

Kulipat kedua bibirku, menahan isak sebelum berbicara. "Taro."

"Iya."

"Ada apa? Bisakah kau mengatakan keluh kesahmu padaku? Tidak apa jika hanya sedikit. Bukannya kau menyayangiku dan Yangyang? Jangan sembunyikan pikulanmu seorang diri. Kita keluarga, bukan?"

Shotaro tersenyum tanpa melihatku. Untuk sesaat aku menunggunya, membiarkannya merangkai kata sebelum menyampaikannya padaku. "Euna, sebentar lagi kita akan benar-benar dewasa."

"Itu benar. Lalu?"

"Kita membutuhkan lebih banyak pemasukan, untuk hidup lebih lama. Uang dari orangtua kita memang ada, tapi untuk berjaga-jaga jika saja suatu saat nanti mereka akan berhenti. Aku pun ingin kau dan Liuyang hidup tanpa memikirkan finansial kita yang sebenarnya."

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Aku suka bekerja, aku sayang kalian."

"Kau tidak boleh—"

"Sudah terlanjur, Eun. Yang kubisa hanya melanjutkan hidupku dan menjaga kalian."

Aku mengejar mimpiku dengan mengorbankan saudaraku. Dia yang memutuskan untuk memegang tanggung jawab yang besar. Apa itu adil?

"Euna, kau tidak boleh menyampaikan apapun pada Liuyang. Termasuk diriku yang sebenarnya, juga semua beban ini. Aku anggap itu adalah bantuanmu untukku jika bisa melakukannya."

Kurasakan air terlanjur menggenangi pelupuk mataku, mengamati ketulusan hatinya yang lembut itu. Taro, you deserve more better than this.

"Liuyang sedang berusaha menjadi seniman, dia tak boleh memikirkan hal lain. Kau pun sama, jangan terlalu membesarkan hal ini. Aku baik-baik saja, selama kalian ada, aku baik-baik saja. Apapun takdirku."

"Taro, aku berjanji akan membayar kerja kerasmu. Aku akan memberanikan diri untuk bertarung dan mempertahankanmu sampai aku berhasil melewati rintangan ini. Hingga saat itu, kumohon tetap bertahan."

Ia tersenyum, meraih tanganku. "Kau juga harus bertahan. Tapi Eun, ada hal lain lagi yang ingin kusampaikan."

"..."

"Mungkin saja, kurang dari sebulan lagi akan terjadi gerhana matahari. Dan jika saat itu tiba, kau tak boleh keluar dari tempat yang kau huni. Beritahu Yangyang, be aware."

Gerhana matahari, aku rasa tak termasuk dalam malapetaka di dunia ini, kan?


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang