09. Angan dan impian

1.3K 459 35
                                    

Hari ini aku pulang dengan langkah lesu, berjalan menggunakan arah namun tanpa arti. Menyimpan rahasia tentang Haechan seperti menipu teman sekelasku. Salah satu dari kami bukan manusia biasa, lantas apa yang harus kulakukan? Terus menyembunyikannya?

Melihat perubahan Haechan seperti mengingatkanku pada Shotaro waktu itu. Perubahan mereka hampir sama, seperti wujud vampir yang diceritakan banyak orang. Aku seolah berada di atas perbatasan yang harus memilih dunia kebenaran yang jahat atau dunia delusi yang tidak pasti. Yang berarti aku harus mencari tahu kesamaan yang membuat Haechan dan Shotaro mengalami hal tersebut.

Jika itu merupakan kutukan, lantas apa penyebabnya?

"Eun!"

Aku menoleh, menemukan Shotaro yang berdiri tak jauh dariku. Ia melambaikan tangan serta tersenyum padaku, membuatku menunjukkan senyuman yang sama, menunggu ia mendekat padaku di traffic light khusus pejalan kaki.

"Bagaimana harimu?" Tanya Shotaro dengan memperbaiki posisi tasnya.

"Biasa saja."

"Bagaimana dengan temanmu?"

"Mereka, mereka bertanya tentang kabarku, dan ya— berjalan seperti biasa."

"Ah, senang mendengarnya. Euna, apa kau perlu gitar baru?"

"Huh?"

"Uangku sudah cukup, mari mengganti gitarmu yang lama."

"Ti-tidak, kenapa kau yang menggantikannya untukku?"

"Hadiah ulang tahunmu setelah 3 tahun hanya sebatas kue kecil."

Aku segera menggeleng keras. "Kau lebih baik menggunakan uangnya untuk dirimu, aku akan belajar dan mulai berlomba lagi agar bisa membeli yang baru."

"Bunga butuh waktu untuk mekar dan cantik. Dan kau masih teguh menggenggam itu, Eun kami."

Aku mendengus menanggapinya. Setidaknya dia tetap sama, tetap Taro yang kukenal.

Kami pun berjalan bersama setelah sinar hijau yang ditunggu menampakkan diri. Kami melangkah beriringan, mengobrol seperti biasa hingga tak terasa kami tiba di rumah dan mencari keberadaan Yangyang.


"Liuyang." Panggilku. "Kau diman—"


Diriku mendadak terpaku, menemukan Yangyang tengah berdiri dengan cengiran khasnya berdampingan dengan sebuah gitar klasik baru. Badanku mematung, yang seolah otak ini berhenti bekerja dalam sekejap.

"Tada—, dari kami untukmu!"

Shotaro terkekeh. "Sebenarnya ia bekerja paruh waktu sebulan terakhir sebagai kasir di supermarket. Kami patungan untuk membelinya, hihihi. Apa gitarnya cocok seperti yang kau bilang waktu itu?"

"Ya Eun, kami meminta pendapatmu, bukan menangis."

"Eh? Dia menangis?"

Hidupku memang tidak berjalan begitu mulus. Dibuang oleh orangtua biologis, dicampakkan oleh orangtua adopsi, tetapi saudaraku tetap tulus bersamaku. Mereka mendukung mimpiku, bahkan berusaha berjalan bersamaku.


The right people will always stay.


Aku menghampiri Yangyang, bukan karena ingin meraih gitar itu, namun untuk memeluk dirinya. Sejujurnya dia memang sangat menyebalkan, tapi aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpanya. Begitu pun dengan Shotaro yang selalu saja berusaha untuk kami.

Kami saling berpelukan, seperti bocah kecil ingusan yang harus bertaruh dalam jalan agar bisa meraih sebuah balon lucu dan permen manis. Meski kami tak memiliki hubungan darah, namun kami seperti sangat erat.

"Uh." Gumam Shotaro. "Sepertinya ada ponsel yang berdering."

Kami melepas satu sama lain secara serempak. Setelah mencari sumber suaranya, ternyata itu berasal dari tasku. Aku segera menjauh, melihat ada nomor tak dikenal menghubungiku. "Aku akan kembali." Ujarku.

Aku segera menutup pintu rumah dan keluar untuk menjawab panggilan dari orang di seberang sana. "Halo?"


"Ya Grace."


Tubuhku seperti tersengat listrik, mendengar suara Mark Lee yang muncul tanpa kuharapkan sama sekali. Aku diam, menunggunya mengucapkan kata-kata kecaman.


"Kau sudah lihat hasil di web, huh? Hebat sekali kau bisa mendapat dua posisi dalam band."

"A-aku belum melihatnya, aku— aku tak berharap seperti itu."

"Kau benar-benar—"

"Aku benar-benar tidak melakukan hal apapun."

"Lantas kenapa kau harus berada di posisi itu? Kenapa kau harus ada di atasku?"

Aku diam tak bergeming, menggaruk sudut jariku untuk mencari berbagai macam alasan. Kenapa aku harus takut dengannya? Kenapa aku tak bisa melawannya? Kenapa harus aku yang menjadi saingannya?

"Lalu kau mau aku melakukan apa?"

"Menjadi yang terbodoh."

Dia tak tahu apa yang baru saja terjadi dalam kediamanku. Saudara yang memberiku bantuan dan tentu menaruh harap agar aku bisa mencapai mimpiku. Bukan hanya kau, Mark Lee. Aku juga mempunyai jalan untuk meraih impianku.

Kutekan tombol merah secara sepihak, membuka web kelas musik untuk melihat hasil yang akan menjadi bagianku dalam band. Skorku berada di posisi ketiga, dengan Huang Renjun menjadi yang pertama disusul Jeno Abraham, lalu diriku sebelum Mark Lee. Bukan bahagia yang kurasakan saat mencapai posisi itu, namun tertekan. Kuusap air mataku yang mengalir dan menonaktifkan ponsel, kemudian memasukkan benda persegi empat ini ke dalam saku jeansku sebelum berniat untuk kembali ke dalam rumah.


"Kau tak apa-apa?"


Langkahku membeku, mendengar suara Huang Renjun yang datang secara tiba-tiba. Aku menengoknya, mendapati dirinya yang hadir tanpa kupanggil.

"Melihat namamu berada di posisi itu, aku rasa kau akan terguncang karena Mark."

Aku menunduk, merasakan apa yang ia katakan.

"Kau akan menyerah karenanya?"

Oh, apa itu yang harus kulakukan?

"Orang jahat itu akan terus menekanmu jika merasa rendah. Apa kau sadar? Baru satu orang yang terancam karena kehadiranmu."

Aku memandangi Renjun sepenuhnya, seperti mendapat bayangan sesuatu.

"Jika boleh jujur, bukan hanya Mark Lee yang tidak suka padamu."


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now