5. terus anomali

1.6K 498 39
                                    

Sore ini, Shotaro menemaniku pergi ke tempat kursus. Kebetulan tempat tujuan kami searah dan jam kerja Taro sama dengan jam belajarku hari ini. Dalam perjalanan kami berbincang, membahas hal-hal kecil seperti yang biasanya dilakukan sepasang saudara pada umumnya. Begitu kami berada di penghujung jalan dan gedung tujuanku telah terlihat, langkah Shotaro terhenti.

"Ada apa?" Tanyaku.

Ia mengendikkan dagu, menunjuk ke arah tiang yang sedang ditempelkan sesuatu oleh seorang pria. Oh, sepertinya ada orang hilang yang baru. Aku sempat melihat wajah orang hilang yang lama, dan tak menunggu lama berganti dengan lembaran yang baru.

"Kau harus berhati-hati." Kata Shotaro.

Aku berdehim.

"Benar tak ada yang mengganggumu, kan?"

"Ya, tentu saja."

Shotaro menghela nafas. "Baiklah, kalau begitu aku akan melanjutkan perjalananku. Sampai ketemu di rumah."

"Baik, hati-hati."

Kami akhirnya berpisah, dengan diriku yang berjalan menuju gedung dan mempercepat langkah masuk ke dalam kelas. Ah, sepertinya aku terlambat. Teman-teman dan mentor sudah ada di dalam kelas meski jam pelajaran belum mulai. Dengan segera aku melangkah menuju bangku, duduk bersama persiapan mentalku.

"Sebelum memulai, hari ini ada yang menyusul Osaki Eun sebagai anak baru." Ucap mentor. "Silahkan masuk."

Pandangan kami menyatu ke arah yang sama. Kami menunggu si teman baru masuk, yang tak lama berselang menampakkan batang hidungnya yang ada di wajah cukup ceria itu.

"Selamat sore, perkenalkan namaku Lee Haechan. Tolong bantuannya."

Hm, wajahnya seperti pernah kulihat. Atau mungkin hanya sebatas khayalanku? Karena sudah sejak beberapa hari terakhir aku merasakan hal seperti ini. Merasakan sesuatu yang tak asing, namun aku tak tahu kapan dan dimana itu terjadi.

Lee Haechan terus menyebutkan beberapa hal kecil tentangnya, membuatku menyimpulkan jika dia adalah orang yang cukup aktif dan positif. Jika Lee Haechan terdiam sejenak, maka pikiranku yang tadi akan muncul. Seperti pernah melihatnya.

Begitu selesai dengan perkenalan diri, lelaki bermarga Lee itu diminta untuk duduk tepat di belakangku. Aku melihatnya, membuat pandangan kami bertemu. Kami sama-sama tersenyum, mengakibatkanku terus menatapnya hingga dia terduduk. Secara tak sengaja aku mendapati Mark yang ikut melihat dingin kehadiran si anak baru, sama seperti tatapan kebencian yang ia berikan padaku saat itu.

Aku rasa dia akan selalu membenci siapa pun yang hadir disini.

Kuhela nafasku dengan pelan, kembali melihat ke arah depan. Di saat sebentar lagi mentor akan mengumumkan perihal bagian yang akan menjadi pegangan kami, kudengar Haechan memanggil namaku.

"Euna."

Aku menoleh, tentunya. Namun rasa anomali ini kembali datang saat aku menemukan pandangannya.

Kenapa Haechan bisa tahu namaku? Bahkan itu adalah nama 'rumahku'. Padahal kami belum berkenalan, bukan?

"Kenapa?" Tanyaku.

"Iya?"

"Eh, bukannya tadi kau memanggil namaku?" Bisikku.

Haechan menggeleng ringan. "Aku belum tahu namamu."

"Osaki?"

Spontan aku menghadap pada Mentor Kim yang menegur. Aku memintamaaf perihal kelalaian pertamaku ini. Ah, mungkin saja hanya perasaanku. Aku kembali fokus pada penjelasan mentor untuk pembelajaran ke depannya. Kami tenggelam dalam hening, berusaha memahami beliau. Cukup mengejutkan, karena skor untuk tes pertama kami tentang sejarah musik langsung diperlihatkan di depan sana.

Namaku berada di posisi kedua, setelah nama Jeno Abraham. Di posisi ketiga menyusul Mark yang tidak ingin kulihat responnya sama sekali. Ini membuatku tak bergeming, terus menggaruk sudut kuku yang terasa akan melukaiku sebentar lagi. Meski Mark mungkin hanya menyerangku dengan ucapan karena traumanya di masa lalu, namun aku tetak tak siap sama sekali.

Waktu terus berlalu, mentor pun meminta kami untuk pergi ke studio. Sebelumnya beliau menghentikan kami, memberi informasi agar kami selalu menjaga diri.

"Kalian sudah melihat beritanya, bukan?"

Aku terdiam, kurang tahu apa yang akan dibahas.

"Ya, kehadiran vampir yang benar-benar ada. Baru saja seorang pria tunawisma diserang karena tak sengaja membongkar bekal darahnya di jalan umum. Ini belum dipastikan apa itu merupakan penyakit, turunan, atau semacamnya. Yang pasti, tetaplah berhati-hati. Apalagi Osaki, kau harus waspada, kau perempuan."

"Baik."

"Kalian sudah bisa menuju studio, kuharap kalian saling membantu sama lain. Paham?"

"Paham."

Mentor Kim menjadi orang yang lebih dulu keluar, disusul kami yang akan masuk ke dalam studio. Aku terus memikirkan hal tadi, apa vampir yang dimaksud seperti vampir yang ada di dalam mitos dan sinema? Atau ini hanya sekadar perumpamaan karena wujudnya sama? Aku juga teringat dengan ucapan Chenle kemarin, tentang Vampire Nowadays.

"Kau memikirkannya?"

Aku berpaling, melihat Lee Haechan mengajakku mengobrol. "Kau takut vampir?"

"Eum, tentang itu—"

"Siapa nama panggilanmu?"

"Oh, kenalkan. Aku Grace."

"Ah, Grace rupanya. Kau tidak akrab dengan mereka? Kau sendiri daritadi."

"Aku juga murid baru disini."

"Oh, benarkah? Tolong berhati-hati kalau begitu, terus ingat pesan mentor. Karena—" Haechan mendekat, seolah ingin membisikkan sesuatu. "Karena sebenarnya menjadi vampir merupakan kutukan."

Aku termangu dalam sekejap.

Orang baru ini memberitahukanku tentang apa yang tidak seharusnya menjadi topik saat pertama kali kita berkenalan.

Kutukan?

"Jadi, kau harus ekstra."

"Aku tak mengerti maksudmu, Chan."

Bruk!

Kami sontak melihat ke arah kanan, menemukan Mark yang baru saja menyambar bahu Haechan. Aku tak tahu apa yang menjadi dendam utama lelaki itu. Secara tak sengaja aku menatap Haechan yang menyeringai, seolah menantang Mark meski dia adalah pelajar baru disini. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di antara mereka, namun sepertinya—ini tidak akan baik-baik saja.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now