Beauty Psycho 66 : Mario William

Start from the beginning
                                    

"Lo gila!?" Sean menahan diri agar tidak mengumpat. Nafas Elisha dan Sean sama-sama memburu dan mereka dikuasai oleh ego masing-masing.

"Iya, gue gila!" balas Elisha, tak bisa menyembunyikan lagi wajah penuh kekesalannya. Usahanya bisa sia-sia gara-gara Sean. Elisha sudah cukup menanggung resiko dengan membawa pemuda ini ke sini.

Sean mengacak rambutnya frustasi. Ia rasanya ingin menendang benda yang ada disampingnya jika tidak mengingat bahwa Elisha bisa saja ketakutan akan apa yang ia perbuat.

"Sha ... please, nggak gini cara kita untuk mendapatkan yang kita berdua mau." Sean memegang kedua bahu Elisha dan berkata dengan lembut, mencoba meredam emosi Elisha.

Mereka berdua tengah diselimuti dengan emosi masing-masing.

Elisha memalingkan wajah, tak ingin menatap wajah gusar Sean yang malah semakin menghantui benaknya.

Sean marah kepada dirinya sendiri. Ia tidak bisa banyak membantu mencari informasi karena keluarga Alexander itu begitu tertutup hingga ia tidak bisa mencari setitik cela.

Elisha menghela nafas, ia lalu melepaskan tangan Sean yang bertengger di bahunya secara perlahan. "Terkadang ..., berlutut memohon bukan berarti kita hina, melainkan menunjukkan rasa bahwa lo masih bisa menurunkan ego untuk kepentingan bersama, Sean."

Gadis itu jadi bingung bagaimana memikirkan cara agar Sean tidak bisa berbicara dan mengeluh. Tapi sayangnya, itu bukanlah kuasa yang bisa ia kendalikan.

Sean mendengus lalu menggeleng tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Lihatlah bagaimana lucunya mendengar Elisha yang mengatakan kalimat seperti itu. Gadis itu terlihat sekali putus asa.

"Lo dan gue harus menjaga harga diri sampai permainan ini berakhir, Sha. Gue ..." Sean kembali mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih, "gue nggak suka lo bersimpuh seperti orang putus asa, Elisha." Sean berkata sehalus mungkin. Tak ingin menyinggung gadis dihadapannya.

"Seperti yang lo bilang sebelumnya, lo mungkin tokoh utama di kisah lo sendiri, tapi nggak menutup kemungkinan lo tokoh antagonis di kisah kehidupan orang, bukan? Kehidupan itu seperti ini Elisha."

Elisha tertegun, tiba-tiba darahnya berdesir dan hatinya menghangat mendengar kalimat menenangkan dari seseorang yang ia sukai.

Gadis itu menunduk pasrah. "Gue udah terlalu lama berada di puncak gunung hingga gue lupa bagaimana rasanya berjuang mati-matian buat mendaki gunung itu sendiri, Sean," jawabnya lirih.

"Gue rasa ..." Elisha menatap tangan Sean yang mengepal erat lalu menggenggamnya membuat Sean terhenyak kaget. Gadis itu mengusap-usap punggung tangan itu hingga kepalannya melonggar.

Elisha mendongak dan menatap Sean dengan tatapan meneduhkan. "nggak ada salahnya kalau gue mengulang semuanya, bukan?"

Sean terhenyak, tiba-tiba jantungnya berdebar hingga debarannya memasuki indera pendengarannya. Senyuman manis gadis itu membuat Sean merasakan dadanya menghangat.

Sean lalu berdehem, dan menatap Elisha. "Mengapa lo nggak memilih mempertahankan apa yang lo punya saat ini?"

Elisha terkekeh kecil lalu menggeleng. "Gue takut." Elisha menghentikan tawanya lalu berujar sembari mengalihkan pandangan dari Sean.

"Takut?" beo Sean membuat Elisha mengangguk. "Gue takut gue terlalu tamak dengan apa yang gue punya hingga gue memilih tetap diam dan bungkam selamanya."

Elisha harap, Sean tidak mengerti makna dari apa yang ia katakan sebelumnya. Karena, Elisha tidak ingin semuanya terbongkar sebelum waktu Elisha rela untuk mempertanggungjawabkan semua hal.

Beauty Psycho (END)Where stories live. Discover now