Bagian 20 - Berpisah dengan Sumatera Barat

Mulai dari awal
                                    


Ya. Wajar Meida banyak tahu tentang sikap Damara karena dia sudah lama berteman dengannya. Aku jadi mikir, mungkin selama ini Damara baik ke aku karena aku adalah tamu yang wajib diberi pelayanan dengan baik.


"Iya gitu? Berarti termasuk kamu, dong?" pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku kaget bisa-bisanya keceplosan. Meida tersenyum padaku.


"Siapa yang gak suka sama cowok kayak Damar coba?" Meida menatapku dengan datar. Hatiku langsung sesak mendengarnya tetapi segera Meida melanjutkan pernyataannya, "tapi kalo Damarnya suka sama kamu, ya gapapa, aku liat kamu juga orang baik. Cocok sama Damar." Meida kemudian tersenyum padaku.


Kini aku merasa bersalah. Aku seperti menjadi perusak hubungan orang karena hadirnya aku mungkin cukup mengganggu hubungan Meida dengan Damara yang sudah lama dekat dan mungkin juga sudah saling suka. Aku gak bisa bereaksi apapun dan hanya terdiam.

"Gak usah dipikirin, tidur aja, yuk. Besok, kan, kamu balik. Takutnya kecapekan," segera Meida membalikkan badannya dan mengambil posisi untuk tidur. Rasanya kala itu, atmosfer bener-bener gak nyaman buatku. Aku merasa terpaksa tidur di sampingnya dengan perasaan campur aduk. Lama aku memejamkan mata, tetap saja rasa kantuk gak kunjung menghampiriku.


"Maaf, Mei. Gara-gara aku semuanya jadi kacau," kataku pelan. Ternyata Meida pun belum tidur, dia mendengar suaraku itu dan berbalik ke arahku lalu tertawa.


"Apaan sih, kamu, Nin! Jangan merasa bersalah gitu, dong, santai aja, aku suka dia karena kagum dia orang yang begitu adanya, baik, siapa yang gak suka sama orang baik? Kamu pacaran sama dia pun, aku gak masalah, aku setuju, kamu sama baiknya kayak dia, kayaknya, sih." Meida lalu memelukku, "jangan merasa bersalah, ya, maaf kalo kata-kataku tadi bikin kamu kepikiran. Lagian aku liat Damara emang beneran suka sama kamu. Kayak dia udah kenal lama banget sama kamu, lebih lama dari pertemanan aku dan dia." Meida melepas pelukannya. Lagi-lagi aku hanya diam, gak tahu harus bereaksi bagaimana. Perasaanku gak bisa dibohongi, aku bener-bener lega mendengar itu, tapi aku juga tetap merasa bersalah.

~~~

"Anin! Bangun, makan! Makanannya udah siap, ayo makan," kata Meida dari luar. Sudah pagi ternyata padahal rasanya aku baru saja tidur.


"Ah, maaf baru bangun, oke." Aku cepat-cepat bangun dan Kami pun menuju ke ruang makan. Sesampainya di ruang makan, aku lihat makanan sudah tersusun rapi. Nampaknya semua ini disiapkan oleh Kak Ega, Kak Radit, dan Meida. Di sana juga sudah ada Damara, Mama, dan Mandeh.


"Karena gak bisa nganter kamu ke bandara, kami cuman bisa masakin ini sebelum kami pulang dan kamu berangkat," kata Kak Ega, "ayo langsung dimakan aja jangan malu-malu, Tante-Tante sekalian juga, ya!" lanjutnya lagi.


"Keren banget, cowok bisa masak makanan sebanyak dan seenak ini!" Mama takjub.


"Biasalah Tante, Ega suka makan soalnya," kata Kak Ega. Kami makan dan ngobrol sebentar dengan mereka bertiga, Damara mengenalkan teman-temannya itu ke Mama dan teman-temannya pun bersikap sopan. Akhirnya setelah cukup dan melihat waktu, mereka bertiga berpamitan dengan Mama, Mandeh, dan aku.


"Kalo gitu kami pamit dulu, ya, Tante. Maaf selalu ngerepotin kalo ke sini terutama Radit," Kak Ega meminta maaf buat Kak Radit. Kak Radit tersenyum masam.

Tentang Kamu dan Rindu ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang