RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra MalstrΓΆm -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Reverie

7.6K 1.7K 436
By MilenaReds

Mutannya balik buas berhadapan dengan Regi--tapi kenapa dengan Vincent..

Kuturunkan pandangan ke lantai, berusaha cepat mengira-ngira.

Aku tidak mengerti!

Jelas mutannya kemarin tetap menyerang walau ada Vincent juga-

Bukannya ini mutan yang mengejar Pierre-Archibald? Mungkin berbeda-

Tapi-ketika Pierre Archibald berhasil masuk gorong-mutannya kan beralih juga mengejar kami-

Lalu apa yang membuatnya berbeda?!

GRAAAAKH!

"DIAM!DIAM!"
Regi balas meneriaki mutan dengan percuma.
"Makhluk ini takkan berhenti-"
Tekannya menolehi kesekitaran sambil memegangi kacamata night vision yang menggantung di lehernya bersiap ingin memakainya lagi.
"Tinggalkan saja dulu makhluk ini sementara-"

Perhatianku balik pada kacamata night vision dileher Regi.

Bukankah kami kemarin juga terus pakai helm pelindung Uncle Cyril-

Kuliriki Vincent yang masih mengamati mutan itu dalam diam.

"Aku tetap bisa melihat Luce, walau dalam gelap--"

"Oh God-"
Gelengku, teringat ucapannya sendiri sewaktu mati lampu di kapal Aegis.
"Aku mengerti kenapa-"

Archibald disusul Komander Pride serta Komandan Leonid pada akhirnya balik masuk ruangan. Pandangan horror mereka langsung sama-sama jatuh pada jasad Karev dilantai.

"Godpodi! Karev-"
Jerit Komandan kapal ini melesat menghampiri jasad Karev bersama semua tentara bawahannya, sedangkan Komander Pride dengan wajah sama syoknya terhenti ditempatnya matanya tertuju bergantian pada empat tentara 'Aviornya' seakan berkata 'apa lagi yang telah kalian lakukan?!"

Pierre terlihat akan segera menjelaskan sesuatu tapi malah kembali menutup mulut. Regi yang tahu-tahu bergeser ke depanku dan membuka mulutnya.

"It was my fault, Komander."
Akuinya begitu saja sampai membuatku tercengang menatapi belakang kepalanya.
"Tak seharusnya saya meninggalkan mereka dibelakang- Mutan itu menggapai Mr. Karev. Dua Malstroms dan Lucian disini hanya berusaha menolong namun terlambat. Ia tergigit dan berubah hingga saya melancarkan tembakan supaya tak menyerangi mereka- Jadi seluruhnya itu memang salah saya- Bukan dua Maltroms apalagi Lucian-"

"EHM-"
Aku bergeser cepat dari punggung Regi, memperlihatkan diri.
"Bukan salah dia Komander Pride!"
Kuberanikan membantahinya.
"Sebenarnya ini salah saya. Saya yang menyuruhnya pergi duluan-"

"Tidak, itu bukan salah mereka."

Perhatian kami semua jadi pindah ke Pierre.

"Itu-"
Pandangan tertunduknya perlahan menggulir padaku dan Regi. Diplototinya kami sekilas sebelum menjelaskan pada Komander.
"Itu merupakan salahku-juga."
Tambahnya, kedua tangannya mengepal disisi tubuhnya, mencurahkan pengakuan dengan suara tercekat tak ikhlas.
"Aku-Komander-yang masih penasaran ingin melihat mutannya sehingga mereka ikut menemani-"

"Alright, Listen."
Archibald sedang memutar bola matanya keatas ketika Komander memutus.
"RJ, kau tetap tinggal disini, untuk membantu Archibald-"

"Komander! Aku tak perlu bantuan-"

"Stewart! Billy!"
Komander memotong protes Archie dengan tangan menunjuki dua tentara bersenjata Aegis terdekat yang langsung menegakkan diri datang menghampiri.
"Bawa Mr Pierre dan Vincent serta Lucian kembali ke kabin kamar mereka. Pastikan mereka kembali tanpa halangan oleh penumpang lain dikapal! Mengerti?!"

"Mengerti, Komander!"

"Pierre-"
Lanjutnya.
"Kita akan membicarakan seluruh kejadian ini dengan ayahmu juga nanti-"

Jantungku langsung melorot keperut.

Membicarakan kejadian ini?

Komander menggerakkan kepalanya, mengajak Archibald dan kakakku menghampiri Komandan Leonid.

Rasa panik pun mengambil alih diriku.

"Ayo kita kembali,"
Sebut tentara disebelah Stewart ketika mereka bertiga berlalu.
"Lantai berapa kamar kalian?"

Pierre tak ada menyahut hanya berdecak sebelum melengos pergi sendiri menuju pintu keluar.

Aku langsung membuka mulut "Tunggu! Pierre!"

"Hei you!"
Tunjuk satu tentara yang bernama Billy itu melewati bahu membuatku jadi menoleh kebelakang.

Aku melihat Vincent yang masih diam mengamati mutan yang sudah balik tergeletak lemas di lantai dalam sel akibat sudah tersetrum terus menerus.

"Kau ngapain diam saja di depan sel makhluk gila itu-"

Namun Pierre pun didepan sudah semakin mempercepat langkah.

Dan aku memutuskan untuk mengejarnya dulu.

"A-ku duluan!"
Infoku asal langsung mengangkat kaki menyusuli saksi lain keganjilan 'manusia pod' ini.

Awalnya aku berusaha tidak berlari, hanya melangkah cepat saja untuk menghindari terlihat seperti uring-uringan sekali dalam mengejar Pierre. Namun Pierre sendiri malah semakin mempercepat juga langkahnya merasakan diriku yang menyusuli dibelakangnya.

"Pierre wait please!"

Mendekati pintu keluar kapal baru aku benar-benar berhasil berjarak dekat dengannya.

"Astaga Pierre!"
Setengah melompat aku berhasil menangkap lengan jubah hitamnya.
"Kubilang tunggu!"

Ia menarik balik tangannya, terhuyung mundur kepinggir jembatan penghubung kapal militer Rusia ini dengan kapal Pesiarnya.

"Shit lucy!"
Pada akhirnya ia merespon dengan semi ngos-ngosan, bukti nyata dia tadi memang sengaja melarikan diri.
"Ada apa lagi sih?"

Aku tolehi dulu kesekeliling memastikan benar-benar tak ada tentara lain sebelum lanjut berbicara. "Komander tadi bilang ingin membahas seluruh kejadian ini denganmu-"

"Ya, lalu kenapa?"

"Bisa kau tak memberitahunya tentang Vincent tadi?" tembakku langsung.

Wajahnya mengerut. "Memang kenapa?" Desisnya serak. " Kalian sendiri sebelumnya bilang bahwa dia tahu-"

"Dia memang tahu-" Timpalku. "Archibald juga tahu, tapi mereka belum tahu tentang tadi itu-"
Aku mengeluarkan tawa tanpa humor. "bahkan aku juga baru lihat- baru tahu- dan aku masih tak mengerti apa yang kulihat ini- "
kututup mata sekilas merasa pening. "Aku hanya tak bisa membayangkan reaksi mereka seperti apa jika tahu-" Kutatapi Pierre akhirnya.
"Maaf, aku jelas tak pantas meminta sesuatu darimu di posisiku seperti ini. Tapi aku hanya berharap- berharap kau mau mengerti."

Aku bahkan meringis mendengar diri meminta seseorang supaya mengerti- memaklumi saja kejadian orang yang bisa mengontrol mutan kanibal hanya lewat tatapan.

"Jadi yang tahu tadi itu-hanya kau, aku dan Vincent sendiri-RJ juga tak tahu?"

Aku mengangguk.
"Ya, hanya kita bertiga saja."

"Tapi ini gila sekali!"

"Aku tahu. Ya aku tahu ini gila."
Kudukung protesnya.
"Tapi hanya dua-tiga hari kan Pierre- kau hanya menahan kegilaan ini beberapa hari saja- lalu kami akan pergi - ini tanggungan kami-takkan jadi tanggunganmu."

Pierre membisu saja, seakan sudah tak mampu berdebat, mengeluarkan kata-kata. Ia lanjut membalikkan badannya ingin berjalan kearah kapal pesiarnya kembali. "let me think about it." Ungkapnya tanpa memandangku dan berlalu pergi.

Tak ada coba kususuli si putra bilioner itu. Walau cara jalan dia saat ini normal tenang, tak melarikan diri lagi. Aku hanya memandangnya dalam diam, berdoa keras dalam hati, berharap ia benar bersedia menahan lisannya untuk beberapa hari saja.

Tahu-tahu aku melihat Vincent ketika menoleh. Ia melangkah keluar dari pintu kapal diikuti Kadet Stewart dan Billy.

"Emm hei" Mulaiku menyapa. "Vi-"

"A freak- a weirdo-you name it-"

Aku sampai melihat dua kali kearah Kadet Stewart yang mengeluarkan kalimat itu lalu pada Kadet Billy yang mengeluarkan kekehan teredam.

Kemudian aku menoleh pada wajah Vincent.

Sorot amarah jelas berkelebat di matanya.

"Hei-"
Aku kembali menutup mulut karena Vincent melengos saja lewat didepanku. Yang justru berhenti dari langkahnya adalah dua tentara utusan Komander yang seharusnya untuk mengkawali kami.

"Maaf, tapi tidakkah kau bosan selalu mengikutinya?"

"Mengikuti?" Aku mengerjap

Kadet disebelah Stewart berdecak. "Kenapa bertanya lagi? Vincent kan keluarga Billioner-Stew, walau hobinya bengong tolol pun perempuan pasti akan tetap rela mengikutinya terus-" Ucapannya terpotong karena Stewart menginjaki kakinya.

Aku saking paranoid sudah takut saja ketika mendengar pertanyaan awal Stewart. Namun menyadari ini tak ada hubungannya sama sekali dengan 'kasus' kami, aku segera melepaskan napas lega sambil memutar bola mata.

"Tolong jangan adukan kami pada Komander, Miss Lucian."
Pinta Stewart dengan nada mengejek sama seperti yang ia beri ke kadet Silvia dulu.

"Tidak akan," balasku tanpa selera.
"Ya Tuhan, Kadet Stewart. Kasihan sekali- sepertinya kau masih belum bisa move on dari kekalahan telak taruhan renang waktu itu ya?"

Senyuman diwajah Stewart sepenuhnya sirna.

Aku menoleh pada kadet disebelahnya. "Pria yang hobinya bengong tolol tapi malah bisa memecahkan rekor renang kalian.

Tak ada sambung jawaban, aku memutuskan untuk memutar badan mulai melangkah menyusuri jembatan penghubung menuju kapalnya Pierre sambil berpikir tak percaya bagaimana masih ada orang-orang yang memikirkan sakit hati karena kalah taruhan renang padahal baru sepuluh menit lalu ada yang terpaksa ditembak mati karena tergigit mutan zombie ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sudah hampir jam sembilan pagi, syukurnya tak ada tampak tanda-tanda gerombolan tentara Aegis akan datang mengusiri atau bahkan menggebuki kami sampai tewas.

Kupandangi permadani mewah dibawah kaki sambil mengingat kembali gestur tak nyaman Pierre di perbincangan terakhir kemarin.

Tak nyaman, terdiam, kehabisan kata-kata.

Termasuk rekor rasanya seorang Pierre Malstrom terdiam, karena setahuku dia tipe orang yang selalu bisa membalas tiap argumen yang terlontar padanya.

Aku bangkit dari duduk, Sekarang pikiran melompat ke Vincent.

Aku belum ada bertemu sama sekali dengannya semenjak ia melengos begitu saja keluar dari kapal Tuan Leonid kemarin.

Dan dia sendiri pun belum ada mendatangiku pagi ini.

Dia sudah bangun belum ya?

Semoga dia tak terpengaruh ocehan Stewart kemarin.

Aku bergerak ke pintu kamar, memutuskan untuk keluar menghampirinya.

Kutolehi kiri kanan koridor yang kosong melompong sebelum melangkah ke kanan menuju pintu kamarnya tepat disebelah kamarku kemudian terhenti.

Vincent sudah bangun belum sih?

Terbiasa ada barengan, baru sadar sepi juga tanpa dia..

Mungkin tadi sudah keluar kamar?

Aku mengerenyit berusaha mengingat.

Tapi rasanya dari tadi belum mendengar ada pintu membuka-

Hmm apa dia keluar ketika masih gelap?

Tapi keluar kemana?

Seketika ada suara pintu mengayun membuka namun bukan kamar Vincent, melainkan kamar Kakakku.

"Nahh akhirnya-" Hembusnya ketika melihatku. "Kau bangun juga!"

Kubatalkan niatku mengetuk kamar Vincent dan menghampirinya.

"Yeah," Gumamku. "sudah bangun sebenarnya dari tadi tapi baru keluar sekarang-Eich! Aduh!"

Regi memberiku pelukan erat mematikan selama lima detik sebelum melepasnya lagi.

"Errh sakit bego!-" Aku mengerang memijiti lengan dan ia malah tertawa. "Lain kali jangan begitu ah Reg! sakit tau! Lagian ngapain sih?"

"Hanya ingin membangkitkan rasa bersyukur karena masih hidup!"

"Satu-satunya yang bangkit saat ini sih ya rasa jengkelku padamu Reg!"

Ia mendengus.
"Aku hanya kepikiran saja. Bagaimana kalau kau yang kena gigit kemarin. Hanya meleng beberapa menit saja situasi langsung berubah buruk." Rahangnya menegang.
"Padahal kan aku yang bilang kemarin mau mengawasimu-"

"Ah sudah Kak tak apa."
Tanganku mengibas.
"Sebenarnya kita juga punya tanggung jawab masing-masing untuk menjaga diri. Dan kalau tidak karena mereka memancing-mancing duluan mutannya kemarin." gelengku penuh ketidakpercayaan.

"Yah benar."
Ia ikut menggeleng sebelum melanjutkan.
"Oke."
Ia mengangkat tas ransel hitam yang baru kusadari ia tentengi ditangan kirinya.
"Jaket pemberian tentara kemarin masih ada padamu kan?"

"Ya."

"Bagus pakai saja sana."
Ia membuka resleting ranselnya, mengeluarkan sweater bewarna keabuan dari dalamnya.

"Itu dari siapa deh kau pakai?"

"Dari keluarga Pierre waktu itu-" Jelasnya sambil menarik kerah sweater itu masuk ke kepalanya. "Ayo cepat pakai jubahmu, aku ingin mengajakmu keluar."

"Keluar? Ngapain? Bosan ah cuma lihat ombak laut saja."

"Kau memang belum lihat ke jendela luar?"

"Belum."

Padahal aku memang sengaja tak mau membuka kain gorden dikamar.

Karena rasanya ingin mengurung diri saja.

"Lagipula kan pemandangan balkonku menghadapnya ke dalam kapal bukan keluar- jadi tak tahu-"

Regi tahu-tahu berbalik, menekan gagang pintu kamar di seberang yang memang kosong tak berpenghuni.

Aku mengikutinya masuk, ia berlari mendekati jendela balkon kamar itu dan menarik geser buka kacanya.

Mataku menyipit tepat terkena terkena silaunya cahaya matahari.

"Lucy lihat deh!"
Katanya sambil ternganga sendiri.
"Bagus bukan?!"

"I-iya-"
Aku ikut bergabung ternganga melihat deretan pohon dengan daunnya beragam warna, menghampar menyejukkan mata.
"I-ni kita-"
Kuhisap boros-boros oksigen dingin dari sekitar sambil menikmati suara sahut kicauan burung-burung.
"dimana?"

"Sebuah pulau kecil masih di dalam wilayah Bering, kepunyaan Rusia. Menurut kudengar semalam, kapal ini hanya sampai jam dua belas siang disini sebelum kembali berlayar. Kesini hanya untuk bongkar muat."

Kutunjuki rumah-rumah kayu yang terlihat di kaki bukit.
"Ada penduduknya ya-"

Regi mengangguk.
"Hanya desa kecil. Nah makanya yuk kita coba keluar."

Kedua alisku terangkat.
"Tapi memangnya kita boleh keluar-"

"Bukan keluar sih-tapi sekalian ngabur-"

"Kabur?!"

Regi menyengir.
"Bercanda. Kita keluar sebentar saja-"
Ia menunjuk kebawah pada rombongan tentara yang terlihat sibuk melakukan bongkar muat di daratan pulaunya.
"Tuh kan lihat."

"Oke- kubangunkan Vincent dulu ya-"

"Sudah tak perlu-" Tahannya. "Biar kita saja dulu sekarang- sekalian ingin membincangkan sesuatu."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Setelah dengan tak tahu malu mengambil setumpuk donat di ruang makan lantai bawah untuk bekal sarapan pagi, kami berdua bergegas menghampiri jalur turun menuju jembatan kayu penghubung kapal dengan dataran pulaunya.

Ketika itu pun kami bertemu dengan Kadet Hugo dan Terrence yang berjaga tak memperbolehkan siapapun selain tentara Aegis yang keluar masuk kapal ini.

"Boss? Benar nih tak perlu kami kawal-"

"Tak apa- hanya berjalan disekitaran kapal juga kok."

Dengan setengah hati mereka mempersilahkan kami untuk keluar. Ketika sudah sampai menginjaki rumput pulau, aku menengok lagi kearah jembatan dan mereka masih terlihat mengawasi kami.

"Waw Reg."
Kulirik dirinya yang berjalan beriringan denganku dengan matanya mengawasi serius kesekitaran.
"Kau beruntung ya, orang bisa cepat sekali rasanya menyukaimu. Bahkan terus saja memanggilmu boss-"

"Ah biasa saja-"

"Tidak Reg!"
Aku menyungguhi.
"Ini beneran. Dari dulu sebelum kejadian wabah ini memang seperti itu dan belum berubah."

Ia tak ada menjawab hanya memberi senyum ringan.

Setelah sengaja memisah dari kumpulan tentara yang mengangkati barang, Regi memilih spot duduk yaitu tepat di atas batu-batu karang besar dengan pemandangan laut berdebur langsung dibawahnya.

"Kau tahu tidak Reg-"
Mulaiku sambil menarik buka resleting tasnya, menariki keluar tumpukan donat yang terbungkus didalam tisu.
"Jika tergelincir sedikit saja dari sini, kita bakal langsung mati ditelan ombak lho, jadi ini benar-benar pilihan tempat nongkrong yang bagus!"

Ia jadi terkekeh kecil.

"Karena pohon itu Luce-"
Tunjuknya pada pohon tua besar berada beberapa langkah dari samping kirinya tumbuh meliuk miring bagai payung diatas kepala kami.

"Ini menghalangi pandangan jika ada yang mau menembak kita. Lihat cabang serta ranting-ranting tebalnya yang tinggi, terus mengayun konstan karena tertiup angin dari bukit atas?"

Aku mengangguk.

"Jadi, yang melancarkan tembakan akan gagal karena akan keburu ditangkis cabangnya itu. Tembakan dari arah kapal pesiar, maupun dari atas bukit belakang kita ini-"
Jempolnya menunjuk.
"Ya jaga-jaga saja, siapa tahu ada orang desa diatas kita yang sedang jenuh dan mulai ingin menembaki orang secara sembarangan."

Setelah diam sejenak menikmati donat ditangan kami masing-masing, ia duluan yang membuka pembicaraan.

"Aku pengen tanya Luce,"

"Hmm?"

"Kau memang--ada minta sejumlah uang ya sama Pierre?"

Saking terkejutnya aku sampai tersedak oleh bongkahan roti donatnya.

"E-hek! Eng- emmh-"
Aku berdeham-deham dulu.
"Enggak kok! Kenapa kau jadi ikutan berpikir begitu sih?!"

Ia menggeleng.
"Tidak. Soalnya pagi sekali tadi datang tiga tentara ke kamarku, membawa empat tas ransel hitam isinya tumpukan uang euro cash. Yang jelas dari si Pierre-"

"Apa?!"

"Ya. Ini tas tadinya isi uang, kukosongkan saja buat bisa bawa jalan kesini."

"Astaga Tuhan--"

"Ya, jadi bukan karena kau minta-"

"Aku tak ada minta, tapi memang dia bilang mau memberi sejumlah uang sebagai kompensasi usaha kita kemarin."

"Hmm...kalau begitu selamat ya Lucy, kau sudah jadi orang kaya sekarang. Orang kaya diusia muda."

Aku mendengus tawa.
"Apaan sih Reg-"

"Beneran!"
Ia menaruh donatnya diatas paha.
"Kau sudah jadi orang kaya sekarang."

Aku mengerenyit geli.
"Memang berapa sih yang mereka beri-"

"Enam ratus ribu euro."

Aku semakin mengerenyit.
"Eng. ..jadi-"

"Jadi kau punya uang sepuluh koma lima milyar jika dirupiahkan."

Donatku pun jatuh dari tangan, menggelinding hilang ke bawah batuan.

"HAH?!"

"Ya, benar."
Regi lanjut melahap donatnya.
"Aku dapat empat ratus ribu euro, Vincent juga sama..."

"Astaga ya Tuhan Pierre,"

"Tak perlu kau kaget--Mereka kan bilioner- yang aku kaget kalau kau yang minta ke mereka bayaran dalam bentuk cash dan masukkan ke dalam empat ransel. Sangat gangster sekali pemikiranmu-"

Aku jadi tertawa kencang.
"Tapi aku tak minta begitu Reg sumpah-"

Ia mengangguk.
"Kalau begitu memang pemikiran Pierre berarti. Atau ayahnya."

"Mereka sekaya itu ya? Mudah sekali mengeluarkan milyaran-"

"Mereka keluarga ultra kaya. Kekayaannya saja triliunan. Bisa kau bayangkan? Ini benar-benar keberuntungan kita!"

Aku mentertawakan nada sarkastik yang terdengar jelas dari kalimatnya. Ketika tawaku padam baru kulanjutkan.
"Tapi sampai kapan ya kekayaan itu akan bertahan, kau tahu-- keadaan seperti ini-"
Aku berdecak.
"Dan uang sepuluh milyar itu, mau kemana kupakainya-rasanya seperti hanya sekedar kertas saja-"

"Belum sekedar kertas Lucy, uang masih berlaku sampai sekarang, kau pikir bagaimana keluarga mereka ini masih bisa bergerak kesana kemari membeli ini itu-walau yang kau pertanyakan itu benar sebagian. Yaitu sampai kapan uang akan terus berlaku di dunia ini."

"Yeah-"

"Ya,"
Hembusnya.
"Mungkin bisa digunakan saat kita pergi dari kapal ini dua hari lagi-"

Aku langsung menoleh padanya.
"Bagaimana kau tahu-"

"Kenapa kau tidak cerita rencana itu Luce-"

"Eng-" kutelan ludah.
"Aku memang berniat akan menceritakan ini Reg padamu sekarang."

Ia memalingkan wajah.
"Ya, aku sudah tahu semalam dari Pierre. Aku berbicara dengannya singkat sebelum dia rapat dengan Komander serta ayahnya."

"Aku memang memberitahunya Reg. Tentang kasus yang menimpa kita ini walau sedikit."

Ia balik menatapku.

"Pria yang kau injak lehernya itu sampai mati-Jonas."
Kumulai dengan lambat.
"Seperti yang kuceritakan padamu, aku menarik sambungan komunikasi dari telinganya, berbicara dengan entah siapa mereka yang mengetahui kita bersama Pierre juga. Dan pasti tanpa diragukan lagi Pierre bakal jadi incaran. Jadi aku terpaksa jujur sedikit. Demi keselamatan dia juga."

Regi mengangguk-angguk kecil.
"Ya itu baik untuk dilakukan."

"Karena kejadian pria penembak itu juga aku memutuskan supaya menjauh saja dari keluarga Malstrom. Hal ini terlalu berbahaya bagi mereka-"

"Dan aku juga berpikir ini terlalu bahaya juga bagimu, Lucy."

Ucapannya membuatku terdiam.

Ia menekuk lutut, meluruskan dulu duduknya kearahku.

"Lucy,"

"Ya."

"Apakah kau-tidak coba mempertimbangkan-kemungkinan untuk- pergi?"

"Maksudmu?"

"Maksudku...kau punya uang..."

Aku menggeleng.

Bisa menebak kemana arah pembicaraannya.

"Aku takkan meninggalkanmu Reg. Sudah kubilang jauh hari waktu itu, aku akan membantumu. Entah bagaimana pun caranya aku akan membantu."

Ia kembali terdiam, pandangannya balik lurus ke laut depan kami.

"Lagipula mereka kan sudah keburu mengetahui jelas diriku- dan mereka terdengar membenciku sekali. Dan aku benci mereka juga!"
Tekanku panas.

Ia mendesah.
"Sampai sekarang aku belum bisa mengingat dengan jelas. Rasanya aneh sekali, ada jarak tahunan yang tak aku ingat-"

Aku meremas bahunya sekilas sebelum membiarkan dia melanjutkan.

"Aku bahkan tak mengingat jelas wajah orang tua kita."

"Oh-"

"Apa kau punya simpanan foto mereka Luce? Foto kita bersama mereka-"

Aku menggeleng pedih.
"Tak ada Reg. Aku waktu itu kabur tak membawa apapun, dan ponsel kutinggalkan di hotel waktu itu, tak menyangka dunia juga bakal berubah parah seperti ini- kupikir habis itu masih bisa pulang-dan- oh iya tunggu, aku pernah menguploadnya di sosmed-"

"Sudah dihapus."

"Hah?"

"Pierre kemarin bercerita dia meminta pamannya untuk menghapus semua jejak diri kita di sosmed mana pun demi keamanan."

"A-APA?"
Pekikku seketika.
"Tapi aku belum ada copy foto orang tua kita-oh ya Tuhan tidak!"
Kuhentaki kaki sambil menutupi wajah dengan kedua tangan, sudah ingin menangis saja jadinya.
"Sisa kenangan kita satu-satunya-hilang!"

"Aku juga hanya punya satu foto kita betiga bareng ibu--tapi kan kuberikan pada Kapten Ryan supaya waktu itu hapal ketika mencarimu-"

Seketika tawa getir kencang meluncur dari mulut.

Aku jadi baru ingat lagi foto yang ditunjukkan waktu itu, foto kami makan di restoran rooftop.

"Entah dia menyimpannya atau tidak."

"Kurasa,"
Kuturunkan tangan dari wajah.
"Kurasa dia masih menyimpannya."
Kuseka ujung mata.
"Ya, seingatku dia menaruh foto kita itu di dompetnya."

"Tunggu, tunggu dulu-"
Tunjuknya, dengan wajah berubah geli sekali.
"Jadi...foto berharga kita. Foto satu-satunya kenangan kau dan aku di dunia ini bersama orang tua, berada di dompetnya si Kapten Ryan?!"

"I-iya."

Kami terdiam berpandangan, sebelum lanjut kompak tertawa terbahak-bahak.

"HAHAHAH-"

"Hahah iyaa aku ingat foto itu,"
Tanganku mengayun.
"Foto kita makan-makan di rooftop, kan kupikir kau akan ada minta lagi padanya-"

"Ya aku lupa! Gi-mana bisa seperti ini sih? Foto keluarga kita nyasar di dompet orang lain?!"

Aku menyeka mata.
"Haduh ampun-- ya memang itu kenyataannya Reg!"

Regi tahu-tahu mengangkat kedua tangannya membentuki corong pengeras suara.
"Oooi Ryaaan!"
Serunya keras galak seakan Kapten memang berada diseberang batuan karang.
"Dasar kauu! Cepat kembalikan foto kamiii!"

"Regi! Sudah jangan gila ah-"
Kekehku, menyadari para tentara yang berdiri dipinggiran kapal pesiar diseberang beberapa jadi menoleh memandangi kami.
"Nanti disangka kita berteriak minta bantuan-"

"Habis astaga--aku sungguh menginginkan foto itu kembali!"
Perlahan tawanya memudar.
"Karena aku tak bisa mengingat jelas wajah mereka-"

"Iya Reg."
Keluhku.
"Kita sama-sama lupa minta padanya ya ketika itu. Lagi pula seperti yang kubilang sebelumnya, tak menyangka akan jadi separah ini. Hingga memaksa kita harus pergi jauh."

Kami lanjut sama-sama terdiam, memandang jauh ke langit diatas.

Sungguh merasakan terisolasi dari kawan masa lalu.

"Sayangnya Luce, aku memang belum bisa mengingat banyak hal-"
Lanjutnya sambil menggosok kepala.
"Namun yang jelas aku berusaha takkan membiarkan diri jatuh begitu saja-"

Aku mengangguki.
"Ehm...iya Reg."

"Dan--jika aku terjatuh,"
Tatapannya berubah mendingin.
"Aku bersumpah takkan mau jatuh sendiri. Akan kuseret mereka semua ini jatuh bersama denganku."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author's note

Chapter ini 3200 kata- fokus dengan duo Aulian. Regi ambil kesempatan bonding dengan saudaranya setelah kekacauan di hari sebelumnya.

Sebenarnya berniat ingin update langsung dua chapter agar sama dengan spoiler kemarin, namun chapter yang kedua masih dalam tahap revisi kembali.༎ຶ༎ຶ

Semoga revisi chapter selanjutnya bisa cepat kelar.

Thanks for the wait!

Continue Reading

You'll Also Like

Damian By Ariel

Science Fiction

309K 16.6K 36
"maafkan aku Violetta" Tentang Damian yang begitu menyesal atas segalanya yang dia lakukan kepada istrinya. Menyesal telah mengabaikannya, menyesal...
154K 6.6K 36
"Dia seperti mata kuliah yang diampunya. Rumit!" Kalimat itu cukup untuk Zira menggambarkan seorang Zayn Malik Akbar, tidak ada yang tidak mengenal d...
51.4K 293 22
π˜Ύπ™€π™π™„π™π˜Ό π™ˆπ™€π™‰π™‚π˜Όπ™‰π˜Ώπ™π™‰π™‚ π™π™‰π™Žπ™π™ 18+, π˜Ώπ˜Όπ™‰ 21+, π˜½π™Šπ˜Ύπ™„π™‡ π˜Ώπ™„ π™‡π˜Όπ™π˜Όπ™‰π™‚ π™ˆπ˜Όπ™ˆπ™‹π™„π™!!! πŸ”žπŸ”žπŸ”ž menceritakan seorang pria bernama A...
45.8K 7.4K 99
⚠️TERJEMAHAN GOOGLE 31 MARET 2022 JUDUL Jenderal, Inhibitor-mu Jatuh [Memakai Buku]\ε°†ε†›οΌŒδ½ ζŠ‘εˆΆε‰‚ζŽ‰δΊ†[η©ΏδΉ¦] PENULIS Xiao Chi Qing\η¬‘θΏŸζƒ… Status 139 bab lengkap d...