verrückt | renryu ✔

By peisinoehina

81K 7.4K 1.7K

Deep down we realize that this disgusting secret will slowly kill us and the other, but we cannot hold back w... More

disclaimer
introduction
prolog
1. their story
2. each other's owner
3. first of everything
4. intimidating
5. being hit
6. did it
7. volunteering
8. departure
9. side to side
10. stabbed
11. dinner
12. gift from hell
13. beach talk
14. definition of love
15. suddenly
16. avoidance
17. finding out
18. sin
19. result
20. hangout
21. confrontation
22. second time
23. hell pills
24. a date
25. catasthrope
26. the plan
27. complicated
28. grudge
29. accident and the effect
30. another fact
31. deeper
32. fatal
33. chaos
34. solution
35. apology
36. probability
38. back again
39. will you?
40. went through
epilog
closing
bonus: peace
bonus: interview (1)
bonus: interview (2)
bonus: interview (3)
real closing
promotion

37. the real twist

1.1K 127 41
By peisinoehina

Enam belas tahun lalu...

Taeyeong bersandar pada dinding sembari menendang kerikil kecil di dekat kakinya. Menunggu kedatangan seseorang dari dalam gedung tempatnya bersandar.

"Eh? Taeyong-ssi?"

Taeyong menoleh sembari tersenyum saat mendengar sapaan orang yang ia tunggu-tunggu.

"Ah paman, apa kabar?"

"Baik. Ada apa Taeyong-ssi ke sini? Mencari seseorang kah?" tanya seseorang itu dengan nada ketakutan.

"Aku mencari paman," balas Taeyong.

"Untuk apa?"

Orang yang Taeyong panggil paman itu semakin takut. Ia merasa tidak tenang dengan nada bicara serta tatapan Taeyong padanya.

"Menawarkan sesuatu yang menguntungkan untuk paman? Ya seperti itu lah! Aku tahu paman ke sini pinjam duit buat bayar hutang putra paman yang kabur entah kemana itu. Paman enggak mungkin pinjam uang Chansung-samchon lagi, makanya paman ke sini bukan?"

"Mak...maksud Anda apa..."

"Aku akan bayar semua hutang paman. Bahkan aku bisa selamatkan istri dan putri paman serta membiayai hidup mereka selamanya. Paman enggak perlu khawatir. Tapi paman harus mengabulkan permintaanku, segampang itu saja," ucap Taeyong bernegosiasi.

"Paman mau jemput Renjun kan? Di tengah jalan, paman bakal ketemu sama mobil yang bawa Herin sama Ryujin, temannya Herin. Aku mau paman nabrak mobil itu, tepat di bagian Herin duduk. Kalau bisa, Herin harus mati di tempat," lanjut Taeyong.

"Taeyong-ssi! Apa kamu gila?!"

"Paman enggak mau? Reaksi paman beda ya sama supirnya Ryujin. Dia mau saja tuh waktu aku tawarin uang, padahal permintaan aku ke supir Ryujin lebih serem. Harus siap ditabrak. Kenapa paman malah enggak mau?"

"Ya kalau paman enggak mau sih enggak masalah, tapi jangan salahin aku kalau istri dan putri paman sampai kenapa-napa," ancam Taeyong.

Kalau sudah diancam seperti itu, bagaimana bisa supir Renjun menolak. Apalagi ancaman tersebut berkaitan dengan orang yang dicintainya.

Kecelakaan di bawah derasnya hujan kala itu, faktanya, memang bukanlah sebuah kecelakaan. Melainkan pembunuhan berencana yang diinisiasi oleh Taeyong usia sembilan belas tahun.

Saat Taeyong mengatakan ia akan menghancurkan kebahagiaan Jeno, ia serius. Tak peduli akan rasa sayangnya pada Herin, jika melenyapkan Herin akan membuat Jeno tidak bahagia, maka jalur itu yang akan Taeyong tempuh.

Walau akhirnya tidak sesuai harapan Taeyong.

Supir Renjun masuk penjara karena dianggap lalai saat mengemudi dan terindikasi mengonsumsi alkohol sebelum menyetir. Supir Ryujin yang justru mati ditempat. Ryujin lupa ingatan dan Herin tidak mati.

Namun saat mengetahui kalau Herin tidak bisa lagi menjalani kehidupan yang sama seperti sebelumnya. Tahu bahwa Herin akan dibawa ke Amerika oleh orang tua Renjun dan Ryujin yang tidak ingin anaknya terlibat dalam kecelakaan tersebut.

Taeyong tersenyum.

Dirinya berhasil menghancurkan hidup Jeno.

"Kamu itu bodoh Lee Jeno!"

Tangan Jeno mengepal kuat. Amarah memuncak kala kalimat demi kalimat meluncur dari mulut Taeyong.

"Kalau mau balas dendam itu, cari dulu faktanya sampai ke akar-akar. Baru tentuin siapa yang kamu serang!"

"Sekarang lihat apa yang terjadi? Kamu kehilangan sahabat dan justru berakhir sebagai pembunuh sahabat kamu kalau Renjun sampai mati. Ya sekarang sih masih koma, enggak tahu besok," lanjut Taeyong.

"Brengsek!" teriak Jeno.

"Gimana? Udah makin benci belum sama aku?" tanya Taeyong sinis.

"Harusnya Herin mati saat itu juga! Tapi kayaknya Tuhan masih sayang sama kamu, makanya Dia kasih Herin hidup. Walau dalam keadaan yang menyedihkan. Lebih baik begitu, karena sampai kapan pun, kamu enggak pantas bahagia!"

"Hyung! Kamu manusia atau bukan?! Kenapa kamu semudah itu berpikir untuk membunuh?! Kenapa kamu punya pikiran untuk membunuh Herin, bangsat!" teriak Jeno.

Jeno benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Taeyong.

Jeno sangat yakin kalau kejadian nahas enam belas tahun yang lalu itu bukanlah sekadar kecelakaan semata. Melainkan pembunuhan berencana.

Namun Jeno tidak menyangka kalau pelaku dari kejadian itu bukanlah Renjun maupun Ryujin yang lupa ingatan.

Melainkan kakak kandungnya sendiri, Lee Taeyong.

"Karena aku cinta sama Herin! Dan aku enggak akan pernah bisa melihat Herin bahagia dengan pria lain, sekalipun itu adik kandung aku sendiri!" bentak Taeyong.

"Kalau Herin enggak bahagia sama aku, maka Herin enggak boleh bahagia sama lelaki manapun, termasuk kamu!"

Air mata mengalir begitu saja dari pelupuk.

Setelah sekian lama menahan sakit dibalik perbuatan kejinya, Jeno menangis.

Jeno menangisi kebodohannya selama belasan tahun. Kiranya, dengan balas dendam maka semua rasa sakit Herin terbayarkan. Nyatanya tidak.

Jeno justru dihadapkan dengan kenyataan lain bahwa kejadian itu adalah rencana licik akibat rasa sakit hati yang Taeyong rasakan.

"Kalau hyung ngerasa begitu, kenapa hyung enggak bilang?!"

Jeno membentak. Ia sontak berdiri dari duduknya menatap Taeyong dengan tatapan marah dan air mata yang masih terus mengalir tanpa henti.

"Apa susahnya hyung bilang ke aku kalau hyung cinta sama Herin?! Apa susahnya bilang kalau hyung enggak mau Herin bahagia sama aku?! Kamu tinggal bilang!" bentak Jeno.

"Kalau aku bilang saat itu, apa yang bakal kamu lakuin, hah?! Menjauh dari Herin?! Hah!"

"Sampai seumur gini aja, egoisme kamu masih setinggi langit! Apalagi dulu, ketika kamu masih bocah naif yang enggak suka punyanya direbut."

"Kamu sama aku tuh enggak ada bedanya. Sama-sama egois, sama-sama batu. Kamu di masa lalu enggak akan lepasin Herin semudah itu. Aku tahu kamu, Lee Jeno!"

"Makanya aku mengalah, menjadi yang paling jahat di antara kita berdua. Sayangnya, kamu mengikuti jalurku dan berakhir di tempat seperti ini."

"Salahku?"

"Of course, no! Kamu yang memilih untuk balas dendam tanpa sadar kalau sasaran kamu salah. Harusnya kamu balas dendam ke aku," ucap Taeyong.

"Satu hal lagi, kamu enggak akan pernah bisa membuktikan kejahatan aku. Karena kamu masih di sini. Bahkan kalau abis persidangan kamu bisa bebas, kamu enggak pernah bisa mencebloskan aku ke penjara."

"Kamu tahu kenapa? Karena aku bukan orang bodoh kayak kamu, Lee Jeno!"

Setelah menyelesaikan apa yang perlu dikatakan, Taeyong pergi dengan senyum kemenangan bertengger di wajah.

Meninggalkan Jeno yang kini duduk terjatuh di lantai, menangis sesegukan setelah ditampar oleh kenyataan yang baru ia ketahui.

Rasanya begitu sakit.

Jeno tidak menyangka tebakannya menjadi kenyataan dan pelaku sesungguhnya justru adalah kakak kandung-nya sendiri.

Berarti, semua yang Jeno lakukan sia-sia.

Jeno bodoh.

Bodoh karena membiarkan pikiran jahat mengontrol dirinya, tanpa menyadari kemungkinan lain bahwa kejadian nahas enam belas tahun itu bisa jadi merupakan rencan orang lain.

Bodoh karena merusak persahabatannya dengan Renjun, Jaemin, Hyunjin, dan Saeron. Bahkan Haechan pun kini berbalik darinya. Walau lelaki itu masih baik hati dengan turun tangan mengurus perusahaan, tetap saja. Jeno benar-benar merusak semuanya.

Hanya karena sebuah balas dendam.

Lima hari berlalu...

"Ini ya pak, terima kasih."

Ryujin turun dari taksi setelah membayar. Berdiri tegak menatap gerbang di hadapannya. Ryujin sesungguhnya ragu untuk mendatangi Jeno di penjara.

Antara dirinya dan Jeno sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Ia sudah mengkhianati Jeno karena mengandung anak pria lain, namun Jeno lebih parah karena hendak menikahinya karena balas dendam.

Namun Ryujin merasa, ia harus mendengar langsung faktanya dari mulut Jeno. Ia tidak mau ada perasaan saling membenci untuk ke depannya. Walau Jeno telah melakukan kesalahan yang fatal, Ryujin tidak boleh sembarang membenci orang.

Mendengar dari Herin saja, Ryujin paham kalau Jeno tidak sembarang mengeksekusi balas dendam. Pria itu memendam amarah terlalu lama, hingga akhirnya tak mampu lagi membendung dan memilih untuk balas dendam.

Cukup lama Ryujin berdiri di depan gerbang, hingga seorang polisi yang berjaga di pos mendatanginya.

"Agassi, adakah yang bisa saya bantu?"

Ryujin menoleh pelan dan membungkuk. "Ah iya, saya ingin mengunjungi salah satu tahanan."

"Oh begitu. Mari ikut saya, nona harus mengisi beberapa administrasi sebelum berkunjung," terang si polisi.

Ryujin mengikuti semua prosedur untuk berkunjung. Kini ia mengikuti seorang sipir menuju ruang bertamu. Seperti di drama, ruangan bertama dibatasi oleh sekat kaca.

"Nona tunggu sebentar ya. Kami akan panggil Tahanan 2831," ucap sipir.

Ryujin harap-harap cemas menanti kehadiran Jeno. Tangannya mendadak berkeringat, takut akan reaksinya sendiri saat menatap Jeno.

Tak lama, pintu dari seberang terbuka. Jeno masuk dan tatapan bersirobok dengan tatapan Ryujin. Mereka terdiam dalam posisi masing-masing, terlihat canggung untuk sekadar berucap.

"Jeno-oppa, apa kabar?" Ryujin membuka suara terlebih dahulu.

"Begini saja, sambil nungguin sidang besok hari," balas Jeno tenang.

Ryujin merasakan perbedaan dari pria yang ia pernah kencani lima tahun lebih itu. Jeno tidak lagi terlihat berapi-api. Semangat dari pria itu seakan lenyap dihempas angin.

Niat Ryujin untuk memarahi pria itu, yang sempat terbesit saat perjalanan ke tempat Jeno ditahan, ikut lenyap. Mendadak ia tidak tega untuk sekadar membentak Jeno. Rasanya tidak adil, ketika Jeno juga menderita selama ini.

"Oppa tahu? Pernikahan kita dibatalin," ucap Ryujin.

"Tahu. Aku juga tahu kalau sebentar lagi kamu mau menikah sama Renjun. Miyeon-noona sudah enggak ada, kamu hamil anak Renjun. Pilihan apa yang bisa dilakukan selain menikahkan kalian?"

"Itu sudah keputusan terbaik yang dipilih oleh semua orang, setelah semua kejahatan yang aku perbuat. Karma enggak hanya ditanggung olehku, tapi juga kalian."

"Aku minta maaf, karena telah melakulan hal keji ketika kalian tidak salah sama sekali. Tak seharusnya aku menghancurkan hidup kalian. Sekali lagi maafkan aku," ucap Jeno sembari sedikit membungkuk, mengucapkan maaf dengan tulus dari lubuk hati paling dalam.

Jeno benar-benar merasa bersalah karena telah menghancurkan hidup banyak orang. Maka dari itu, Jeno meminta maaf atas semua perbuatan keji yang ia lakukan.

Ryujin terhenyak saat mendengar permintaan maaf Jeno. Bagaimana pria ini masih ada nyali untuk meminta maaf?

Keinginan Ryujin untuk meredam amarahnya batal seketika.

"Setelah semua yang oppa perbuat, oppa minta maaf? Aku enggak salah dengar 'kan?" tanya Ryujin dengan suara meninggi.

"Oppa tahu apa yang sekarang terjadi? Renjun belum bangun dari komanya sejak seminggu yang lalu. Miyeon-unnie meninggal bunuh diri, tapi kakak tahu siapa yang disalahkan? Aku!" seru Ryujin sembari menahan diri agak tidak membentak Jeno.

"Semua orang berkata aku pembunuh! Aku adalah orang yang membunuh Miyeon-unnie karena berani merebut suaminya!"

"Oppa pernah berpikir enggak, apa konsekuensi dari semua perbuatan tidak berdasar oppa itu? Catasthrope! Semua hancur!"

"Keputusan apapun yang sekarang aku tempuh, enggak akan merubah apa yang terjadi di masa lalu! Orang akan tetap mengecap aku pembunuh!" ucap Ryujin dengan suara bergetar.

"Oppa adalah orang bodoh yang menganggap kecelakaan enam belas tahun yang lalu itu sebuah pembunuhan berencana," lanjut Ryujin setelah menenangkan diri.

"Oppa tahu? Karena semua perbuatan oppa, oppa enggak hanya berubah jadi orang jahat, oppa juga kehilangan sahabat-sahabat oppa. Hanya karena kesalahpahaman yang oppa pegang teguh sejak awal."

"Oppa juga merusak kepercayaan aku. Aku pikir oppa tulus cinta sama aku. Aku pikir, aku yang jahat karena berselingkuh hingga mengandung anak pria lain. Ternyata, oppa biang kerok dari semua ini!"

"Oppa tahu rasanya seperti apa? Aku merasa dibodohi! Like, benar-benar bodoh karena tidak menyadari permainan jahat ini!"

Ryujin tanpa henti mengeluarkan unek-unek dalam hati. Wanita itu tidak mampu lagi membendung isi hatinya. Ryujin menangis tersedu, akibat jenis emosi yang bercampur tanpa Ryujin paham apa yang ia sesungguhmya rasakan.

"Aku...maaf Ryujin, maaf...."

Jeno hanya bisa mengucapkan kata itu berulang kali. Ia tidak mungkin menceritakan yang sesungguhnya, bahwa kecelakaan enam belas tahun yang lalu itu merupakan pembunuhan berencana oleh Taeyong.

Walau rasa benci pada Taeyong menggerongoti diri Jeno, ia tidak mungkin memgatakan yang sesungguhnya. Ryujin akan semakin membencinya. Mungkin tidak hanya Ryujin, tetapi juga Herin, Renjun, dan keempat sahabatnya yang lain.

"Maaf karena telah menyebabkan semua ini. Tidak banyak yang bisa aku perbaiki. Maka aku memutuskan akan menerima hukuman yang dijatuhkan oleh hakim di sidang besok. Seberat apapun, akan aku terima. Karena itu salahku," balas Jeno.

"Lalu, selamat untuk pernikahan kamu sama Renjun. Kamu harus bahagia. Jangan peduliin kata orang, ketika apa yang mereka katakan bukanlah kesalahanmu. Itu salah aku," lanjut Jeno.

Ryujin masih menangis saat Jeno meminta untuk bahagia. Apakah bisa Ryujin bahagia semudah omongan Jeno?

"Terus kakak gimana? Enggak perlu bahagia?"

Di tengah amarah yang meluap, Ryujin masih ada waktu untuk sekadar bertanya. Memikirkan kebahagiaan Lee Jeno.

"Jangan peduliin aku. Kita sudah selesai dan enggak seharusnya kamu masih bersikap baik sama orang yang membuatmu menderita. Pikirkan kebahagiaan kamu terlebih dahulu, oke?"

Tepat setelah Jeno menyelesaikan ucapannya, waktu kunjungan habis dan pria itu harus kembali ke ruang tahanan.

Semuanya berakhir tanpa penjelasan lebih lanjut, saat Jeno melangkah keluar dari ruangan.

"Hoekkk!"

Suara muntahan menggema di kamar mandi berukuran 2 x 3 meter. Matahari masih malu-malu untuk merangkak, namun Ryujin sudah berjibaku di depan wastafel.

Apalagi kalau bukan karena morning sickness yang tanpa angin tanpa hujan menyerang tubuh. Sebelum ketahuan hamil, Ryujin tidak mengalami hal seperti ini.

Apa karena sudah diketahui, makanya janin Ryujin mengerjai si calon ibu. Ryujin harus memegang erat pinggir wastafel jika tidak ingin ambruk ke lantai, yang justru lebih membahayakan bagi kandungan.

"Unnie! Kok enggak panggil aku sih?" pekik Yuna yang sudah muncul di kamar mandi dan mengelus tengkuk leher serta punggung atas Ryujin dengan pelan.

"Aku enggak papa Yun," ucap Ryujin.

Ryujin hidupkan keran air untuk berkumur. Setelah itu kembali ke tempat tidur dengan bantuan Yuna.

"Unnie, ini aku bawain bubur polos sama susu ibu hamil. Unnie belum ada minum susu gini kan? Kata temen aku yang sudah punya anak, unnie harus minum susu biar nutrisi janin-nya terpenuhi," seru Yuna menunjuk ke arah nakas.

"Ih enggak mau ah! Pertama, aku enggak suka bubur polos. Kedua, aku enggak suka susu vanilla!" cerocos Ryujin sembari menunjuk ke gelas tinggi yang digunakan sebagai wadah susu.

"Unnie nih! Sudah lemas gitu, masih saja protes!" omel Yuna.

"Aku tahu, kakak sukanya bubur abalone. Tapi ibu hamil tuh sensi sama bau-bau amis seafood, makanya aku minta bibi masakin bubur polos aja. Terus soal susu, minum aja sudah yang ini. Sudah terlanjur aku beli juga. Entar kalau sudah habis satu kaleng, baru ganti yang rasa cokelat," lanjut Yuna.

"Tap...tapi..."

"Nurut saja napa sih?!" sela Yuna.

Ryujin merajuk. Namun Yuna tidak peduli. Gadis itu tetap memaksa kakaknya makan, menyuapi Ryujin bubur hingga tandas. Dilanjut dengan minum susu.

"Yuck! Enggak enak," pekik Ryujin setelah terpaksa menghabiskan susu segelas.

"Enggak enak, enggak enak. Siapa suruh hamil? Bikinnya benar enak, tapi liat sekarang. Nyesel kan!" cibir Yuna sedikit vulgar.

"Rese kamu ya! Dulu dukung banget kalau aku sama Hwang-uisanim, sekarang malah aku dikatain!" gerutu Ryujin.

"Aku emang setuju aja kalau unnie sama Renjun-oppa. Tapi ya kagak sampai bunting luar nikah gini. Capek sendiri kan, masih harus kerja padahal keadaan unnie lemas gini," balas Yuna.

Omongan Yuna enggak salah.

Tapi mungkin Ryujin aja yang sensitif. Ryujin menangis sejadi-jadinya setelah mendengar perkataan sang adik. Yuna kaget dong jelas. Padahal dia membicarakan fakta, tapi kok bisa kakaknya ini langsung nangis.

"Unnie tahu enggak? Sejak ketahuan hamil, unnie tiga kali lebih nyebelin dari biasanya," cibir Yuna.

Walau mencibir, Yuna dengan telaten menghapus air mata yang membasahi wajah Ryujin.

"Kan gara-gara kamu!" sungut Ryujin.

"Iya, iya, maaf. Sudah jangan nangis lagi. Unnie tidur saja dulu. Nanti aku bangunin dekat-dekat jam makan siang," ucap Yuna setelah menenangkan Ryujin.

"Unnie jadi datang ke sidang-nya Jeno-ssi? Nanti siang kan ya?" tanya Yuna kemudian.

Pikiran Ryujin menerawang.

Antara dirinya dan Jeno sudah kandas. Namun, sidang putusan hukuman untuk Jeno ini berkaitan dengan Renjun yang masih dalam kondisi koma.

Kondisi Ryujin juga belum sebaik itu untuk datang. Bisa jadi, jalannya persidangan akan mempengaruhi fisik dan juga mental Ryujin.

Haruskah Ryujin datang?

Aku kembali!

Pada kaget ga sama plot twist-nya? Ada yg kepikir enggak kalau bakal gini jadinya? Coba sih, aku kepo. Menurut kalian plot twist-nya mencengangkan atau b aja, kayak kalian udah nebak kalau bakal ada plot twist begini?

revised on 2020/09/05

Continue Reading

You'll Also Like

32.1K 3K 26
(Belum Revisi) "Anak seperti teman."--Karina. "Minta dijodohkan bukan dijodohkan."--Jeno. "Aku seperti pedofil."--Jaemin. "Ma, Kakak Na ganteng."--W...
543 73 7
Kata "Innefable" memiliki arti tak terkatakan atau tak terlukiskan seperti ketika Aku mendeksripsikanmu -Adhelard Chevalier
467 60 5
"Di bilang cantik sama cewek cantik gue udah biasa. Tapi, pernah gak sih lo di bilang cantik sama cowok boty dengan tatapan dominannya?" -Syabira-
2.9K 386 27
I thought everything was normal, until I realized how wrong I was. -Bathed in Fear, Bonus Project 1. © 2021 nebulascorpius