RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra MalstrΓΆm -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Target

8.3K 1.8K 827
By MilenaReds

Aku bisa merasakan diri mulai berkeringat parah diruangan ber-AC ini.

I-ini benarkah?

Aku menarik napas, menatap karpet dibawah kaki sebentar untuk menetralkan penglihatan sebelum balik mengeceki layar.

Mungkin apa terlalu memikirkan dia sampai berhalusinasi-

Jantungku berdegup.

Tapi itu benar dia,

Kapten Ryan.

Kuasai dirimu Lucy-kuasai diri-

Kapten terlihat tak berkedip sama sekali menyaksikan layar masih memperlihatkan bagaimana Vincent memeluk-membisik-bisikkan sesuatu ketelingaku dengan tersenyum.

Kalau disituasi biasa, normal- jelas aku akan segera memanggil- atau setidaknya memberi kode padanya.

Tapi sekarang aku malah kontan berubah menjadi batu.

God-o-God-

Say that you'll never, never, never, need it-

Butuh effort besar sekali rasanya hanya untuk berdiri diam, tersenyum saat ini.

One headline, why believe it?

Please Tuhan please!

Aku sungguh berdoa keras dalam hati supaya layar tampilan perayaan segera digantikan dengan gambar yang lain.

Banyak hal yang dilakukan kemarin dan kenapa harus ini yang disorot oleh Pierre-

Everybody wants to rule the world-

"YAH KOK?!"

Suara pekik protes seorang pemudi asal New Zealand itu mem-pause rapelan doaku.

Dan aku menyadari video sudah tak menampilkan diriku dan Vincent lagi, namun menyoroti orang-orang disekitar yang menikmati perayaan.

OhthankGod!

Aku mengeluarkan napas panjang tersembunyi.

"Kita melewatkan bagian spesialnya-"

"Apa maksudmu-"

"Tak lihat tadi bagaimana wajah Mr Vincent Malström sudah berada sedikit lagi dengan wajah Hero kita-"

Aku mengerjap kali ini penuh terkejutan.

A-apa maksud-

"Mereka hampir berciu-"

"Diam Stella! Itu privasi mereka-"

Pecah tawa terbahak seisi ruangan diikuti Pierre Malström juga.

Aku membuka mulut berusaha ingin cepat mengklarifikasi tapi keburu diduluani oleh si anak billioner.
"Iya! setelah melewati hari panjang yang berat, sepupuku mengambil waktu untuk merilekskan diri-"
Tumpahnya seru.
"Usai acara semalam mereka keluar bersama beranjak ke bagian teratas kapal-- melakukan entah apa berdua ketika semua sedang beristirahat tidur hingga pagi menjelang-"

"PIERRE ASTAGA!"
Aku mendesis penuh amarah benar-benar ingin membunuhnya ditempat.
"HENTIKAN-"

Para penyimak sudah keburu kembali bersiul-siul riuh.

Pierre mengatup mulutnya menampilkan wajah penuh polos seakan kebaikannya salah diartikan.
"Jag är ledsen! - sungguh tak maksud membocorkan-"

"Tak apa Lucy!"

"Kami mendukungmu-"

"Your body-your right-"

"Kalian cocok bersama-"

Aku belum pernah merasa semalu ini sampai ingin sekali segera menyembunyikan diri dalam lubang.

Atau menguap jadi asap sekalian.

Namun mereka terus semakin menjadi-jadi.

"Wah jangan-jangan kita akan segera-melihat Vincent-Lucy versi mini-"

"--dalam waktu sembilan bulan lagi ya-"

"Apa maksud- Tentu saja tidak!"
Bantahan keras Pierre yang tiba-tiba jadi mengagetkan kami semua.
"Tidak tentu saja mereka tidak-"
Lanjutnya membuatku mengerenyit heran karena ia terkesan akan merubah pernyataannya.

Dagunya mengangkat.
"Maksudku-hayolah- mereka berdua sudah dewasa dan pintar-"
Pierre menatapku.

"Tenang saja, mereka pasti akan melakukannya dengan pengaman-"

Ohmygod.

Aku hanya bisa menggeleng penuh tidak kepercayaan atas pembicaraan ngaco ini.

"Iya benar-"

"Masih banyak hal yang difokuskan-

"Disaat parah seperti ini--"

"Tapi kami mendukung apapun keputusan kalian-itu hak ditangan kalian-"

Aku memandangi Kapten kembali.

Ia bahkan sudah tak melihat layar lagi. Rahangnya jelas menegang. Pandangan turun, menatap meja didepannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Rasanya aku sudah menyebut 'Tuhan' sampai seratus kali sambil menjambaki rambut, menunggu dengan sangat tidak sabar Pierre di luar ruang pertemuan.

Aduh Tuhan gimana ini?!

Kapten pasti jadi menganggap aku perempuan berengsek sekali-

"The hell Lucy! Kau ini kenapa sih?!"
Kadet Silvia didekatku mulai memprotes.
"Bisa berhenti mondar-mandir seperti itu-"

"Kenapa Pierre lama amat?"

"Ya sudah masuk lagi saja sana!"

"Oh God-tidak makasih- ogah ya sorry kalau harus ikut omong kosongnya-"

"Lucian!"
Tampang Kadet Silvia benar-benar terkejut.
"Kau kok tega sekali bilang begitu tentang Malström yang sudah sangat berbaik hati pada kita membantu-bahkan kau jadi banyak dapat pujian di sesi tanya jawabnya-"

Aku benar-benar tertawa getir.

Sesi tanya jawab akhirnya dilanjutkan dengan auto pilot olehku.

Auto pilot dalam arti tak mau kupikirkan (pasrah), hanya otomatis menjawab tiap pertanyaan dengan iya atau tidak. Karena toh percuma menjelaskan panjang-panjang karena semua hanya mau mendengar apa yang mau mereka dengar.

Aku bahkan tak merasakan pujian. Malah tadi itu rasanya lebih kearah dimensi penghinaan publik.

"Tapi sekarang kau malah kepingin sekali berbicara kepadanya-"

"Aku memang harus berbicara padanya!"
Jawabku panas.
"Ada hal yang perlu kuluruskan disini secepatnya-"

"Ya jangan mondar-mandir- nanti juga akan didengar. Dia dan keluarganya kan selalu baik hati membantu-"

Oh God!

Aku memencet dahi.

Sepertinya Malström sudah diberi predikat orang suci oleh Kadet Silv.

"Uhm-selalu baik hati membantu-"

Alis Kadet Silv menaut.
"Tapi memang benar bukan?"

"I-iya tapi-"
Aku mengerjap berusaha mencari cara menjelaskan perkataan 'iya tapi tidak juga'.
"Dia-keluarganya memang menolong banyak-"
Aku menunjuk kesekitaran.
"Banyak sangat memang harus kuakui-"

"Zee? Untung kan kau dulu tak memilih hanya menjadi petugas pel kapal-lihat posisi kau saat ini--karena ternyata kau punya bakat terpendam-"

Ya sekarang malah aku yang ingin memendamkan diri ke dalam tanah.

"-bakat yang dibantu temukan juga oleh keluarga Malstrom-"

Kukeluarkan napas panjang lelah sambil menatap lantai.

Susah juga jika Pierre banyak pemujanya seperti ini-

"Kau beruntung sekali Lucy sudah punya kenalan lama macam keluarga Mal-"

Suara gumam hiruk-pikuk menangkap telingaku membuatku balik memandang penuh harap ke pintu pertemuan. Tak lama akhirnya benar pintu mengayun
membuka disusul keluarnya Pierre yang diikuti bagai matahari oleh para tentara dan penyintas.

"Iya-terimakasih-"
Pierre memegang dadanya berbicara kesekitar dengan rendah hati sekali.
"Sungguh terimakasih telah mau mendukung niat tulusku ini--"

Hoek.

Aku langsung menghadang kedepannya dengan tatapan sedingin mungkin.
Awalnya ia tak memperhatikan saking asik bicara namun akhirnya mengerem langkahnya juga.

"Lucian! Ada apa? Kenapa masih disini-"

"Iya- ada sesuatu yang penting harus kubicarakan-"

"Oh alright-"
Alisnya mengangkat, tanpa kusangka langsung mengiyakan.
"Oke--sampai nanti lagi ya semua!"
Ia melambaikan tangan menyuruh yang lain membubarkan diri.
.

.

.

.

.

Hanya ada kadet Silv yang berdiri dekat tiang tak jauh dari kami berbincang dengan Kadet Terrence.

"Oke Lucian,"
Ia mendorong bahuku sedikit, suaranya berubah merendah serius.
"Dengar. Aku juga ingin bicara sesuatu padamu. Kepikiran tadi selama interview -tentang misi selanjutnya kita- tapi pertama aku ingin mengucapkan selamat karena mereka semua menyukai kita! Terlebih tentang dirimu dan sepupuku-"

"Aku ingin kau berhenti berbicara seperti itu tentangku dan Vincent."

Ia terkekeh.
"Apa maksudmu? Kalian kan memang-"

"Tidak-sudah kubilang padamu-"

"Tapi mereka semua sungguh menyukai kedekatan kalian lho!"

"Masa bodoh! Dan aku tidak lagi ikut tim Avior-mu. Aku hanya ingin tetap jadi Kadet biasa-dibawah kepemimpinan Komander Pride!"

Senyum geli terbentang diwajahnya.

"Bisa saja kau Lucy haha-"

Aku tak balas tawanya.

Dan terus memberinya pandangan serius.

Perlahan, aku bisa melihat kepanikan merayapi mata ambernya.

"A-apa?! Tidak! Kenapa-"

"Maaf Pierre. Tapi ada banyak hal yang belum kau tahu-dan tadi itu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman-"

"JANGAN MAIN-MAIN!"

"Aku tidak main-main-"

"Lucy! Kita sudah mendapatkan pengikut besar militer saat ini dan kau tak bisa menyia-nyiakan hanya karena hal sangat sepele seperti itu-"

"Tapi barusan itu bagiku tak sepele!"

Ia mendesis.
"Kau tak lihat respon mereka tadi?Mereka jelas sudah menganggap kau sebagai inspirasi-"

"Demi Tuhan Pierre! Aku sungguh bukan orang yang tepat untuk menjadi sumber inspirasi!"

"TAPI KAU TAK BISA MELARIKAN DIRI BEGITU SAJA DENGAN BEBAN TANGGUNG JAWAB YANG SUDAH DISEMATKAN-"

"AKU BUKAN MAU MELARIKAN DIRI-"

"Oy kalian berdua!"
Panggil Silv dan Terrence bersamaan pada kami dari kejauhan.
"Kalian baik-baik saja disana?!"

Kami terdiam.

Jujur sebenarnya tetap ada rasa tak enak di hati namun kupaksa diri memandang Pierre dengan tegas.

"Mr Malström? Lucy?-"

Pierre sempat melirik ke dua tentara itu sebelum kembali memandangku sudah dengan tatapan dingin.

Perdana sekali aku melihat versi wajah Pierre seperti ini.

"Pierre, aku hanya tak bisa dan tak sanggup menjadi sorotan-"
Mohonku lagi kali ini dengan nada lebih beradab.
"Lagipula-kau kan bisa dapat banyak pengganti dari tentara Aegis lain atau bahkan-- tentara bayaran punya keluarga mu semisalnya-

"O-oh aku mengerti."
Hembusnya diselingi tawa.
"Aku mulai mengerti."
Jarinya menjentik padaku.
"Semua orang--memang seperti itu, bukan?"

"Hah?"
Aku jadi mengerenyit.
"Apa maksudmu-"

"Sebutkan angka nominalnya-"

"Apa maksud-"

Ia terlihat tambah kesal.

"Sebutkan angka- Luce. Aku tahu. Sebenarnya kau memang akan diberi imbalan uang setelah perjuanganmu kemarin-tapi kurasa memang harus dinegosiasikan ulang-sebut saja berapa untuk-"

"HIH!"
Aku sontak mengelak.
"Ya am-pun Pierre! Ini bukan masalah uang-"

"LALU APA MASALAHNYA?!

"Heh-hei sudah cukup!"
Kadet Silvia sekarang meloncat ketengah kami.
"Kalian ini kenapa-"

"AKU SUDAH MEMPERKENALKAN KAU KE SEMUA ORANG TADI-"

"AKU TAK MINTA DIPERKENALKAN!"

"MALAH SEKARANG SENGAJA YA CARI PERKARA DENGANKU BERALASAN KARENA VINCENT-"

"Ssssht jangan disini Mr. Malstrom-Lucian-orang-orang jadi memperhati-"

"-PADAHAL KARENA MASALAH KAU MEMBUTUHKAN SEJUMLAH UANG-"

"BUKAN MASALAH UANG APAAN SIH ASTAGA KAU TAK MENDENGARKA-AIH!"
Aku terkesiap ditempat merasakan air yang menyiprati wajahku.

"What the?! Kenapa disiram?!"
Aku memprotes pada Kadet Silv sambil menyeka wajah dengan punggung tanganku.

"L-lucian!-"

Mataku jadi bergeser balik pada Pierre yang memberiku tatapan syok.

Aku pun sebaliknya ikutan terperangah melihat cipratan bewarna kemerahan memenuhi sisi kiri wajahnya.

Aku mengangkat cepat punggung tanganku yang bernoda merah gelap kemudian lanjut panik merabai wajah sendiri.

Dan semakin menyadari ternyata aku telah menyeka darah, bukan air.

"I-ni dari mana-"
Mulaiku dan Pierre panik kemudian kami sama-sama menatap Kadet Silv.

Kadet Silv hanya membeku, menunduk memandangi pergelangan tangannya yang tertutup seragam lengan panjang, meloloskan banyak darah kelantai.

Pandangan ngeri kami perlahan naik pada bahu kanannya.

"Shit Kadet Silv-"

DHAR!

Bunyi tembakan terdengar dari kejauhan membuat kami kompak menoleh, sepersekian detik berikutnya desiran cepat angin berlalu tepat didepan wajahku, disusul jendela ruang pertemuan yang berada disamping kananku seketika pecah berhamburan.

"CEPAT MENUNDUK!-"
Teriakku menjatuhkan diri ketiang beton kapal terdekat sambil menariki Kadet Silv diikuti Pierre yang meneriaki Terrence untuk melakukan hal yang sama.

Para penyintas yang berjalan disekitar pun menyadari suara tembakan langsung hambur berlari ketakutan.

"AAAAAAKKH!"

Kadet Terrence sambil berlindung dibalik tiang terus mengintip sesekali berusaha mencari dari mana arah tembakan datang diantara riuh orang yang berlarian.

"Shit Lucy shiit-"
Pierre jadi memekik-mekik panik melihat keadaan Kadet Silv yang luka dibahunya sedang kuikat dengan jaketnya sendiri.

"T-tak apa-"
Kadet Silv menyahut pelan.
"Hanya terkena bahu-"

Pierre tetap memberiku tatapan horor.

Masalahnya peluru itu menembus sempurna membuat bahunya jadi berlubang dan darah terus deras mengucur walau sudah kucoba kututupi.

Terdengar kembali sekali suara tembakan. Peluru lalu melesak menghantam tiang beton tepat didepan Terrence.

"Hei yo! Aku melihat penembaknya!"
Info Terrence tanpa menoleh. Tangannya terangkat menunjuk.
"Disana! Dia sembunyi diseberang luar sana dekat pembatas samping kapal-"

"Kadet Terrence! Kau mau kemana-"

"Cepat bergabung memberitahu tentara lain-"

"TERRENCE!"
Panggilku lagi.
"Hati-hati! Cepat juga cari cara beritahu kakakku! Dia pasti bisa membantumu-"

"Dan beritahu juga keluargaku termasuk Vincent supaya berlindung!"
Sela Pierre.

"Baik Siap!"
Sahutnya sebelum berlalu pergi.

Aku balik menoleh pada Pierre.
"Dan kita juga tak bisa diam begini-"
Jantungku berdegup tak terkontrol.
"Kadet Silv-"

"Kita bisa membawanya keruangan kesehatan depan sana Luce-"
Pierre menunjuk koridor dibelakangku.
"Tapi kita harus dengan cepat memapahnya kesana-menghindari penembak gila-"
Tangannya mengalung disisi kanan Kadet Silv.
"Dalam hitungan tiga oke-"

Aku menelan ludah. Menatap sekilas jauh keatas, kepada balkon dimana deretan kamar kami berada.

Cepat turun dan bantu kami Reg-

"Mari Luce- ayo!"

Aku menyelipkan tangan kepinggang Kadet Silv lalu kami langsung berlari memapahnya.

Pierre yang paling banyak menanggung beban badan Silv selama berlari sedangkan aku fokus menahan agar badannya tidak tumbang kebelakang atau samping.

Kami beberapa kali hampir menabrak orang yang berlarian sambil berusaha mengabaikan banyak darah Kadet Silv yang mengucuri lantai.

Laju kami terhenti ketika mendekati dua jalur dan si anak billioner malah terlihat kebingungan di kapalnya sendiri.

Kadet Silv sudah antara sadar dan tak sadar ditangan kami.

Rasa ketakutan mengalir semakin deras didadaku.

"DIMANA RUANGANNYA?-"
Aku semakin menekan.
"PIERRE! KUMOHON CEPAT-"

Tanpa aba Pierre mengambil arah kiri membuatku sedikit limbung mengikutinya.

Dan syukurnya, jalur pilihan si pemilik kapal ini benar.

Tanpa ba-bi-bu ketika melihat tanda ruang kesehatan kami langsung menerobos masuk dan menemukan ruangan kesehatan yang kosong melompong.

"What the fuck?!"

"Dimana petugasnya?!"
Pekikku sambil menoleh mencari-cari.
"Apa belum siaga berjaga karena masih pagi-"

Pierre tahu-tahu menendang salah satu dari kursi jaga hingga membentur keras lantai.
"HEI KALIAN PETUGAS SEMUA DIMANA HAH?!- PIERRE MALSTROM DISINI-"

Satu pintu membuka didepan dan keluar dengan tergesa tiga petugas berseragam putih.
"Mr. Malström!"
Kata mereka serentak ketika bertumbukan mata dengan kami.
"Maaf tadi kami sedang makan dibelakang-"

"Cepat! Salah satu dari kalian kunci akses pintu masuk ruangan ini dan yang lain cepat tolong Kadet Silv yang tertembak- "

Mereka menghampiri dengan penuh heran.

"Tertembak?"

"Kalian bisa mengatasinya kan?"
Potongku segera.
"A-ada persediaan alat untuk mengatasi luka tembak Kadet Silv-"

Mereka untungnya mengangguk yakin bisa mengatasi.

Kami ikut masuk membaringkan Kadet Silv yang masih setengah sadar keatas tempat tidur sebelum keluar membiarkan para tenaga medis menolongnya.

Kami pun lanjut berhadapan gelisah saat diluar kamar.

"Tembakannya tak berlanjut ketika kita berlari membawa Kadet Silv tadi-"

"I-iya-"
Aku menjawab dengan setengah tercekat.
"Semoga pelakunya cepat tertangkap. i-nilah yang kutakutkan Pierre, dari awal. Ini yang kutakutkan jika terlalu menarik perhatian-"

"Tapi aku tak mengerti!"
Bantahnya.
"Semua penyiaran misi kita ini-baru disiarkan beberapa jam belakangan ini-- dan-"
Terhenti, ia menggosok kepalanya penuh frustasi.
"Maksudku apa yang salah?! Bukankah perjuangan kita kemarin itu hal positif? Kenapa jadi sampai ada yang mau berniat membunuh-"
Ia menghirup napas sambil menatap lantai.
"Oke,oke Lucy. Baiklah kuakui- aku ingin mengambil nama dari peristiwa besar kemarin, tapi apakah salah?!"
Tanpa menunggu jawabanku ia melanjutkan sendiri.
"Tak ada yang salah bukan?!"
Klaimnya sambil berjalan mondar-mandir.
"Perhatikan tidak-- bagaimana tadi dia mengeluarkan tembakan sekali-sekali? Jika mengincar kita semua--kenapa tidak tembak saja secara membabi-buta- kecuali-ya ehm-"
Ia menoleh dengan mengerenyit.
"Kau mengenal lebih dahulu si Silv itu-- apa dia tipikal punya banyak musuh-

"H-hah?-"
Kepalaku menggeleng.
"K-kurasa tidak. Aku mengenalnya walau singkat. Dia dijadikan mentor kami oleh Komander- dan dia rasanya baik-baik saja sikapnya."

"Nah kan?"
Ia melanjutkan lagi.
"Sadarkah kau--kita punya tiga variabel target disini? Jika kau bilang Kadet Silvia tak bermasalah, berarti satu variabel gugur. Dan tersisa kita berdua saja variabelnya."

Aku yang sempat menunduk jadi mendongak menatapnya.

"Jika penembaknya tidak menargetkan diriku-"

Jelasnya perlahan.

"--artinya dia menargetkan pelurunya padamu--Lucy."

Continue Reading

You'll Also Like

10.7K 174 10
Saya ganti akun lanjutin cerita nya disini aja
50.2K 288 22
π˜Ύπ™€π™π™„π™π˜Ό π™ˆπ™€π™‰π™‚π˜Όπ™‰π˜Ώπ™π™‰π™‚ π™π™‰π™Žπ™π™ 18+, π˜Ώπ˜Όπ™‰ 21+, π˜½π™Šπ˜Ύπ™„π™‡ π˜Ώπ™„ π™‡π˜Όπ™π˜Όπ™‰π™‚ π™ˆπ˜Όπ™ˆπ™‹π™„π™!!! πŸ”žπŸ”žπŸ”ž menceritakan seorang pria bernama A...
Jimin Or Jimmy By arzy

Science Fiction

514K 2.9K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
GreShan.... By whehe

Science Fiction

21.3K 898 23
"Dasar anak manja" Shani Indira Natio Shn dom!