RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra MalstrΓΆm -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Changes

9.6K 1.9K 1K
By MilenaReds

Suara Jet tempur yang mendekat memutuskan perbincangan, kami saling berebut ke jendela terdekat, untuk melihat bantuan besar yang datang.

Tiga jet tempur yang datang melesat dari langit selatan semakin keras nyaring hingga membuat kami menutup telinga, terlebih ketika lewat tepat diatas kami.

"Whoa!whoa!"
Kami semua seketika berpegangan, akibat heli jadi bergetar hingga mengeluarkan suara nyaring peringatan dari kokpit.

"Tenang-tak apa, posisi kita memang terlalu dekat dengan mereka!"

Setelah pemberitahuan dari Regi itu, kami balik meneliti jendela. Terlihat laju tiga jet melambat, dan meluncur dua rudal dari moncong pesawat pertama, melesat lurus menyecar tengah jalan.

Ledakan rudal memunculkan jejak retakan tanah yang besar sebelum meruntuh kebawah, membawa serta ribuan zombie terjun jatuh ke gorong bawah tanah dengan kedalaman hampir dua puluh lima meter.

Aku menutup mulut.
"Oh ya Tuhan!"

Pemandangan yang cukup mengerikan itu membawa tepuk tangan riuh dari semua orang disekitarku. Beberapa tentara bahkan mengeluarkan suara siul bersahutan.

Aku memikirkan dimana dua mutan itu ketika kembali datang belasan heli yang berlalu dibawah kami. Terakhir kulihat belasan heli itu menembaki habis zombie di dalam runtuhan sebelum heli kami lanjut melaju menyebrangi lautan, menjauh dari daratan Jepang.

Ketika menyebrangi laut, heli kembali melewati kapal Aegis serta Aegon, yang sudah gelap tanpa lampu aktif sama sekali dan jelas karam, dikelilingi zombie perenang yang masih menyisa disekitarnya.

Timbul rasa duka terhadap keadaan kapal Aegis. Walau hanya menumpang dalam waktu singkat tapi itu merupakan kapal militer besar dan bagus menurutku. Kapal itu bahkan tidak langsung tenggelam begitu saja walau sudah kena tabrak Aegon dengan sangat keras.

Pemikiran tentang kapal Aegis juga membuatku kembali bertanya-tanya. Dimanakah tempat aman sesungguhnya yang terbaik bagi manusia untuk hidup nantinya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.
.

.

.

.

.

.

"Mereka masih dikejar! Tadi padahal berhasil terpojok-"

"Aargh!"
Pierre mengerang. Kepalanya mengayun hampir membentur jendela heli dibelakangnya.
"Masih Uncle? Kenapa susah sekali?!"
Ia benar-benar gemas dengan perkembangan terbaru dari Uncle Cyril lewat komunikasi.

"Setengah jam juga belum ada, Pierre-"
Kadet Silvia yang menyahut.
"Pantas jika dua mutan itu belum tertangkap-"

"MASA BODOH!"
Makinya, membuat beberapa tentara yang sedang asik mengajak obrol Vincent disisi lain tempat duduk sempat terdiam.
"Mereka tadi memburu kami sekarang gantian mereka merasakannya! Dasar makhluk sialan-brengsek- pokoknya aku mau mereka sudah diatasi sebelum hari ini usai-atau bahkan sebelum heli ini sampai mendarat bakal lebih bagus!"

Aku menyengir lemah mendengar nada Pierre yang sangat seperti Ayahnya saat ini.

Kadet Silvia yang menyahuti.
"Nanti juga tertangkap. Aku ragu mereka masih bisa kabur, terkepung dari langit dan juga darat-"

"Yeah oke-oke,"
Wajah Pierre merileks sedikit. Ia melirik pengaman tangan kiriku yang semi robek.
"Aku hanya tidak habis pikir saja. Ketika pertama kali terjun, tak kukira mutannya bakal seganas itu. Ganas, pintar,"
Ia menegakkan duduk, menatap Kadet Silvia dengan menggeleng.
"Makhluk itu bahkan memanggil semua zombie untuk datang dan mengepung kami! Dia bagai penguasa saja-"

Kadet Silvia menggosok matanya.
"Aku lebih baik mati dari pada jadi zombie seperti itu-benar deh. Sisa-kan satu peluru tiap misi jadi jika terpojok tinggal tarik pelatuk dan bye!"
Ia mengerenyit.
"Kau kenapa Lucy?"

"Eeehh-"
Aku mengerjap. Nyatanya memang tak nyaman dengan pembicaraan menembak diri karena sudah pernah menyaksikan langsung.
"Tidak-tidak apa."

Pierre berdecak.
"Syok tuh Lucy dengar omonganmu- sorry siapa namamu? Aku lupa-"

"Kadet Silvia-"

"Kurasa kau takkan sempat menembak diri ketika terkepung. Untuk berpikir seperti itu pun takkan sempat-"

"Tak butuh berpikir. Aku sih akan melakukan langsung-"

"EHM OKE-"
Aku berdeham kencang pada omongan dua orang ini.
"Omong-omong kita akan mendarat dimana nanti, Pierre?"

"Di kapal pesiar."
Tangannya terlipat didada menoleh kejendela.
"Untuk sementara akan disana dulu- karena seperti yang kalian lihat keadaan Aegis yang babak belur--hei itu sudah mulai terlihat!"

Aku mengerenyit ketika meneliti ke jendela. Awalnya hanya terlihat seperti kerlip emas kecil dilautan gelap nan pekat.

"Hei-"
Regi menyeletuk dari Kokpit.
"Itu bukannya kapal pesiar yang kemarin membuntuti terus kapal Aegis?"

"Yap, Colloseum namanya."

Semakin dekat semakin terperangah diri menyadari betapa raksasanya kapal pesiar itu. Bercahaya bagai lampu kristal ditengah laut nan gelap.

"I-tu punya keluargamu-"

"Iya Luce, Jelek ya."

"Heh!"
Semua tentara sekitar pun ikut protes.
"Jelek apaan-"

Tidak ikut heboh, aku malah meringsut mundur dari jendela.

Perasaanku untuk tidak main-main dengan ancaman Ayahnya Pierre waktu itu serasa semakin terbukti.

Malstrom benar-benar bukan keluarga sembarangan.

Ia tetap menggeleng.
"Itu beneran jelek, Kapalnya gendut dan tak gesit pula."

"G-gendut??"
Ulangku lemah.

"Hmm iya,"
Dagunya naik.
"Kalian semua nih ya, harusnya melihat kapal private keluarga, Frontier. Itu jauh lebih bagus. Walau desainnya tidak segendut ini, tapi jauh lebih mewah-"

"Oh ya ampun, Frontier?!"
Engap salah satu tentara disamping Vincent.
"Aku pernah lihat dimajalah! Kapal itu hanya diproduksi lima saja didunia-"

"Memang, buat apa juga diproduksi banyak-banyak. Tidak banyak manusia yang mampu beli juga."
Koteknya Pierre dramatik.
"Lagipula kita membicarakan Malström disini. Semua yang terbaik ada didalam kepalan tangan kami."

"Mr Pierre,"
Hembus satu tentara dekat pintu dengan getir.
"Kau benar-benar ya memenangkan lotre kehidupan- kau punya Frontier- yang jelas hanya akan jadi mimpi bagi kami-para kaum pekerja rendahan-"

"Ah No need to be sad!"
Ia menoleh cepat kesekeliling.
"Nanti akan kupinta bawahannya Dad untuk membawanya ke perairan ini. Kalian kuijinkan menginap beberapa hari-"

Beberapa tentara yang menjerit bahagia bersamaan membuatku sampai terlonjak ditempat. Mereka lanjut bertepuk tangan sampai menghentak-hentakkan kaki hingga Regi dari Kokpit jadi mengomel memperingati heli yang overload ini sedang proses dekat mendarat.

Pierre menyambut antusias sekelilingnya dengan tawa panjang. Aku pun berpikir walau dia suka pamer, setidaknya ia tetap ingat untuk membagikan 'mainan mahalnya'.

"Yah kurasa kalian semua pantas, setelah kerja keras kalian hari ini--terutama my Cousin Vincent dan Sencho Lucy-"

Aku mengibaskan tangan penuh geli.
"Hih tolong deh itu hanya ucapan asal mereka saja. Jauh dari pantas aku disebut seperti itu! Lagi pula ini kan belum selesai, dua mutannya saja masih berkeliaran-"

Kadet Silvia mengangguk-angguk.
"Aku sependapat dengan Lucy-"

Kami jadi dihadiahi seru-seruan hinaan oleh tentara lain.

"Booo!"

"What the hell Lucian?

"Payah!"

"Tak kompak kau Silv!"

"Dasar nih kalian berdua perusak kebahagiaan-AAAAAKH!"

Tahu-tahu Heli turun dengan menukik, perutku seketika bergolak geli.

Setelah ada beberapa detik Heli balik lurus lagi, mendarat dengan mulus sekali di helipad teratas kapal.

"Sudah sampai..."
Kata Regi tenang seakan tak terjadi apa-apa.

"Oh God!"
Hembus semua yang masih syok sambil memegang jantung.

"What the fuck?"
Mulai muncul satu protes terdengar diikuti protes lain.

"K-kenapa kaya begitu sih mendaratnya!"

"Kupikir bakal jatuh astaga!"

"Minggir-minggir! aku mau cepat keluar saja- pilotnya gila-"

Aku malah mendengar suara kekeh teredam Regi dari komunikasi helm.

Pierre yang kupikir akan berebut turun mengikuti yang lain malah tetap tinggal menyender di tempat duduknya.

"Ei bro! Tunggu sebentar bro!"
Ia melepas ikatan pengaman kursinya dan maju mendekat ke Kokpit berusaha memanggil Regi dan Kopilot yang sudah keburu keluar karena dipanggil oleh petugas helipad.
"Okay-mungkin nanti saja."
Ia menunjuk aku dan Vincent.
"Coba copot dulu helm kalian, aku ingin mengatakan sesuatu-"

Permintaan Pierre membuatku dan Vincent jadi saling melirik.

Ia memulai sesudah meletakkan helmnya sendiri di pangkuan.

"Kalian tahu, aku jadi tak menyesal telah membentak Dad habis-habisan sebelumnya-"

Pierre menyengir bangga seakan telah berhasil menunaikan salah satu perintah Tuhan.

"Kenapa?"
Tanyaku.

"Karena ternyata aku benar. Kalian memang pantas untuk aku bela! Aku selalu sebut depan Dad kalian itu bisa diandalkan dan kenyataannya benar, bahkan melebihi ekspektasiku malah."

Aku tersenyum kecil.
"Oh o-ke-kau juga sama bisa diajak kerjasama-"

"Tunggu!"
Tahannya dipikirnya kami mau beranjak turun karena bergerak sesenti dikursi.
"Tunggu, aku hanya mau bilang, aku percaya penuh pada kalian bertiga- Jadi tenang saja jika kalau Dad sok ngoceh-ngoceh lagi-aku bakal ada di pihak kalian, oke?!"

"Astaga Pierre kau tak perlu-"

"Shhht!"
Pierre menghentikan selaanku. Lalu menarik napas dalam-dalam.

"I'ts just- aku hanya senang saja setidaknya intuisiku kali ini benar. Dad lah yang salah kali ini."

O-okay.

Aku menelan ludah merasa tak enak.

"Kau tak tahu dia itu dari dulu selalu memaksakan kehendak. Aku selalu diaturnya-dan sekarang aku ingin mengatur diriku sendiri-"

"Pierre-"

"Yap. Jadi, aku berterimakasih sekali pada kalian-"
Kepalanya mengangguk lagi.
"Benar-benar berterimakasih."

Pierre lanjut mengajak kami turun tepat sekali ketika baling heli diatas berhenti sepenuhnya berputar.

Aku memandangi punggungnya ketika melompat turun.

Hahah justru Pierre yang salah total-

Diam!

Aku menyusul turun dengan langkah menghentak-hentak.

Oh God...

Apakah aku harus terus menerus berpikir seperti ini setiap mengenal orang baru-

"PIERRE ANAKKU!"

Pierre yang kami susuli mendadak berhenti melangkah hingga aku dan Vincent hampir menabraknya.

"Mom!"

Wajah Ibunya Pierre terlihat sembab parah. Pakaian satinnya kusut, aku bisa membayangkan betapa uring-uringannya dia ketika Pierre sempat hilang kontak tadi.

Ia bergerak cepat sekali sampai aku takut dia akan terpeleset karena menggunakan heels yang lumayan tinggi.
Semakin dekat, ia menyeka wajahnya yang basah lalu merentangkan lebar tangannya.

Hup!

Aunt Cheryl tidak hanya memeluk anaknya. Ia menggabungkan kami bertiga dalam pelukannya.

Aku sampai terdiam.

"Terimakasih, Tuhan. Terima kasih mereka bertiga boleh selamat,"
Ia melihatku dengan alis bergetar.
"D-dimana satunya lagi-kakaknya Luuce-"

Pierre yang menjawab.
"Bro sedang berbicara dengan petugas disana--"

"Bisakah kalian berjanji untuk tak melakukan kegiatan ini lagi, Pierre--Aku takkuat melihat kalian-"

Pierre menepuki Ibunya.
"Tenang Mom-tenang-"

Tapi dia tak ada jawab iya atau tidak.

Sedangkan aku sudah diujung mulut ingin mengatakan mundur dari tim.

Terlihat sekali Aunt Cheryl ingin memprotes. Tapi ia memilih tak melanjutkan. Mungkin ia akan membujuknya di saat berdua saja nanti.

Pierre selanjutnya memimpin kami turun dari daerah helipad, menuju jalur dimana ada dua deret kolam berenang dengan lampu sorot yang terang benderang sekali sampai membuatku pusing.

Ia menjelaskan arah ruang kamar yang ia pikirkan pantas untuk kami, sambil menunjuk kekolam renang katanya ada yang bersuhu panas untuk berendam dan normal untuk berenang.

Lalu tahu-tahu ada yang datang menggamparnya.

"AW! What the-"
Ia berhadapan lurus dengan sang pelaku.
"AW Sophia! Untuk apa kau menamparku-"

Untuk ukuran wanita anggun semampai, napas Sophia sungguh terdengar kencang sekali seperti banteng mengamuk.
"Biar kau tahu rasa! kau bilang hanya akan melihat pertempuran-bukan melompat aksi langsung!"

"Tapi sayang, Sekarang aku termasuk pahlawan terlibat-"

CEBUR!!

"E-EH-"
Pekikku bersamaan dengan Vincent melihat Pierre di dorong jatuh ke kolam renang.

Vincent pun cepat mengulurkan tangan membantu menariknya keluar dari kolam dan berhadapan kembali dengan sang kekasih yang sudah ingin memutar kaki pergi.

"Tunggu dulu!"
Pierre yang basah kuyup gagal menangkap tangan Sophia dan lanjut mengejarnya dengan langkah terpeleset-peleset.

Vincent disebelahku mendengus.

"Honey--"
Pierre mengembik.
"tungguuu-"

"Aduh jangan-"
Aku mulai terikut geli.
"Jangan tertawa-"
Kugigiti mulut berusaha menahan tawa juga.
"Vincent!"

Alhasil si pria pod jadi menggamit tanganku kencang, seakan dengan seperti itu bisa menahan tawanya.

Tapi tawa kami tak bertahan lama. Kami memilih maju untuk melerai karena pertengkaran meningkat jadi saling mulai tarik menarik kasar.

"Eh k-alian berdua sepertinya sudah terlalu-Eich!"

Aku berhenti berbicara karena entah apa yang terjadi, mereka yang tadinya marah-marah mendadak jadi saling membenturkan wajah lalu berciuman panas.

Aku termundur selangkah demi menghindari menyaksikan terlalu dekat.

Situasi humorku dan Vincent berubah seratus delapan puluh derajat dalam beberapa detik menjadi situasi amat sangat canggung.

Dan mereka terus saja melanjutkan kegiatannya seakan tak ada kami berdua melihat.

"Eng-eng-"
Kataku tolol.
"Mungkin sebaiknya kami pergi-"

Pierre menarik lepas mulutnya dari Sophia.

"Ehm-oh iya-ya ada kalian-"
Ia menunjuk.
"Kalian bisa ambil kamar lantai D, paling mewah disitu terserah mau pilih kamar mana-"

Ia lanjut menarik tangan pacarnya dengan napas menggebu, membawanya pergi ke belokan lain.

What the-

Aku sempat terdiam mungkin sampai sepuluh detik sebelum mampu mengerang.
"Ya ampun barusan baru menyaksikan apaan sih-AKH! Astaga Aunt Cheryl!"

"Ke-kenapa?"
Tanyanya terkejut berdiri dibelakang kami.
"Ada apa kau terlihat syok begitu-ngomong-ngomong kemana Pierre? Bisa kalian tolong panggil dia? Aku butuh membicarakan sesuatu-"

"Tidak-tahu-"
Gelengku cepat sedangkan Vincent menggaruk belakang kepalanya.
"Sungguh tidak tahu-dia kemana-"

Ia jadi mengerenyit melihat tingkah laku kami.

"Hmm baiklah,"
Aunt Cheryl pada akhirnya menghembus pelan.
"Apa kalian sudah tahu kamar untuk kalian?"
Senyumnya ramah.
"Di lantai D, biar kupandu kalian kesana..."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Percaya tidak percaya, setelah habis bertempur semalaman aku tetap dibangunkan pagi hari oleh Kadet Silvia.

"Aduh tapi-"
aku mengucek mata, dengan buram melihat ke jam bandul antik di tembok.
"Baru tidur sebentar-"

"Ini sudah jam delapan! Yang lain sudah bangun! Bersikap disiplin sebagai tentara itu penting Lucy! Lagipula nanti kau bisa sakit perut jika terlambat makan-"

Berusaha menahan diri untuk tidak melempar bantal ke wajah Kadet Silv, aku fokus mendorong badan lemasku untuk berdiri.

Masih dalam memakai baju tidur dan sendal, aku berjalan keluar lalu menoleh ke kamar disampingku.
"Itu-Vincent tidak dibangun-"

"Dia sudah bangun- dipanggil oleh keluarga Malstrom-Ayah dan pamannya Pierre juga sudah sampai disini-"

"Hah?"
Mataku segar seketika.
"A-apa?! Kenapa-"

"Entahlah-"
Ia mengangkat bahu.
"Kau kenapa harus sebegitu khawatir? Toh dia kan sepupunya Pierre-"

"I-iya sih iya."
Aku meringis.
"Kau- selalu mendatangi kami tiap pagi, kau ada disuruh jadi pengawas kami ya Kadet Silv?"

"Bukan pengawas, tapi mentor. Komander sendiri yang menyuruh semenjak kalian datang ke kapal Aegis."

Setelah mendatangi daerah dapur semakin banyak kami bertemu orang, baik tentara maupun sebagian penyintas kemarin.

Dan semua terlihat girang sekali melihatku, bahkan ada yang sampai memekik teriak dari jauh.

"Morning Lucy!"

"Akhirnya melihat kau juga!"

"Ee-i my besties!"

"Sudah makan belum?"

"Punya waktu? Kami ingin mengobrol-"

Alhasil kami mengungsi di ruang makan khusus untuk koki.

Saat itu aku cukup lama dengan Kadet Silv, membahas tentang keadaan terkini Archibald diruang rawat yang syukurnya sudah sadar, Komander dan sebagian tentara lain menetap di kapal Iron Duke serta barang titipan ku kemarin dan kemungkinan besar kami beberapa hari lagi akan ikut pindah ke kapal militer baru, lalu dilanjutkan membahas lagi kejadian semalam.

Dan kalau kupikir akan cukup terkejut melihat sikap orang sekitar padaku, ternyata ada yang lebih bikin terkejut lagi ketika kembali sendiri kekamar dan melihat Regi dikamarnya sedang berdiri depan kaca mengenakan sebuah jas hitam beludru.

"What the-"
Aku menganga lebar.
"Kau ngapain deh Reg? Wah-"
Aku menunjuk-nunjuk.
"Apa ingin bergaya karena ini hari ulang tahunmu?"

Ia menoleh cepat mengabaikan penjahit yang sedang mengukur belakang punggungnya.

"Yakali Luce-sejak kapan aku jadi norak seperti itu!"
Ia menegakkan bahu.
"Ini disuruh Pierre- katanya mau ada pertemuan penting nanti malam bersama para penyintas-"

"Oh-oke-"
Kataku santai.
"Baiklah, semoga lancar ya nanti-"

"Apaan?! kau juga ikut Lucy!"
Balasnya gemas.
"Kau kan ikut pertempuran kemarin! Malah semestinya aku tak perlu ikut!"

"Lho tapi kok tak ada dibilang-"

"Mungkin mereka lupa-ini acara juga belum tahu jadi atau tidaknya tapi Pierre sudah bekowar-kowar-"

Aku sampai berpikir ini beneran acara pertemuan penting atau hanya akal-akalan Pierre untuk berpesta saja.

"Lagipula aku mesti bagaimana untuk menutupi identitas diri-"

Sekejap Regi terdiam menyadari ada penjahit yang seruangan dengan kami. Walau padahal rasanya penjahit itu takkan mengerti bahasa kami juga.

"Ei ngomong-ngomong,"
Aku mengalihkan topik.
"Tak bisa kasih kado deh ya kali ini--"

"Tak apa, aku juga sudah absen memberi mu kado selama tiga tahun."

"Oh-eng-"
Aku benar-benar terkejut mendengar ucapannya yang membawa luka lama.
"Oke-"

Ia tertawa setengah hati sambil meluruskan lengan jasnya.

"Aku jadi teringat diarymu waktu itu-"

"T-teringat?"

"Iya aku-kan sempat membacanya-"

"Hih kapan?!"

"Sewaktu menjemputmu pagi itu. Sebelum ke sekolah, aku bersama yang lain mendatangi rumah kita dengan heli-kau ternyata tak ada-dan aku baca buku itu-banyak juga ya cercaanmu padaku-"

Aku sontak kesal bercampur tak enak juga.
"Itu kan privasi! Kenapa kau baca!"

"Aku hanya ingin tahu rencana bepergianmu selanjutnya...eh malah menemukan cercaan, dan tampaknya kawanmu siapa tuh -Stevi? Mendukung sekali cerita amarahmu-"

Kepalaku jadi pusing.

"Dan kau suka bawa orang menginap kerumah-kalau cewek-cewek sih tak apa-ini sampai dua cowok itu juga-"

"Oh God Reg, gak perlu muncul pikiran negatif ya, mereka murni menemani dan kami berlima hanya sebatas nonton-mengerjakan peer-sedikit bergosip-"
Mataku memanas.
"Kau takkan mengerti-mereka jelas menjadi saudara pengganti ketika kau tak ada!"

Seakan terpengaruh kata 'saudara pengganti' Regi pun mengatupkan mulut, menatapku lama sebelum menggeleng.
"Oke-maaf aku hanya, entahlah karena aku ulang tahun hari ini-jadi berpikir-"

"Tak apa-ya tak apa-"
Aku menyeka mata.
"Rasanya aku ingin kembali dulu ya ke kamar. Badanku masih letih sekali..."

Tanpa memandangnya lagi aku langsung memutar kaki keluar dari kamarnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sophia siangnya datang hanya dengan sekali mengetok pintu dan langsung membuka kamarku.

Ia tergesa masuk menenteng dua tas besar ditangan dan menjatuhkannya keatas tempat tidur. Ia mendesakku untuk cepat mandi hingga ia bisa mendadaniku segera.

Sophia memang pribadi yang hangat. Sikapnya mirip sekali dengan Pierre yang suka berbicara panjang kesana sini seru tanpa ada rasa canggung. Ia juga jago dalam mendandani wajahku sesuai dengan tata rias yang cocok dengan warna kulit dan bentuk wajah.

"See? Kita harus sering-sering melakukan ini!"
Katanya saat menunjukkan wajah versi terbaikku dikaca.

Pada saat terakhir ia baru membuka tas kedua mengeluarkan sepasang sepatu heels hitam dan dress mewah A line berwarna biru gelap sebatas lutut dengan model terbuka pada bagian punggung.

"Oya ampun!"
Aku terpelongo.
"Aku belum pernah memakai model pakaian yang sebegini memamerkan kulit punggung-"

"Makanya dicoba! Pasti bagus kok! Cocok dengan warna kulitmu-"

Sophia pun membantu memakaikannya, ia sempat menutupi lagi lebam ditangan kiriku dengan krim makeup khusus luka sebelum ia meninggalkanku balik kekamarnya untuk berganti baju juga.

Dan ketika ditinggalkan itu aku lanjut terpelongo saja memandang diri dikaca.

Karena sudah lama aku tak berpakaian 'spesial'. Terakhir yang ku ingat seperti ini ketika makan di resto rooftop bareng Regi dan Ibu.

Dan rasanya aku menjadi elegan sekali memakai dress Sophia, mengabaikan betapa terbukanya bagian punggungku.

Setidaknya, aku bebas walau mungkin sehari saja. Terlebih hari ini tepat Kakakku ulang tahun dan Pierre mengadakan 'pertemuan' di aula bawah.

Sejujurnya sudah muak sekali menghadapi makhluk itu terus. Walau tak bisa kabur ke gunung atau pantai kosong, kapal pesiar rasanya oke juga.

Gunung atau pantai kosong...

Aku jadi tersenyum sendiri mengingat pemilik asli kata-kata itu.

Kapten Ryan.

"Seandainya kau disini Kapt,"
Harapku sendiri sambil berjalan menuju pintu.
"Rasanya ini mungkin bisa jadi pelarian sementara dari semua kekacauan yang ada-ya sebentar-"
Lanjutku tepat sekali sudah memegang kenop pintu dan ada yang mengetok.

"Bagaimana Sophi- eh Vincent!"

Aku termundur selangkah melihatnya sudah memakai jas juga model seperti Regi, tapi ditambah rompi putih lagi didalamnya.

Rambutnya juga seperti sudah sedikit dipotong.

"E-h kau terlihat cantik sekali Luce-"

Aku otomatis tertawa.
"Kau juga nampak keren. Jas mu mirip ya seperti yang Regi nanti pakai-"

Ia mengangguk.
"Aku barusan ada meminta ijin sama dia-"

Tawaku terhenti.

"Minta ijin untuk apa?"

Ia menaruh kedua tangannya kebelakang punggung.
"Membawamu pergi ke pertemuan-"

"Lho bukannya pergi bareng Regi juga-"

"I-ya-"
Punggungnya menegak.
"Tapi setelah itu kata Pierre ada hiburan, semacam wahana hiburan umum di bagian terujung atas kapal. Jadi kupikir itu yang tempat bagus untuk menyegarkan pikiran-"
Ia berdeham lalu tersenyum hangat.

"Apa kau tertarik pergi kesana denganku Lucy? "

.

.

.

.

.

.

.

Authors note.

Kapten belum muncul juga yah?

Continue Reading

You'll Also Like

50.9K 291 22
π˜Ύπ™€π™π™„π™π˜Ό π™ˆπ™€π™‰π™‚π˜Όπ™‰π˜Ώπ™π™‰π™‚ π™π™‰π™Žπ™π™ 18+, π˜Ώπ˜Όπ™‰ 21+, π˜½π™Šπ˜Ύπ™„π™‡ π˜Ώπ™„ π™‡π˜Όπ™π˜Όπ™‰π™‚ π™ˆπ˜Όπ™ˆπ™‹π™„π™!!! πŸ”žπŸ”žπŸ”ž menceritakan seorang pria bernama A...
491K 72.9K 91
CERITA INI ADALAH CERITA SURVIVAL, DAN SUDAH BERISI SEASON 1, 2 DAN 3 [High School Of The Elite] Ditengah kekacauan negara, pemerintah di seluruh dun...
68.8K 4K 26
Jangan lupa follow dulu ya 😘 Syerill seorang dokter cantik berusia 27 tahun yang secara tiba tiba masuk kedalam novel yang semalam ia baca. STARD:...
2.4M 187K 72
Hi guys. Ini cerita kedua saya^^ (Buat kalian yang gasuka Red flag,kalian bisa langsung tinggalin lapak ini ya☺️Kalo kalian gasuka,gaperlu komen-kome...