RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Emblem

9.7K 1.9K 607
By MilenaReds

Jelas itu orang sipil.

Entah berapa lama pria penodong itu berada dibawah tanah ini tapi yang jelas ia terlihat kacau sekali.

Sekujur tubuhnya basah dan kotor terkena lumut, pakaiannya pun tertoreh sana-sini.

Fokusku balik lekat pada pisau yang siap dihunuskan keleher Archie.

Apa yang kau tunggu? Katakan sesuatu sebagai pengalih!

Berlawanan dengan kata hati, pikiranku malah tak bisa memikirkan satu kata pun.

Kerongkongan bahkan ikut mengering.

Archie lanjut terbatuk, namun Pria itu tetap bergeming. Matanya tak lepas menatap kami waspada bergantian, seakan sedang membuat spekulasi sendiri.

"Apa yang kau mau?!"
Pierre tahu-tahu berucap sambil melangkah maju selangkah didepan, seakan memerisaiku dan Vincent dengan badannya.
"Jatuhkan pisaumu cepat!"

Aku memuji sekaligus merutukinya dalam hati. Aku sampai lupa dengan kebekuanku, lalu ikut maju menyikutnya kesamping.
Jaga-jaga menghadang jika pisau itu malah melayang kewajah si anak tunggal sang billioner.

"Hei kau dengar-"

Pierre menghentikan gertakannya tepat ketika suara raungan serak melengking mutan terdengar, hingga kami sama-sama berputar kebelakang kearah datangnya suara.

"Ya ampun!"
Protesnya padaku dan Vincent.
"Bukankah dia tak bisa masuk lubang-"

"Iya Pierre-'
Badanku tegak menegang.
"Dan dia sekarang memanggil pasukan zombienya supaya mendatangi kita-"

"K-KISAMARA!"

Teriakan keras si penodong membuat kami terkejut.

Ia termundur selangkah, tatapannya berubah sudah bukan spekulatif lagi, namun lebih ke arah melotot menuduh.

Aku menelan ludah.

Jelas bukan kombinasi yang bai-

"NAMEN JA NE KONOYARO!"

"SSSHHT!"
Desisku keras padanya.
"Hei diam-tenang dul-"

Si penodong malah menjerit keras dan ia jatuh terpelanting ke lantai diikuti juga oleh Archibald.

Lho?

Mereka berdua seakan kerasukan, menggeliat kesakitan di lantai.

Apa yang?!

Aku sontak menoleh pada tangan Pierre, dan melihat senjata tasser penyetrum yang mengacung lurus ditangannya.

Sinar listrik keunguan semakin terang membelit mereka berdua.

DRRRT!!DRRRRT!


"Oh shit Pierre!"
Pekikku kencang.
"Cepat cabut pelurunya dari dia-"

Pierre benar-benar sampai melompat dan menarik lepas peluru besi sebesar telunjuk yang menancap di bahu si penodong sebelum melemparnya jauh ke depan.

Kedua pria di lantai berhenti menggeliat. Namun mereka langsung terdiam kaku ditempat,

Diam, dengan mata terpejam.

Keheningan penuh horor menyerang kami.

.

.

Aku menutup mulut termundur selangkah.

"A-astaga-"

"Oh God Pierre-"

"A-ku tidak sengaja! Aku menyesar si penodong-"

"Tapi dia sedang tak memakai helm! Dan wajahnya juga basah sehingga listriknya ikut menyambar-"

"Aku tak lihat! Sumpah! Aku hanya berniat- d-dia Archie tidak mati kan?"

"Tak tahu Pierre-oh astaga Tuhan- c-cepat cek nadinya-"

Namun Pierre tak kunjung maju.

Begitu juga diriku.

Kaki kami menempel kuat ditempat.

Vincent yang syukurnya mau maju berjongkok. Ia menempelkan tangannya ke atas torso Archie.

"V-vincent-"
Cicitku bersamaan dengan Pierre, menuntut segera jawaban.

Namun Vincent tak ada menjawab. Dahinya berkerut disertai tangannya bergeser mengarah ke leher Archie yang
lebam keunguan, imbas terbentur saat terdorong arus air sebelumnya.

Oh Tuhan tolong-

Aku menarik napas panjang bergetar.

Fokus memang lebih pada Pierre, tapi bukan berarti tak peduli dengan Archie juga.

Yah setidaknya berkurang satu saksi kalian bertiga di kapal itu...

"Jantungnya berdetak-"
Info Vincent yang langsung mengangkat lepas beban dibahuku.
"Dia masih hidup."

Pierre di sampingku sampai jatuh berlutut.
"Thank God!"
Ia meremas kencang senjata tassernya.
"Setrumannya ini astaga-"

Aku melangkah ke sebelah pria penodong sambil berpikir bagaimana Archie telah merasakan sendiri alat yang aslinya disediakan untuk menyetrum Regi.
"Ayo cepat-"
Desakku sekilas meraba nadi si penodong.
"Kita harus cepat maju. Sebelum pasukan kanibal mendatangi tempat ini."
Kuraba kantung celananya dan menarik keluar dompetnya.

-Sato-Takumi-
Tunnel station Staff

"Hei?"
Lirik Pierre pada kartu pengenal ditanganku.
"Dia petugas tempat ini? Kenapa kaya gembel gila begitu-"

"Oke Vincent-" Aku menunjuk badan terkapar Archibald. "-tolong papah dia- Pierre berikan sini tassermu- kau yang bawa pria ini-"

"Excuse me?!"

"Aku tak kuat menggotongnya-"

"Tapi aku terlalu kaya untuk melakukan hal ini!"

"Pierre! Ini kan memang-"

"Dan ngapain kita bawa dia juga?!"

"Dia petugas bawah sini! Pasti tau jalan sekiranya nanti kita tersesat-"

"Dia saja sudah berani tadi menodong kita-"

"Kita bisa ancam balik pakai tasser kalau dia melakukan itu-"

"Ya tapi dia bau-"

"Hih yang nembak dia siapa?! Lagipula kita juga agak bau selokan-"

"Tapi aku- lakukan demi melindungi team mate kita- dan dia lebih bau!"

"Kalau seandainya kau dari awal tidak ada melepas Archie pergi- dan bukankah kau leader kami?"

"ALRIGHT FINE!"

Pierre menyerah, berjongkok penuh gusar dekat si penodong yang tak sadarkan diri.
"Puas kau Lucy--uhuk-uwwek-astaga Tuhan dia bau sekali!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Dia masih pingsan?"

"Iya Lucy."

Aku mengangguk ringan pada jawaban Vincent.

Kami telah bergerak maju, aku memimpin menjelajahi semakin dalam lorong bawah tanah menuruti jejak kaki basah yang ditinggalkan si penodong dan Archibald sebelumnya.

Archibald rupanya sudah menjelajah cukup jauh, aku bisa membayangkan apa yang terjadi padanya saat tadi menemukan ceruk (lubang) kerusakan pada lantai beton yang terisi oleh genangan air.

Ia pasti berkelahi didekat ceruk, kalah dan mungkin wajahnya juga sempat dibenamkan paksa kedalam ceruk bergenang itu.

"Pierre status?"
Lanjutku sambil terus mempercepat langkah.

"Tujuh puluh dua persen-"

"Lama sekali astaga Tuhan-"

"Kau sendiri berapa?"

Langkahku terhenti tepat pertigaan lorong, meliriki pemberitahuan layar di atas kanan yang berkedip tanda persen sistem berhasil mereboot.

"Tiga lima."
Gumamku sambil melihat ke lorong sebelah kiri yang gelap tergenang air, depan yang terblokir tralis, kanan yang bersih tanpa genangan.

Suara lolongan serak mutan kembali terdengar.

"Ampun!"
Pierre berdecak kesal.
"Dia tak ada hentinya dasar sialan-"

"Cepat saja kita kabur!"
Ajakku lagi, tentu memilih lorong sebelah kanan.

Jalur yang kami lalu selanjutnya terasa semakin turun dan menyempit. Jejak si penodong sudah tak ada karena sudah melewati ceruk genangan air tadi. Aku bersyukur sekali melangkah pimpin paling depan sehingga bisa menutup gestur gemetar ketakutanku.

Komohon Tuhan jangan sampai kesasar...

Aku sudah hampir akan meminta Pierre supaya menggampar bangun si penodong ketika tahu-tahu jalur lorong didepan berubah agak meluas serta diujungnya menembus cahaya lampu yang menyala amat terang.

"Luce apa itu jalan keluar-"

"Oke-"
Balasku pada Vincent tanpa menoleh.
"Coba kusamperi!"

"E...tunggu-heh Lucy!"

Aku mengabaikan pekik dua team mate dibelakang, menyusuri cepat lorong yang terus meninggi lebar.

Hingga aku jadi ternganga.

Seakan memasuki tempat lain sampai kupikir sudah keluar dari bawah tanah saking tingginya langit gorong beserta lampunya yang besar terang-benderang.

"Hei kalian kemari cepat-"
Panggilku sambil menoleh kesekitaran kiri kanan.

Vincent memapahi cepat Archibald menghampiri kebelakangku disusul Pierre yang terus menggerutu merasa seperti membawa karung sampah dibahu.

Dahiku menaut.
"Ini kita dipusatnya gorong atau apa-"

"Sshh Lucy-"
Vincent menggenggam bahuku.
"Tidakkah kalian mendengar-"

Aku memasang telinga.

Bagai halusinasi, muncul suara-suara banyak orang sedang berbincang tak jauh dari kami.

"Telingamu tajam juga Vincent-itu kawannya si sampah-"
Pierre balik terdiam mendengar suara lolongan marah dari belakang.

"Tak ada jalan kembali."
Putusku.
"Bersiap Pierre, Vincent- pakai lagi helmmu berjaga-jaga jika mereka yang didepan bukan kawanan yang bersahabat."

Vincent mengangguk dan menutup lagi depan helmnya.

"Pierre berapa persen?"
Tanyaku sambil berlambat-lambat maju.

"Tujuh delapan- sedikit lagi-"

"Ya sedikit lagi."
Kataku pasrah.

Kira-kira apa yang Regi lakukan ya sekarang?

Selangkah demi selangkah kami maju, mendekati arah suara.

Dan mulai terlihat banyak orang-orang yang sedang duduk saling berdekatan di lantai beton gorong.

Tak ada yang mengetahui kami yang mendekat dari lorong atas samping mereka.

Semoga mereka normal.

Suara terbatuk basah terdengar membuatku sontak menoleh kebelakang.

Sempat kupikir itu Archibald, namun ternyata Sato si penodong.

Ia terbungkuk batuk, perlahan memandang kesekeliling lalu menggeliat panik.

"Ssh apa-apaan sih diam!"
Bentak Pierre berusaha menahan si penodong.

"Tasukete!"
Rintihnya keras.
"Tasuket-"

"Diam! Ngomong apaan sih dia?!"

"Dia minta tolong-"
Aku menoleh ke kerumunan manusia dibawah. Beberapa dari mereka mulai menoleh kearah kami.
"Shit Pierre-"

Sato dengan kekuatan luar biasa mendorong Pierre lalu menabrakku.
Namun ia tersandung engkel kakinya sendiri hingga membuatnya jatuh turun berguling-guling dramatis kearah kerumunan orang sipil itu.

Keheningan pun melanda seantero gorong.


Kami bertiga pun sampai tercengang.

"Dia itu kenapa sih?!"
Mulai Pierre.

Semua orang sipil itu sekarang menatap kami dengan terperangah.

Aku menelan ludah, mengoper tassernya ke Pierre

Oke...ini terlihat tidak baik.

Akibat gulingan dramatis Sato, kami jadi terlihat seperti habis memukuli dan menendanginya.

Aku lanjut mengangkat tangan melangkah maju.
"O-ke- sebentar dul-"

"AAAAAAAAAAA!"

Satu wanita memekik keras hingga membuatku menutup telinga. Akibat teriakan ketakutan satu orang yang lain jadi ikut berteriak.
Ketakutan merebak tak jelas diantara mereka hingga mereka mulai berlari panik ingin menjauh dari kami.

"Heh tunggu kalian jangan lari!"
Aku maju ingin mengejar.
"Kami bukan orang jahat-"

Badanku jadi mengkerut ditempat ketika melihat diantara mereka yang berlari menjauh ada yang mendatangi kami dengan membawa senjata bahkan pedang.

"Eits-eit tunggu!"
Aku memanjangkan tangan melihat serbuan yang mendekat.
"Pierre-"
Tolehku kemudian terkejut.

"Pierre apa yang kau lakukan?! turunkan pistol tassernya-"

Empat orang pria sudah mendekat dan bersiap akan menghabisi kami.

"Tung-Shit!"
Aku mengelak kesamping tepat ketika sebilah pedang melayang dan jatuh berdentang keras ke lantai belakangku.

"Shit! Tunggu!"

Keempat pria Jepang terhenti didepanku dan mereka saling berteriak-teriak mengancam yang dibalas makian lebih keras Pierre dan Vincent dari belakang.

"Berhenti dulu kalian-ber-AKU BILANG BERHENTIII!"

Dua teammate dibelakangku pun terdiam terkecuali mereka yang didepanku.

"Diam! suara kalian menggiring mutan zombie kesini!"

Aku tak tahu jika mereka mengerti sepenuhnya atau tidak, tapi yang jelas mereka termangu ketika mendengar kata mutan.

Aku menurunkan penutup wajah. Berusaha memperkenalkan diri dengan cara yang tidak mengancam.

"Konbanwa..." (Selamat malam)
Kutundukkan kepala sedikit.
"Lucy to moushimasu." (Nama saya Lucy)

Mereka membelalak.

"Douzo, yoroshiku onegai itashimasu."
(Senang bertemu dengan kalian)

Salah satu dari mereka melirik kiri kanan penuh ragu sebelum menjawab.
"Kochira koso."
(Senang bertemu denganmu)

Dan segitu saja hasil pembelajaran tiga tahun dulu semasa sekolah menengah yang tersisa diotak.

Aku tak mampu memeras otak lagi.

"Ada yang mengerti bahasa Inggris disini-"

Syukurnya mereka kompak mengangguk.

"Pierre Vincent, buka penutup helmnya. Tunjukkan wajah kalian."
Anjurku.

Aku mendengar Pierre berdeham dibelakang.

Aku menarik napas panjang. Menegakkan diri. Kutiru sikap Kapten Ryan sewaktu berhadapan dengan Letnan Jan dulu.

"Disini siapa kepalanya?"
Kutatap mereka satu persatu.
"Eng-Kapten? Letnan atau sersan polisi-"

Mereka sempat saling ingin menunjuk siapa kepalanya sebelum akhirnya mengakui dua diantara mereka hanya staf admin kepolisian dan sisanya pekerja kantoran.

Aku mengerjap.
"Oke bagus. Aku Lucy, dibelakangku ini Pierre Vincent-"

"Jadi, kalian itu grup kosplayer?"

"Ini bukan sedang kosplay! dasar k-".

"EHEM!-"
Kupotong amukan Pierre.
"Kami dari angkatan laut kapal militer Aegis dan ini seragam kami."
Jariku menunjuk emblem Avior di lengan.
"Ini kami gunakan untuk proteksi dari serangan mutan."

Kata mutan itu kembali membuat mereka melotot ketakutan. Pandangan mereka kompak berlalu ke lorong dibelakang kami.

"Ya kita harus cepat-"
Lanjutku sambil memandang 'masyarakat bawah tanah' lain yang masih berusaha melarikan diri penuh ketakutan dari kami.
"Apa ada yang tahu jalan keluar terdekat dan teraman dari sini? Kita harus mendahului keluar sebelum pasukan zombie itu mencegat-menghabisi kita semua disini."

.

.

.

.

.

.

.

.

Authors note.

Satu chapter lagi action sebelum kembali ke drama.

dan Kapten Ryan juga. (Ya semoga ,😁)

Stay safe and Happy Monday!

Continue Reading

You'll Also Like

5.1K 678 21
ini hanya cerita fiksi !!
7.8K 696 16
"mas punya adek" jeongwoo, dom! junghwan, sub!
Morgan Story By Enjoyxyl

Science Fiction

34.4K 2.8K 14
[BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Amora Stephanie putri Gadis cantik, kaya, dan pintar yang hampir dikatakan sempurna. Apapun yang d...
68.7K 4K 26
Jangan lupa follow dulu ya 😘 Syerill seorang dokter cantik berusia 27 tahun yang secara tiba tiba masuk kedalam novel yang semalam ia baca. STARD:...