RED CITY : ANNIHILATION

Galing kay MilenaReds

750K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... Higit pa

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Trapped

10.9K 2K 505
Galing kay MilenaReds

"Melompat?! Bagaimana bisa mereka-"

"Aku tidak tahu! Mereka banyak sekali astaga Tuhan! mereka menyerang dari laut-"

Teriak panikku terputus melihat tampilan permohonan dilayar.

One request sharing helmet vision from RJ

"Accept!"

"Astaga sial!"
Kakakku merutuk kencang melihat sendiri keadaan terkini lewat sambungan langsung dariku.

Ratusan zombie ganas terus melompat

mengepung geladak Kapal kami.

"FRIDA! FRIDA!"
Suara Komander terdengar diantara gaduh di belakang.
"Bacakan segera status kapal kita!"

"Terjadi kebocoran Komander, akibat retakan terbuka pada lambung ruang mesin terbawah-"

"Ruang mesin?!"
Aku menoleh panik pada Pierre.
"Vincent bukannya kesana?"

Pierre mengerjap panik.
"I--ya-"

"Regi!"
Cecarku.
"Kau ada melihat Vincent tidak?"

"Ayo kalian cepat kemari!"
Regi tak menjawab, ia terdengar sibuk berperintah pada tentara ada disekitarnya.
"Kita harus bentuk barisan bertahan-"

"Aduh Vincent!"
Aku mendesaki program komunikasiku sekarang.
"Cepat sambungkan ke Vincent!"

CONNECTING...

CONNECTION FAILED.

"Lho kok?! Kenapa gagal-"

"Sial mereka--"
Pierre memotong, menunjuki kumpulan zombie terdepan membelok serentak begitu saja kekanan.

Jelas mengincar pintu koridor dibawah yang pastinya saat ini terbuka lebar.

"REGI!REGI!"
Mataku bergulir mengikuti pergerakan para makhluk kanibal itu.
"MEREKA MENUJU ARAHMU LANGSUNG-"

"Persiapkan diri! Mulai tembak ke arah pintu dalam abaku-"

Sinar lampu merah emergensi dari dalam menyinari ratusan zombie yang sudah tiba dipintu masuk.

"REGII MEREKA DATANG-"

"OPEN FIRE NOW!"

DHARDDHARADHARRR!!

Suara deretan tembakan serentak terdengar nyata di sambungan helmku lalu kulihat bagaimana zombie penerobos dipintu bawah saling terpental keluar kembali.

Namun zombie lain dibelakangnya tak terlihat terancam malah semakin ganas mendorong berebut untuk menerobos.

Dan selanjutnya terdengar jerit-jerit panik diantara deret letusan senjata.

"ARCHIBALD DORONG MAKHLUK ITU KESAMPING-"

"Mereka terlalu banyak-"

"TERUS TEMBAK KEPALA MEREKA!"

"Graaa!Graaaa!"

"Makhluk sialan!"

"DORONG MEREKA! DORONG!"

"Dia tergigit! Dia tergigit!-"

"Tolong-"

"MINGGIR!-"

JEDHUAAAAR!

.

.

.

Saking terkejutnya melihat kobaran api dari bawah aku sampai jatuh terjengkang.

"As-taga Tuhan!"
Gagapku pada Pierre yang juga terkejut tapi berhasil untuk tetap berdiri.
"Itu tadi ledakan granat api?!"

Aku mengerjap menyadari tampilan pemberitahuan baru dilayar helmku.

RJ OFFLINE.

Apa yang-

"Reg? Regi?"
Cetusku sambil berusaha balik berdiri kedepan jendela anjungan.
"Sambungkan aku kembali pada RJ!"

RECONNECTING...

Aku berusaha menunggu sambil mengamati keadaan bagaimana zombie dibawah yang sebelumnya terpental sebagian mati dan sebagian masih berusaha bangkit walau dalam keadaan dilalapi api.

RECONNECTION FAILED.

"Oh Tidak! tidak! Kak?"
Jariku meremas kencang sisi samping helm.
"Coba kembali-"

"Lucy!"
Komander dari belakang memanggil. Tanpa basabasi ia langsung melemparkan senjata senapan laras panjang dan dua magasin amunisi cadangan tepat aku menengok.
"Kau dan Pierre sementara bantu beri perlindungan dari atas-"

Aku mengangguk lalu segera berbalik mendekati pintu besi disamping jendela dan menariknya buka kuat-kuat.

Hujan gerimis menyambut ketika aku mengambil langkah panjang keluar. Pierre yang sudah menggunakan helmnya pun cepat mengambil posisi disampingku bertengger dipegangan pinggir anjungan disusul dengan keempat personil eksekutif lain dan bersamaan mengarahkan senapan kebawah.

GRAK!

GRAK!

GRAK!

Tiga lampu bulat besar yang menempel dipinggir anjungan menyala.

Kamipun bisa melihat jelas seluruh zombie di geladak.

"Motherfucker!"
Tentara disamping Pierre merutuk ketika zombie kembali bangkit berlarian menyerang pintu masuk hingga terdengar lagi suara deretan tembakan perlawanan dibawah.

Mengikuti suara tembakan, akupun segera menarik pelatuk senapan.

DHARDHARDHARR!

Sinar cahaya kuning berkilat-kilat dari ujung senapan yang tak henti memuntahkan peluru.

Kami bersama menembak membabi buta kebawah ke semua zombie yang merangsek mendekati pintu-pintu masuk kapal.

Klik!

Aku menelan ludah.

Senapanku pun berhenti mengeluarkan peluru. Terpampang angka nol pada layar kecil pada buntut senapannya.

Seratus tujuh puluh lima peluru dalam satu magasin habis tak sampai lima menit!

"Ganti magasin!"
Umumku berusaha mengendalikan panik sambil menarik lepas magasin kosong dan memasangkan lagi magasin yang terisi penuh.

Baru ketika mau memulai menembak, magasin Pierre dan satu tentara eksekutif yang lain ikut gantian habis.

"Uncle?uncle Cyril?"
Pierre memanggil disela henti menembak.
"Ini kenapa komunikasi gagal semua dasar benda sampah-Oh Fucking hell! Mereka bertambah lagi!"

Muncul zombie lainnya dari perairan bawah memanjati pinggiran kapal.

Refleks aku menggeser cepat senapan mengarahkan ke sisi pinggiran kapal mencoba menembaki jatuh semua zombie pemanjat.

"Oh tidak!tidak! Berhenti memanjat!"

Namun setiap aku menembak jatuh pemanjat depan, pemanjat dari belakang segera melompat dan lolos berlari menuju tengah geladak.

"LUCIAN!LUCIAN!"
Pierre disamping berteriak-teriak dengan mata masih fokus dibinokular senapannya.
"INI HANYA PERASAANKU SAJA ATAU ZOMBIE SIALAN ITU MULAI BERNIAT MENDATANGI KITA-"

Aku menurunkan pandanganku kembali kebawah.

Dan melihat benar sebagian zombie mendongakkan kepala keatas melihat kearah kami dan mulai berlari memburu mendekat.

"Oh astaga Tuhan!"
Aku memekik.
"Ayo tembaki mereka! jangan sampai naik keatas sini!"

GRAAAAAAA!!

DHARDDHARADHARRR!!

GRAAAAAAA!!

"Tidak sialan!"

Gelombang pertama zombie itu ambruk mati namun malah menjadi pijakan gelombang zombie kedua untuk memanjat tembok kapal.

Kali ini aku tak menembak membabi buta lagi, namun lebih menyecar kepala zombie pemanjat itu langsung.

Sesaat pun aku teringat pada ucapan Briptu Adam.

'mereka merangkak cepat menggunakan empat tangan, seperti laba-laba berlarinya, bisa kau bayangkan?'

Pemandangan mengerikan dibawah kami mulai memberi efek kepada keempat tentara penembak lain.

"Ini tak masuk diakal!"

"Kenapa mereka tak kunjung mati-"

"Sial! Aku harus ganti amunisi dulu!"

GRAAAAAAA!

Suara raungan serentak zombie pun lanjut membahana kencang. Mereka saling menginjak bagai ombak yang berusaha menggapai keatas.

Kami menjerit menembak menggila ke bawah.

"Keep shooting!"

"Aargh Come on! Come on!"

"Just die you motherfucker-"

"AWAS!"

GRAAAAAAA!

Dhardhardhar!

"Mundur!mundur!"
Teriakku tanpa menghentikan tembakan.
Tiga zombie yang ditembak sebelumnya berhasil melompat naik kepegangan dan membuatku sadar bahwa ini memang sudah diluar kekuatan kami.
"Kita harus masuk kembali keanjunga-AWAAS!"

Satu zombie berseragam militer muncul dipegangan dan langsung menarik kuat kepala satu tentara sebelah Pierre kebawah.

"Tidak! Tidak!"
Pierre berusaha membantu dengan menyikut wajah zombie itu namun jadi menyebabkan senapannya jatuh terpental kebawah.

"Simon! Hold on!"
Dua tentara lain berusaha tetap menahan tangan kawannya yang menggantung ketika aku berusaha menembaki dua kali si zombie penarik.

Selanjutnya Simon menjerit-jerit.
Ketika kulihat ada dua zombie lain berhasil memanjat dan langsung menggigiti kaki kanannya.

"Lepaskan dia!"
Pierre yang sama menyadari keadaan itu meneriaki tentara yang masih berusaha menahan.
"Dia sudah tergigit-SHIT!"

Pierre lanjut menghantam kuat wajah zombie yang melompat tepat pegangan depannya.

Simon pun terpaksa kami lepaskan.
Ia meluncur jatuh dengan masih menjerit-jerit digigiti dan langsung dimakani oleh para zombie tepat tubuhnya menghantam lantai geladak bawah.

Dua tentara itu masih histeris berteriak memanggili Simon ketika aku dan Pierre berusaha menghalau mereka mundur. Sedangkan satu tentara sisa lain masih terus menembak perlindungan sambil merutuk.

"Maafkan aku! Maaf astaga!"
Mohonku sambil terus menarik lengan dua tentara itu.
"Kita tak bisa berbuat apa-apa! Ayo tinggalkan tempat ini!"

Namun dua tentara itu bergeming. Mereka malah mengangkat senjata kembali dan penuh amarah membuka tembakan membabi buta.

Klik!klik!

Bersamaan senapan ke dua tentara itu pun habis.

GRAAAAAAA!

Dari bawah zombie kembali menerjang keatas dan sebagian dari mereka berhasil menarik jatuh seketika kedua tentara itu.

"Pergi cepat kita pergi!"
Pekikku lagi sambil menembaki zombie pemanjat.

Satu tentara tersisa berlari terlebih dahulu diikuti Pierre lalu diriku yang terus menembak ke zombie yang mengekori kami dibelakang.

Tepat ketika pintu anjungan terbuka, aku melihat Komander sudah mengangkat senapannya lurus lalu berteriak.
"Kalian menunduk!"

Ia pun membuka tembakan perlindungan hingga kami bertiga bisa segera berlari masuk.

"Cepat!cepat!"

Aku dan Pierre masuk dengan jatuh terjungkal disusul Karl Malstrom dari samping segera membanting tutup pintu berat itu.

"Oh ehek-astaga Tuhan!"
Ceplos Pierre disebelahku sedang ditarik berdiri oleh ayahnya.
"Mereka takkan bisa menembus masuk kan?"

"Ti-dak."
Satu tentara tak kukenal menimpali namun pandangannya lurus siaga ke jendela anjungan yang mulai di pukuli lusinan zombie.
"Peluru pun takkan bisa menembus ruangan ini."

"Tapi jelas serangan dari laut ini harus dihentikan dulu!"
Balasku keras.
"Ratusan peluru sudah habis tadi tapi mereka tetap berdatangan-tapi bagaimana ya cara menghentikan kedatangan-"

"Situasi sudah jauh dari yang diperkirakan-"
Karl Malström memotong.
"Aku akan memanggil beberapa helikopterku- kita harus cepat pergi dari sini-"

"Sssht apaan sih Dad! Diam!"

"Kau berani menyentakku-"

"SETAHUKU,"
Kusengaja keraskan suara untuk menghentikan pertengkaran.
"Setahuku mereka enggan melewati api-"

"Lapor Komander! Ruangan mesin terbawah baru saja menutup terkunci. Kebocoran tahap pertama terkarantina. Karantina tahap kedua akan dilakukan sebentar lagi."
Frida menginformasikan.

"Terbaca ada sepuluh orang yang saat ini terkunci di lantai satu mesin. Dan kapal ini positif terjebak takkan bisa bergerak sir."

"Cepat perlihatkan keadaan mereka!"

Sesuai permintaan Komander, Frida mengatur segera kamera CCTV yang masih aktif di ruang mesin terbawah dan menampakkan pada layar kontrol depan kami.

Tersorot beberapa pria memukul-mukul pintu tralis yang menutup diatas mereka.

"Airnya semakin naik-"

"Please help!"

"Tolong keluarkan kami-"

"Kumohoon!"

"Jangan biarkan kami mati disini!"

"Astaga!"
Aku memekik.
"Mereka akan tenggelam hidup-hidup-"

"Kode merah!"
Komander mengarahkan ke personel didekat layar kontrol.
"Beritahukan seluruh kru untuk-"

"Vincent?! Lucian lihat! Itu bukannya Vincent-"

"Apa?"

Mataku balik menghadap layar, memfokuskan ke kumpulan wajah panik itu.

Dan benar kata Pierre, ada Vincent disana.

Ia tak menggunakan helm pelindungnya dan terlihat bertengger lemah disudut dengan air sudah mencapai dadanya.

"Ini apa-apaan?!"
Aku memprotes.
"Mereka takkan dibiarkan mati begitu saja kan?"

"Lucian benar! Komander, ijinkan kami turun menolong-Komander sir!"

Komander terus menginstruksikan tentang kode merah pada para eksekutif sebelum menoleh. "Kuijinkan. Bawa senjata dari meja itu. Ingat, kalian punya waktu dua puluh menit!"

Komander menunjuk ke beberapa personel eksekutif lain yang tersisa.
"Beberapa dari kalian temani mereka-"

"Tidak! Kau tidak boleh turun kesana!"
Karl Malström menangkap lengan anaknya.
"Kirimkan saja yang lain untuk membantu disana, dan kau My son tetap berlindung disini-"

"Dad! tak usah ikut-ikutan-"

"DIAM!"
Karl Malström benar-benar berteriak.
"Kau satu-satunya anakku-"

"Tapi aku takkan bisa tergigit! Aku terlindung suite ini-"

"TIDAK!"
Karl lanjut menoleh murka pada Komander.
"Ini bukan perjanjian kita, Pride! Avior hanya sekedar lambang perjuangan!"

Aku jadi mengerjap.

Sekedar lambang perjuangan?

"Dan kau juga Lucy!"
Ia menunjuk-nunjuk.
"Kemarin abangmu dan dua lain sudah berjanji untuk menjaga my son!"

Pierre seketika jadi menoleh padaku.

"Dan istriku juga tak setuju perempuan muda sepertimu ikut perang- kau seharusnya bersyukur karena aku akhirnya ikut peduli-"

Oh astaga Tuhan.

Aku tertawa penuh kegetiran.

Jika dia tak peduli dengan keadaan Vincent sekarang, bagaimana bisa dia jadi peduli padaku.

"Tidak bisa!"
Aku membantah.
"Mereka sedang butuh pertolongan-"

"Biar itu jadi resikonya! Bukan salah siapapun jika mereka terlambat keluar dari ruang mesin-"

"DAD ASTAGA HENTIKAN!"
Pierre berhasil mendahuluiku dalam letusan amarah.
"Lucian cepat ambil senjata dan amunisinya. Kita tolong mereka!"

Dalam keadaan gemetar kesal aku berjalan mendekati meja mengambil semua yang kuperlukan.

Bahkan beberapa granat api kuselipkan dikantung celana suiteku,
Sedangkan Pierre membawa senjata tasser sebagai tambahan yang sepertinya ia masih belum mengetahui kegunaan sesungguhnya untuk apa.

Kami diikuti tiga personel eksekutif keluar dari ruangan dengan teriak-teriakan argumen, Komander melawan Karl Malström yang terus terdengar hingga pintu ruangan tertutup rapat dibelakang.

.

.

.

.

.

Suasana terasa canggung sekali didalam elevator.

Pierre hanya diam terus semenjak keluar dari pintu. Ia berdiri disebelahku dengan napas berat jelas masih merasa gusar dengan kejadian sebelumnya.

Bahkan rasa traumaku ketika dihotel pun sedikit muncul, namun aku tetap berdiri tegak, menatap lurus-lurus pintu elevator yang baru menutup didepan.

Ketiga personel eksekutif berdiri berderet dibelakang kami.
Setelah keluar ruangan kontrol anjungan, mereka segera mengarahkan jalur ke kanan yang langsung mempertemukan kami dengan elevator.

Sempat aku menolak ketika itu karena takut kejadian elevator tersendat terjadi lagi. Namun mereka meyakinkan selama ruang mesin kedua belum tenggelam, elevator masih dapat digunakan.

Lagipula kami memang harus cepat menuju lantai terbawah dan harus menghindari halangan 'pertempuran' di koridor kapal yang masih terjadi.

"RJ,"
Aku mencoba kembali.
"Sambungkan ke RJ."

CONNECTION FAILED.

Aku menghembuskan napas panjang.
"Oh Tuhan-"

"Tenang saja."
Satu tentara dibelakang menyeletuk.
"Boss tak apa-apa. Ia masih memimpin pertempuran di koridor depan-"

Aku pun menoleh, menyadari ia adalah salah satu tentara pemegang golok yang membantu memotong ikan hiu besar tangkapan kakakku.

"Aku tadi melihatnya dicctv."
Ia mengangguk-angguk memandangi keenam mata helmku.
"Kalian berdua memang pemberani. Apapun yang akan terjadi hari ini, kalian termasuk pejuang hebat."

"Kenapa kau tak bilang, Lucian-"

Pandanganku seketika berpindah ke Pierre. Ia menekan tombol kanan bawah dagunya hingga tutup helm pun membuka.

"Kenapa kau tak sebut Dad berbicara seperti itu ke kalian."

Aku menggeleng. Benar-benar tak percaya harus membahas hal 'sepele' disaat genting seperti ini.

"Nanti saja bahas hal seperti ini, toh tanpa ayahmu berkata seperti itu kita memang harus saling menjaga kan?"

Ding!

O sial.

Pintu menggeser buka memperlihatkan koridor temaram dengan lampu emergensi kemerahan berkedip dilangit-langit. Suara tembakan pertempuran dilantai atas pun terdengar jelas.

"Ayo cepat!"
Aba tiga tentara melangkah duluan keluar menuju koridor didepan yang kosong dan miring.

"Dengar! Bukan itu maksudnya-"
Pierre masih tetap menyambung walau dengan wajah semerah tomat ketika kami melangkah keluar.
"Dia jelas menyuruh begitu saja kalian untuk khusus menjagaku-"

"Ya tapi-"

"Tentang Vincent tadi, atas nama Karl Malström juga, aku minta maaf-"

"Sudahlah Pierre-"

"Aku menyatakan sekarang, lewat rekaman helmet ini. Jika aku mati, takkan jadi beban tanggung jawab kalian-"

"Apaan sih Pierre!"
Aku jadi menyalak.
"Jangan bicara seperti itu! Lagipula kau kan sudah ada disini sekarang berniat membantu-"

"Ya oke-oke."
Ia menarik diri.
"Kuakui Dad memang tak etis sekali tadi."

Aku hanya mengangguki sambil semakin mempercepat langkah.

"Apapun yang Dad bilang, aku akan tetap bersama sepenuhnya tim Avior ini." ia menyeka dahinya.
"Tak tega juga jika sampai membuat kalian älskare terpisah-"

"Als- apa?"

"Itu sebutan untuk pasangan kekasih. Seperti Kau dan Vincent, Sophia dan aku-"

"Tapi kami-"

"Hei! Kalian akhirnya!"
Muncul dua tentara lain yang ngos-ngosan dari koridor depan.
"Di ruang mesin bawah masih ada yang terkunci-"

Lantai dibawah kami mendadak bergetar.

GRAK!

GRAK!

Aku membelalak.
"Apa yang--"

GREEEEEEEEK!!

"TIDAAAAK!"

Bagai ada gempa koridor bergoncang hebat sampai membuat kami kehilangan keseimbangan dan terhempas jatuh kelantai.

.

.

.

Dan goncangan tiba-tiba terhenti begitu saja.

Seakan tak pernah terjadi.

"Apa-apaan tadi?!

"Entahlah-"
Masih dalam berjongkok, mataku sibuk menyisir sekitar.

Dan aku menyadari keadaan koridor yang sebelumnya miring sudah lurus kembali.

"Apa buritan Aegon sudah terlepas dari kita-"

"Mungkin."
Salah satu tentara didepan kami menyahut.
"Cepat berdiri! Sisa waktu kita lima belas menit lagi!"

Akupun mengangguk.

Kami cepat berdiri dan mulai mengambil langkah lari bergabung menyusuli dua tentara pendatang didepan lalu bersama belok ke koridor kiri.

Dan mulai terdengar suara-suara jerit minta tolong mendekati ruangan terujung.

Kami pun mempercepat langkah memasuki ruangan dan menemukan para tentara yang terkunci dibawah tralis itu. Air bahkan sudah mencapai leher mereka.

"Oh ya Tuhan!"

"Kalian sungguh datang!"

"Syukurlah!"

"Cepat tolong kami!"

"Kalian harus potong besi ini! Ada dilemari atas sana!"

Dua tentara pendatang segera pergi kedalam ruangan seperti mencari alat pemotong. Sedangkan aku segera melompat kepojok mendekati kepala Vincent yang masih tertunduk.

"Vincent!"
Panggilku sambil menjatuhkan senjata yang kubawa lalu menyentuh kepalanya.
"Kau tak apa-apa? Aku dan Pierre disini-"

Perlahan matanya membuka.

Matanya bergulir menatapku lalu Pierre yang berdiri dibelakangku.
Tangannya seketika terangkat menangkap jari kiriku yang bertumpu di sela tralis.

"Kalian datang!"

"Ya tentu saja!"
Balasku dengan menunduk mendekat.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau tak segera naik keatas-"

Dengan masih menggamit erat jariku ia mendorong wajahnya juga ke sela tralis.

"Tadi uhuk!- terjadi guncangan hebat lalu tiang penyangga mesin runtuh membenturku punggungku lalu meniban Tuan Richard."
Ia menoleh pada satu tentara tua yang sedang diajak obrol si tentara pemotong hiu.

Dan aku menyadari Tuan Richard adalah kepala permesinan yang waktu itu datang ke kamar kami untuk menyalami kami bertiga.

"Dan Terrence mengusulkan mengangkat beban tiang dengan menunggu, mengandalkan air bocoran yang masuk namun tepat berhasil terangkat malah pintunya tertutup-"

"Kami mendapatkan gergajinya!"
Dua tentara itu kembali lagi.
"Kalian semua mundur dulu- jangan sampai alat ini tersenggol air dan menyetrum mereka!"

"Geez!" Sebutku segera berdiri sambil memandang kabel panjang yang terulur dari sambungan kontak.

Dua tentara itu memotong tralis sama-sama dimulai dari sisi kiri.
Butir api kecil keluar ketika gergaji mengadu besi tralis.

"Delapan menit sebelum menutup!"
Peringat salah satu tentara eksekutif.

Dan tralispun menuju terpotong setengah.

"Tepat kami selesai, segera tarik tralisnya agar tidak menibani mereka yang dibawah, oke!"

Nguuiiing...

Gergaji semakin bergulir maju terus keujung.

"Oke-lima-empat-"

Tanganku sudah berancang menangkap besinya.

"Tiga--dua--satu."

Aku segera berjongkok menangkap besi itu bersama yang lain.

Dan benar ternyata besi tralis itu berat. Kami bahkan dibantu lagi oleh dorongan tangan sepuluh tentara yang terendam di bawah agar bisa mengangkatnya buka perlahan.

"Ayo naik!"
Kataku dan Pierre bersamaan.
"Biar kami berlima menahan besinya!"

Satu persatu dari mereka memanjat keluar lalu terbatuk-batuk dipinggir karena air sebelumnya benar-benar mencapai wajah mereka.

"Cepat kalian pergi keluar dulu!"
Aku menyuruh sambil masih terus menahan.
"Sebentar lagi ruangan ini akan tertutup otomatis!"

Tuan Richard dipapah terlebih dahulu keluar diikuti yang lainnya.

"Oke.. Vincent-lho Vincent?"

Si pria pod malah balik menyelam menghilang kebawah.

"Apa yang dia lakukan?!"
Omel tiga tentara eksekutif serentak.

Pierre pun menatapku dengan tercengang.

Blasss!!

Vincent muncul kembali dengan menghempasi banyak air dan langsung memanjat keluar.

"Maaf-"

Ia terbatuk. Tangan kanannya menjulurkan helm pelindung pada Pierre.
"I-ni se-pertinya jadi rusak karena terendam-"

"Aduh dikira kenapa!"
Kami berlima sama-sama melepaskan tralis itu hingga membentur menutup kembali.

"Ayo tiga menit lagi!"
Ajak si tentara pemotong hiu sambil mengangkat senjatanya kembali.
"Dan kita harus segera membantu pertahanan diatas!"

Aku pun segera mengalungkan senapan kebahu menyusul mengekor paling belakang dalam berjalan keluar.

"Kau oke kan Vincent?"
Tanyaku lagi sambil menepuk punggungnya didepanku.

Nguung...

Lampu dibelakangku mulai kehilangan dayanya.

"Sial..."
Sambungku dengan melirik sekilas.
"Ayo cepat maju Vin-"

Lanjut terdengar suara seperti dentum pukulan berentet dibawah hingga refleks membuat langkahku, Vincent bahkan Pierre didepannya terhenti.

"Umm,"
Vincent bergumam.
"Kapal ini se-pertinya benar dalam keadaan gawat."

Gawat dalam arti akan tenggelam.

"S-sepertinya- ya-"
Aku mendorong.
"Sudah kita jalan saja lagi."

Mendekati keluar ruang mesin, telingaku malah menangkap suara besi tralis yang berderit panjang.

Seakan ada yang menariknya buka kembali.

Saking penasarannya, aku sampai menyempatkan berbalik berdiri tepat diluaran pintu.

Kuamati ke arah tengah ruangan remang yang baru kami tinggalkan.

Fokus pendeteksi layar helm pun tertuju kedepan, seakan ikut menangkap suatu pergerakan dalam gelap.

Baiklah.

"Aktivasikan mode penglihatan dalam gelap."
Pintaku pada program tepat pintu dihadapanku mulai bergeser menutup.

--Request Confirmed--

.

Night Vision
Activated in

3

2

1

Pintu sepenuhnya tertutup.

.

.

Dan jantungku rasanya sudah berhenti berdetak.

.

.

Aku hanya melihatnya tiga detik.

Tapi rasanya yakin itu mutan yang sama pada rekaman rapat kemarin.

"Lucy?"
Vincent balik menghampiri kesampingku.
"Ada apa?"

Aku termundur selangkah.

"Mu-tannya berhasil masuk kekapal ini."
Lanjutku dengan menarik napas.

"Dia berada, tepat dibalik pintu ini."

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

10.2K 583 16
Tentang anak berandalan yang di jodohkan dengan CEO yang sangat amat terkenal di kota nya. Ini tentang MARKNO ‼️ Jangan salah lapak‼️ BXB‼️ BL‼️ ga s...
4.5K 593 20
ini hanya cerita fiksi !!
508K 2.9K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
1M 148K 56
(Completed) Bumi tak menduga yang terjadi setelah Perang Dunia III. Spesies asing bernama Viator mendarat kembali di Bumi yang kini teradiasi dan pen...