RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra MalstrΓΆm -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Ambush

10.6K 2K 363
By MilenaReds

Waktu terasa melambat.

Lambat yang sangat menyiksa.

Membuat sensasi teror yang mempengaruhi kecepatan detak jantung hingga tanganku pun dingin berkeringat.

Tapi aku berusaha menahan, menutupinya dengan sengaja memaku fokus pada jendela. Pada gulungan ombak dibawah yang sudah mulai tenang, walau kabut malam sisa anomali topan sedari tadi menutupi jarak pandang kami.

Mungkin jika bosan, kualihkan lagi pandangan tembok, atau lantai.

Pokoknya kemanapun selain memandang orang-orang disekitarku, bahkan Regi sekalipun.

Karena aku tak mau terpengaruhi oleh pandangan tegang mereka, atau mungkin sebaliknya, mereka yang jadinya tertular oleh pandangan ketakutanku.

Walau hanya melalui layar.

Karena nyatanya sekarang hanya aku, Pierre serta Vincent yang menetap diruang kontrol terkecuali Regi dan Archie berada diruang pelatihan dibawah bersama Uncle Cyril.

"Sudah ada kabar dari mereka?"

Waduh.

Punggungku seketika menegak.

Tapi aku tetap tak berbalik, pandanganku masih lurus ke jendela.

Menunggu jawaban apa yang akan diberi oleh para eksekutif.

.

.

Namun tak ada yang kunjung menyahuti pertanyaan Komander itu.

Sebenarnya, sudah setengah jam lebih berlalu semenjak sinyal distress diterima dari ketiga kapal yang sudah tiba lebih awal disana.

Sinyal distress itu sungguh berhasil menggerogoti keberanianku.

"Belum Chief Komander. Tapi mereka jelas sudah sampai disana-"
Akhirnya Frida menjelaskan.
"Namun sampai saat ini belum ada balasan jelas dari mereka. Mungkin karena gangguan dari cuaca hingga memperburuk sinyal penerimaan-"

Setelah sekian lama membatu menghadap jendela, akhirnya kepalaku meneleng sedikit ke kanan pada Vincent kemudian pada Pierre.

Dan Pierre terlihat mengerti sekali arti pandanganku.

Mengerti sekali bahwa pasti ada yang sangat tak beres hingga tiga kapal itu mengirim sinyal gawat tak lama dari waktu sampai mereka.

"Apa kita akan sampai tepat waktu yang ditentukan?"
Komander melanjutkan.

"Ya Chief, kita berjarak lima kilometer lagi menuju pesisir pantai dengan estimasi sepuluh menit."

Aku menelan ludah.

Ini dia.

Ini benar-benar akan terjadi.

Badanku berbalik membelakangi jendela, memperhatikan layar ditengah ruangan yang tersambung dengan layarnya Uncle Cyril.

Kami dan mereka yang dibawah sudah sama-sama memakai pelindung tubuh lengkap. Hanya belum memakai helm saja.

"Baiklah kita akan mengatur posisi."
Komander menunjuk ke layar.
"Archibald bersama RJ, kalian pergi mengambil bagian jaga di menara atas."

Aku benar-benar terkejut seakan dirikulah yang disuruh jaga di menara.

Serta-merta aku melotot ke layar memandang Regi serta Archie disebelahnya yang terlihat keberatan sekali akan perintah Komander.

Aku sampai berharap sekali Archibald bakal menawar perintah Komander,

Tapi nyatanya tidak.

Regi pun tak berkata apa-apa.

Ia justru segera meraih helm dimeja depannya diikuti oleh Archie. Namun fokusnya masih ke layar, memberi pandangan khawatir akan keadaanku.

"Jangan-"
Aku bergumam lalu menggeleng lewat layar.
"Jangan menatap seperti itu. Posisimu juga sama gawatnya."

God.

Aku baru ingat kami sama sekali belum saling mengucapkan perpisahan ketika mereka disuruh pindah kebawah tadi.

"Hei ayo cepat-"
Archibald disebelahnya memburui.

Namun Regi masih terus menatapku dengan berat. Pasti ia berpikiran sama sekarang denganku.

"Tak apa,"
Akhirnya aku mengucap ke layar kali ini dengan agak keras.
"Tak apa kak, sungguh. Jaga dirimu!"

Pandangan Regi sempat tertuju pada Pierre disebelahku kemudian mengangguk.

"Aku percaya padamu Luce."
Sebutnya sebelum memakai helmnya.
"Aku. Percaya. Padamu!"

Aku tersenyum tipis.

Ada dua hal yang kutangkap dari nada suaranya.

Percaya bahwa aku memang bisa menghadapi dan percaya juga bahwa aku takkan melakukan tindakan yang nekat saat ia tak ada disekitar.

Regi dan Archibald pun berlalu menghilang dari pandangan layar menyisakan pamannya Pierre duduk sendiri dikursinya.

"Cyril tetap siaga,"
Komander melanjutkan.
"Dan--Vincent bisa turun mengambil jaga di mesin bawah-"

A--pa?

"--Pierre dan Lucy tentu tetap disini-"

"Tunggu!"
Bahkan Pierre memprotes.
"Kupikir kami satu tim akan bekerja bersama-"

"Memang bersama."
Komander memotong.
"Kalian bisa saling berhubungan lewat interkom helm kalian kan?"

Pierre sempat melirik padaku dan Vincent sebelum melesat cepat menghampiri Komander dan Karl Malström yang berdiri disebelah meja kendali kapal untuk mengajukan keberatan.

"Lucy-"
Panggil Vincent disebelahku.
Ia sudah menentengi helmnya.
"Kau bisa bantu aku pakai ini-"

"Eh-"
Aku menerima operan helmnya.
"I--ya tentu."

Ya ampun Tuhan.

Ia bahkan tidak ada memprotes.

Seperti pasrah saja.

Aku sampai tak mampu berkata-kata ketika membantunya mengencangkan sambungan helm di lehernya.

Rasa bersalah menyesak dihatiku.

Ini tak adil baginya.

Karena dia jelas baru hidup seminggu namun harus segera terseret arus perang ini.

Tapi kan kau dan Regi sudah mengajarnya menembak-

Ya tapi tetap saja!

Ia sudah hampir berbalik ketika aku berhasil menahan tangannya lalu menepak tombol kecil didagu kanannya hingga membuat kaca penutup helmnya jadi membuka.

"Vin--cent dengar,"
Mulaiku dengan nada panik sambil menatap lurus mata coklatnya.

"Kau masih ingat jelas kan pengajaran kakakku?"

"Ya,"

Aku menoleh sekilas pada Pierre yang masih berusaha berdebat disana.

"Well,"
Gelengku sambil balik mencengkram erat lengannya.
"Tapi kalau kau--"
Suaraku menurun jadi bisik.

"Kalau kau terpojok sendirian- kau bisa sembunyi saja."

Vincent jadi membelalak mendengar nasihat nyelenehku.

Tapi aku tetap meneruskan.
"Pokoknya sembunyi, Vincent. Tak apa. Jika kau benar-benar tak bisa melawan--terlebih mutan itu sendiri, oke?"

Ia belum ada sempat menjawab karena aku keburu menepak lagi tombol didagunya hingga kaca helmnya menutup.

"Kau boleh kebawah sekarang-"
Komander Pride mengulang perintahnya.
"Vincent."

Sial.

Kupandangi enam mata merah dihelmnya Vincent.

Berarti Pierre jelas sudah kalah berdebat.

Vincent yang juga masih memperhatikanku mundur perlahan tiga langkah sebelum akhirnya benar-benar membalikkan badannya berjalan menuju pintu.

Aku menghembuskan napas dengan tangan terkepal kuat.

Akankah dia mau menuruti nasehatku?

Kapten juga memberi nasehat yang sama waktu itu-- tapi kau juga tak menurutinya-

"Lima menit sebelum berlabuh!"
Aba Frida kencang.

Aku pun segera mengambil helmku yang masih dimeja, bersiap.

Debat Pierre pun sudah terhenti. Ia masih terlihat gusar menghadap Ayahnya sedangkan Komander sedang berbicara di speaker memperingati semua tentara kapal Aegis agar bersiap diposisi masing-masing.

Apapun yang terjadi, aku harus selamat.

Harus.

Karena masih banyak hal yang harus kuungkap.

Oh jadi hanya dirimu saja yang selamat?

Ya tentu saja tidak!

Tentu saja termasuk Regi, Vincent, Pierre, Archie-- pokoknya satu kapal ini selamat.

Kau tahu itu harapan yang terlalu muluk bukan?

Diam!

Aku menggeleng, balik mendekati jendela menentengi helm ditangan kananku.

Tetap positif Luce!

Tetap positif!

Kuhembuskan napas perlahan sebelum benar-benar fokus dengan keadaan luar.

Situasi ternyata masih sama berkabut.

Bahkan aku bisa melihat kilat-kilat di balik kabut itu.

Hei.

Aku mengerenyit.

Kilat?

Sontak aku menoleh pada Komander yang juga sedang melihat kaca didepannya.

Lalu terdengarlah suara seperti tembakan dan dentuman tipis.

Para petugas eksekutif mulai saling berpandangan gelisah.

Pierre pun jadi ikut mendekat kejendela.

"Mereka- sedang menembaki kotanya?"

Aku tak menjawab.

Kapal semakin melaju, menembusi kabutnya.

Setelah itu, mulailah terlihat keadaan disekitaran dekat pesisir pantai.

Dan mulutku membuka perlahan.

Apa-apaan?!

.

.

Bukan kota, alih-alih tiga kapal perang penyelamat yang justru terbakar.

"Apa yang telah terjadi-"

Pierre terhenti dengan sendirinya.

Pandangan horornya meluas keperairan bawah.

Karena memang disitu jawabannya.

Persis diperairan bawah kapal kami.

'This is live report from Los Angeles bridge...'

Aku memejamkan mata.

Suara wanita pembawa acara berita luar yang kutonton bersama keempat kawanku saat hari kedua di Hotel Crown terputar dengan jelas sekali diotak.

'A local fisherman, Alan Maguirre gave us a negative testimony about the governments plan.'

"Oh Tuhan,"
Keluhku.
"Bagaimana bisa aku lupa-"

'He thought he'd be safe from zombie because his house were stand across the lake-'

Kedua tanganku mengepal disisi badan. Berusaha menguatkan diri.

'Before he saw some zombies last night swimming through the lake trying to reach his house--"

"Mereka!"
Tandas Pierre kencang.
"Mereka semua berada dibawah-"

Bip!

Bip!

Bip!

Alaram seketika berbunyi membuat kami sontak menatap layar radar kapal.

Terpampang tampilan kapal berjarak tujuh puluh lima meter dari kapal kami mendekat dengan laju cukup cepat dari arah sebelah kiri.

Aku balik menoleh ke jendela yang tepat berada di sebelah kiriku untuk melihat kapalnya.

Dan napasku seketika tercekat.

Ada banyak sekali zombie masih menempel gigih memanjati sisi kiri kanan lambung kapal itu.

Dan entah apa yang telah terjadi, setengah menara atasnya yang rasanya mirip sekali dengan bentuk kepunyaan kapal Aegis itu terbakar.

Mirip Aegis.

"Aegon! astaga!"
Sadarku.

"Goddamnit!"
Komander Pride sekarang berteriak merutuk pada bawahannya.
"Putar haluan kapal dua puluh lima derajat ke kanan cepat! Mereka telah kehilangan kendali!"

Aegon, kapal kembar kami.

Kapal Komander Delhart.

melaju semakin dekat,

terlihat takkan berhenti.

"BELOK CEPAT-"
Para eksekutif berteriak-teriak sambil berusaha keras mempercepat laju putar arah hidung kapal ke kanan.
"HINDARI-"

Namun, walau aku hanya orang awam perkapalan dapat merasakan,

betapa terlambatnya usaha dalam menghindari Kapal Aegon ini.

"BERHENTI SIALAN!"

Pierre mulai berteriak merutuk pada Kapal Aegon.

"SHIT! BAGAIMANA INI-"

Kapal sudah amat sangat dekat.

Aku hanya termundur pasrah memandang jendela mengabaikan jerit histerisan Pierre.

"TIDAAK! STOOP!"

Terlambat.

Bagai video dipelankan aku melihat bagaimana ujung segitiga buritan depan kapal Aegon menubruk sisi samping kapal kami dengan keras.

Hingga mereka yang masih berdiri dekat jendela sontak terhempas kebelakang bahkan termasuk diriku walau sudah berdiri cukup jauh.

"Sial!-"
Erangku tepat punggung mendarat dengan menghantam kaki kursi.

GREEEEEK--

Mataku jadi membuncang memandang langit kapal.

"Apa yang?"

Bunyi derit besi terbelah menggema semakin keras

hingga memekakkan telinga.

GREEEEEK-

Kapal kami masih terus terdorong,

dan semakin miring melimbung kekanan.

"OHTIDAK!"
Semua bertiarap panik, berusaha berpegangan kencang pada lantai besi yang bergetar hebat dibawah.
"TIDAK-"

GRTAKGRTAKKTAK!

Tidak! Please Tuhan-

GREK!

GREK!

HENTIKAN!

Jangan biarkan kapal ini sampai terbelah dan tenggelam!

Kumohon...

.

.

.

.

.

.

.

.

Butuh waktu sepuluh detik penuh untuk kapal ini benar-benar berhenti terseret.

Aku segera membalikkan badan tertelungkupku, menarik napas cepat, berusaha keras mengendalikan detak jantung yang sudah tak karuan.

"Kalian tak apa?"

Suara sahut-sahutan mulai terdengar disekitarku yang gelap gulita.

"Sudah berhenti-"

"Mesinnya mati?"

"Sialan!"

"Ada yang terluka?"

Pats!

Lampu emergensi kapal bewarna merah menyala, berkedip-kedip diatas kami.

Aku melihat Pierre yang tak jauh didepanku membungkuk, berusaha menolong Ayahnya berdiri.

"Dad? Dad? Kau tak apa?"

Dan helmku sekarang juga tergeletak dilantai belakang kaki Pierre.

"Tak apa Son, tak apa..."
Jawab Ayahnya sambil mengusapi dahinya yang berdarah.

Aku pun cepat mendorong badanku berdiri untuk segera mengamati keadaan sekitar.

Komander serta para Eksekutif syukurnya tak ada yang terluka, namun mengalami syok sama besar denganku.

"Geez!"
Ucapku menyadari keadaan badan kapal yang masih berkeadaan miring membuat langkah maju cepatku ke arah Pierre menjadi terasa limbung.

"Kau okey?-"
Tanya Pierre ketika aku meraih helmku didekat kakinya.

Ya tentu saja aku tidak oke!

Kumasukkan segera kepala peningku ini kedalam helm pelindung, mengaktifkan programnya.

Bahkan hari buruk rasanya baru saja dimulai.

WELCOME LUCIAN!

Muncul tulisan kehijauan dilayar.

You have one call request from RJ

"Accept!"
Pekikku segera.

Accepting
.


.
.
.
.

RJ now on the Line.

"Luce! Lucy! Kau tak apa?!"

"Kaaak! Kau dimana?"
Panggilku histeris sambil perlahan menoleh kembali kejendela.
"Ka--kapal Aegon yang tak sengaja menghantam kita-"

Aku mematung ditempat.

Buritan kapal Aegon ternyata masih tersangkut diam disisi lambung kapal kami.

Dan seluruh zombie yang berada diatas geladak Kapal Aegon jadi berubah fokus.

"Bagaimana bisa menghantam kita?! Aku masih dua koridor lagi menuju pintu luar-"

"TIDAK TUNGGU!"
Aku seketika berteriak.

YaTuhan!yaTuhan!

"Reginald cepat persiapkan senjatamu-"

"Ada apa-"

"Reg!"
Peringatku penuh horor.

"Mereka datang Reg-"

"Seluruh zombie diatas Kapal Aegon sedang melompat menyerbu geladak Kapal kita sekarang!"

Continue Reading

You'll Also Like

23.9K 2.3K 16
if you don't like it, skip it INI FIKSI JANGAN DIBAWA KE REAL LIFE. Ga pandai buat deks jdi baca aja ya..
6.2K 499 9
Kenalin gw John atau sering di kenal dengan irrad gw pindahan dari sekolah di Philipina dan gw udh mau setahun di sini gw sekolah di salah satu sekol...
52K 3.4K 30
diceritakan seorang gadis yang bernama flora, dia sedikit tomboy dan manja kepada orang" terdekatnya dan juga posesif dan freya dia Cool,posesif dia...
2.4M 206K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...