RED CITY : ANNIHILATION

Galing kay MilenaReds

750K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... Higit pa

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Protocol

12.4K 2.2K 309
Galing kay MilenaReds

"Tidak Aunty Cheryl-"
Sahutku dengan lidah kaku namun berusaha terus tersenyum.
"Tak apa, kami sudah nyaman duduk disini."

Good God.

Empat kali sudah aku menolak untuk pindah tempat duduk ke seberang dimana kru reporter beserta Sophia dan Aunty Cheryl aka ibunya Pierre berada.

Mereka pun telah berganti jenis pakaian. Aunty Cheryl menggunakan setelan blazer dan celana katun hitam panjang yang membuatnya mirip wakil dari PBB dan Sophia menggunakan dress hijau berlengan pendek seperti sedang dining di restoran mewah.

Benar-benar mereka tak terlihat canggung mengadakan wawancara ringan di ruangan kantin ini, walau jadi sorot perhatian semua tentara yang berlalu lalang, atau yang sedang duduk makan disekitar.

"Awh--"
Aunty Cheryl mengerang merdu ke kamera dengan tatapannya masih terus ke arahku.
"Lucian sebenarnya gadis yang aktif. Dulu keluarganya memelihara beberapa kuda, mereka suka mengendarainya di pinggir danau--"

Aku tak coba mendengarkan lebih panjang, hanya mengalihkan pandangan pada sup hiu yang mulai dingin di meja depanku.

Berkuda saja sudah bisa jadi kategori kegiatan yang cukup mahal. Apalagi sampai pelihara.

Lagi pula pengalaman 'berkudaku' cuma sekali, dan itu pun hanya sebatas mengendarai keledai tua saat karya wisata jaman sd.

Baru aku mau mulai menyendok potongan kentang di supnya, lewat delapan tentara perempuan yang kukenali wajahnya sebagian dari kegiatan olahraga diruang gym sebelumnya.

"Ini mereka!"

"Hai Lucian!"

"Selamat untuk kalian!"

"Berita besar bukan? Astaga klan Malström!"

"Komander Pride hebat bisa mempertemukan mereka kembali-"

"Ya, kejadian kalian ini menurutku sebuah keajaiban-"

Aku hanya menyengir kosong pada baki isi mangkok ditangan mereka masing-masing.

Sudah berapa kali kami juga disebut sebuah keajaiban.

Setelah berhasil membebaskan diri dari pepetan keluarga Malström saat turun dari helikopter pagi tadi, kami pergi menuju kamar masing-masing untuk membersihkan diri.

Selama perjalanan menunju kamar itu lah kami ditemui tentara lain, bahkan ada tim kru mesin yang konon katanya jarang membaur, saking fokus mengawasi mesin kapal sampai spesial ikut mendatangi kami.

Awalnya mereka hanya ingin menyalami Regi karena telah memberi makan 'satu kapal' dengan hiu, Vincent atas prestasinya mengalahkan rekor Stewart si 'hidung besar' lalu terkejut ketika ada satu tentara yang lewat menyeletuk dari belakang bahwa kami juga merupakan 'sepupu dan kawan yang hilang' dari keluarga billionare Malström yang baru datang.

Hahah.

Sungguh keajaiban sekali memang.

"Takdir memang menentukan kalian dipertemukan kembali-"

Tentara di hadapanku ini masih lanjut berceloteh.

"Ya di keadaan sekacau ini-"

"Penasaran, berapa lama sih kalian sudah terpisah?"

"Berarti kakakmu itu dulu satu institusi sekolah ya dengan Pierre-"

"Ya tentu saja Mirren! mereka ini kan sama-sama keluarga pengusaha tambang emas-"

Agak gawat juga sebenarnya pendapat berlebihan mereka tentang asal muasal keluargaku.

Tapi aku takkan mengiyakan atau membantah juga. Karena pendapat nyeleneh mereka itu lah rasanya yang bisa mengubur identitas asli kami.

Mereka sebenarnya masih ingin berbincang lebih banyak lagi ketika datang untuk kedua kalinya Kadet Silvia sebagai penyelamatku dan Vincent menyuruhi mereka untuk tak mengganggu kami dan mencari tempat duduk lain.

"Mana dua lainnya?"
Tanya Kadet Silvia dengan memandang kesekeliling.

Dianggapnyalah sudah Pierre Malström salah satu dari kami.

"Kakakku masih berberes di kamar, dan tak tahu dengan err--Pierre-"

"Pasti kalian saat ini hanya ingin berbicara khusus berempat saja bukan? sekaligus melepas rasa kerinduan-"

Aku menelan enek.
"Eh ya kerinduan-"

"Ya, benar. Sungguh senang mendengar keajaiban yang terjadi di keluarga kalian-"
Kadet Silvia mengangguki penuh bijak.
"Aku akan memastikan kalian tidak diganggu."

Ia pun melesat pergi dengan wajah menahan haru.

"Uh-"
Aku menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal.
"Ampun ya-"
Keluhku sembari menoleh mengeceki pintu kantin yang membuka lebar dibelakang.
"Rasanya kok jadi tak enak-"

"Jadi mereka bukan keluargaku ya?"

Aku menoleh perlahan pada Vincent yang duduk disebelah kiriku.

Ia menyeplos pelan sekali sampai kupikir suara itu hanyalah bayanganku saja.

"Mereka--bukan keluargaku?
Lanjutnya dengan memandangi jari telunjuknya yang menempel pada pinggiran mangkok. Supnya belum disentuh sama sekali sama sepertiku.

Jelas bisa terlihat kesedihan pada wajahnya.

Dan aku jadi merasa buruk.

"Ini jadi hanya berpura-pura saja?"

"AHAHAHAH!! BENAR SEKALI BROOH!!"

Aku, bahkan Vincent hampir jatuh terjengkang dari duduk saking kagetnya.

"TENTUNYA BROOH-"

"Geez!"
Desisku sambil menyeimbangkan diri di kursi kembali.

Penuh gaduh Pierre Malström muncul dari pintu dibelakang kami, disusul oleh kakakku.

"Geez astaga!"
Ulangku ketika melihat dengan jelas pakaian yang dikenakan Pierre sekarang.

Ia memakai jas bermanik payet silver kerlap-kerlip kontras sekali dengan Regi yang hanya menggunakan kaus dan celana training sama sepertiku dan Vincent.

Jasnya bukan terlihat jelek, malah terlihat mahal dan mewah sekali. Tapi jas itu cocoknya digunakan untuk artis diacara konser. Artis kelasan mendiang Michael Jackson.

Tangan Pierre memanjang lurus diatas kepala kami, menunjuk ke tempat duduk diseberang dimana keluarga dan kru tvnya berada.

"Hai Mom! Sophia!"
Sapanya.
"Dan Rosa!"

Tepat ketika kamera akan menyorot ke arah kami, Regi langsung menukik duduk di kursi depanku hingga pastinya ia memunggungi sorotan.

"Pierre!"
Kumandang mereka balik.

Sempat kupikir Pierre akan pergi menghampiri keluarganya, namun ia malah ikutan duduk di kursi sebelah Regi, tepat di hadapan Vincent. Lalu sorotan kamera pun meninggalkan kami.

"Halo sepupuku!"
Sapanya penuh semangat pada Vincent yang mengerjap melihat jas berpayetnya.

Bahkan Vincent yang baru 'hidup' tiga hari saja rasanya sadar betapa ramainya pakaian Pierre itu.

"Eh! tunggu sebentar-"
Pierre terperangah melihat dua mangkok dihadapannya.
"Itu bukannya daging hiu?"
Tatapnya bergantian padaku dan Vincent.

"I...ya."
Aku menyahut.
"Ini memang hiu-"

"Hebat! aku tak tahu kalau kapal militer menyediakan makanan kelas bintang lima?"
Tangannya menepuk kencang meja sambil berbalik berdiri.
"Aku mau kalau begini! Yuk Bro!"

Regi tetap saja duduk membuat Pierre pergi ke meja prasmanan ditengah ruangan sendiri.

Aku bahkan tak tahu mau berkomentar apa, melihat tampang Regi seperti habis menelan batu bata. Baru ketika aku sedang menyuap satu sendok daging ke mulut, ia sendiri mulai bicara.

"Pierre dapat sisa satu kamar tepat disebelahmu itu Luce-"
Infonya penuh duka.
"Telingaku sampai berdenging. Dia bicara terus padahal tak ada kutanggapi sama sekali!"

"Ya-"
Jawabku prihatin.
"Dia sepertinya memang seaktif Aunty Cheryl-"

Wajah kakakku mengerut.
"Kau--panggil apa?"

"Ibunya Pierre memang menyuruh kita memanggil dia seperti itu bukan? Tak ingat tadi waktu sebelum berpisah ke kamar-"

"Apa-apaan sih ini sebenarnya?!"

"Ssht Regi!"

"Apa?!"

"Jangan begitu! Mereka keluarga billionaire berpengaruh! Praktis Pierre bisa jadi raja kapal-"

"Raja kapal atau raja gembel pun aku tak peduli! Kau liat dong pakaiannya kayak mucikari begitu-"
Matanya melirik nyeleneh pada Vincent.
"Kau tenang saja, dia bukanlah sepupumu. Ini hanya drama gila mereka saja-"

Vincent malah menghindari pandangannya.

"Oh tidak astaga-"
Regi menganga, balik menelengkan kepalanya padaku penuh ketidak percayaan.
"Tolong- tolong jangan bilang dia ada berpikir--kalau Pierre itu-"

Aku hanya diam.

Regi praktis terkekeh remeh dan langsung terhenti karena aku menendangi tulang keringnya dengan keras.

"Aduh! Lucy!"

Aku tak memperdulikannya.
Kakakku ini tingkat kepekaannya suka menyusut jadi sekecil butiran beras.

"The food still hot-"

Hugo melangkah cepat mendekat ke meja kami dengan membawa baki berisi dua mangkok mengebul diikuti santai oleh Pierre dibelakangnya.

Belum apa- apa tuan muda Pierre sudah mulai memanfaatkan keadaan.

"Silahkan, Tuan Malström."
Sebut Hugo setelah menaruh mangkoknya dan gelas air dengan hormat dimeja.
"Silahkan Boss!"
Tambah sapaannya pada Regi sebelum berlalu pergi.

Pierre menjatuhkan diri dikursi. Ia masih terlihat terpukau sekali dengan menu sirip hiu didepannya.

"Apa?"
Tanyanya menyadari kami masih terus menatap jas payetnya.
"Owh- aku tahu, pakaianku keren ya! Ahemhem-"
Ia tertawa sombong.
"Harga jas ini dua ribu lima ratus euro."

Regi tampak meringis.
Aku sih tak tahu jumlahnya jika dalam hitungan rupiah, tapi dapat dipastikan itu uang yang banyak.

Pierre mengaduk kuah supnya.
"Tak menyangka deh, sebegini niatnya kalian di kapal ini menyambut kedatanganku!"

Aku memberi senyum mengejek pada Regi.

Pierre mengangkat hormat sendoknya pada kami, lalu memasukkannya ke mulut.
"Hmm--- cukup enak walau kentangnya terlalu matang-"
Ia menunjuki mangkok Vincent dengan sendoknya.
"Sepertinya ini lebih enak ditambah lada pedas ya?"

Vincent mengangguki.

Pierre terlihat menikmati sekali seakan jenis sup di mangkoknya berbeda dengan yang ada di mangkokku. Ia mengecap-ngecap seru kuah panas dimulutnya sampai dahinya basah berkeringat.

"Oke--ehem. Katakan-- aku penasaran-"
Oceh Pierre tak jelas sembari mengelapi dahinya dengan selampe hitam sutra yang dikeluarkan dari saku.

"Katakan- apa kalian punya pengalaman membunuh?"

Kuah sup dimulutku sampai tumpah balik ke mangkok. Untung perhatian Pierre terarah pada lembaran selampe yang sedang ia lebarkan.

"Pertanyaan macam apa itu-"
Sela-ku dengan nada berusaha terdengar santai.
"Kita kan sedang makan."

"Yah aku cuma penasaran skill kalian dalam membunuh zombie-"

"Kau punya pengalaman membunuh zombie?"
Regi yang bertanya balik.

"Aku bro? Belum-"
Pierre menyengir senang ditanyai tentang diri.
"Belum sama sekali. Bertemu secara langsung pun belum pernah. Aku hanya menontonnya lewat CCTV ketika mereka lewat didepan gedungku."

"Oh,"

"Banyak sekali deh mereka!"
Lanjutnya ringan. Seperti membicarakan barisan semut.
"Tapi penjagaan gedungku lebih kuat--dan takkan pernah bisa ditembus deh!"

Aku menyengir hampa.

Optimis sekali dia.

"Sekuat apapun jika jumlah mereka tambah banyak, akan percuma-"

"Oh ya?-"
Ia menelengkan kepalanya padaku.
"Hampir lupa-- Aku belum memperkenalkan diri dengan jelas. Namaku Pierre Malström. Dari Malström Group."

Otomatis aku pun mengerenyit.
"I--ya kami kan sudah pada tahu--"

"Malström Group."
Tekannya lagi dengan angkuh.
"Kalian tahu kan kami bergerak dibidang apa sekarang? hmm?"

Ia tantang kami satu persatu.

"Eng--Tambang emas?"
Cobaku.

"Hampir benar."
Tunjuknya lagi padaku dengan sendok.
"Tambang emas itu kepunyaan kakekku. Tapi ayahku, Karl Malström menjalankan banyak bisnis lain."
Ia menyengir konspiratif.

"Salah satunya bisnis--- Senjata."

Aku bertatap-tatapan dengan Regi selagi Pierre melanjutkan tawa mulut tertutup.

"Makanya kami datang kemari. Dengan orang-orang dan peralatan yang tepat, takkan gagal deh pasti."

Benar-benar Pierre Malström ini belum mengenal konsep bahwa kesialan bisa menimpa siapapun, termasuk keluarga billionare sekalipun.

"Dan tadi kudengar sepupu hilangku ini, baru memenangkan rekor renang- benarkah?"

Vincent mengangguk.

"Hur häftigt är inte det?! Grattis Kusin!"

Vincent hanya diam tak menyahutinya.

"Yah kau tidak mengerti?"
Tukasnya.
"Kau asalnya dari mana? Sempat kupikir kau orang Northern juga!"

Nah.

Jelas sudah, dia bukan saudara Vincent.

Vincent ajaibnya mau menjawab sendiri walau dengan lambat.
"Tidak tahu--tidak bisa--ingat."

"Tidak bisa ingat gimana?"

"Dia tidak bisa mengingat karena syok dan terbentur ketika ditemukan."

Pierre mengangguki penjelasanku, tapi tetap menatap Vincent.
"Sama sekali kau tak ingat? Apapun?"

Vincent menggeleng.

Alis Pierre tertarik keatas. Ekspresinya seperti habis membuka bungkus kado.
"Ooh! Aku suka ini! Seperti diserial tv ya?!"

"Kupikir kau sudah mengetahui tentang kami?"
Cetusku.
"Dari Komander Pride?

"Enggak. Aku hanya baru tahu nama kau Lucian dan Bro-"
Regi ditunjuknya.
"Tadi orang menyebutmu boss atau RJ. Kepanjangannya apa itu?"
Ia berusaha mengira sendiri.
"Ralph Joseph? Mereka juga memanggilmu boss- kau termasuk boss petinggi kapal ini?"

"Bukan!"
Aku menyeletuk segera.
"Dia dipanggil boss karena berhasil menangkapi ikan hiu ini-"

"Tidak mungkin!"

"Yep,"
Balasku datar.
"Itulah yang terjadi."

Pierre membuka tutup mulut mirip seperti ikan sambil memandangi kami bergantian.
"Pilihanku memang selalu tepat ya!"

"Pilihan?"
Ulangku.

Ia tersenyum lebar. Gigi putih cemerlangnya berhasil menyaingi payet jasnya memantulkan sinar lampu.
"Aku, hanya ingin menambah kesan. Maksudku coba deh lihat diri kalian barusan tadi. Baju kotor, penuh cipratan darah, terlihat tragis sekali."

"Oh-"

"Ya kan?--Nah, akan jadi membosankan rasanya jika aku dan keluargaku mendarat lalu ikut rapat bersama Komander--kurang bumbu harunya! Dan melihat keadaan kalian yang menyedihkan mirip gembel kelaparan seperti itu tadi, pasti semua penonton akan menangis tersedu-"

"Berapa tepatnya-"
Regi memotong sinis.
"Jumlah semua penonton itu hmm? Paling tak sampai seratus?"

Sudut alis Pierre berkedut.
"Tak usah gugup karena itu. Kalian takkan sering disorot kok. Yang sering disorot adalah pemeran utamanya. "

Dan sungguh bisa ditebak siapa pemeran utamanya.

Perhatian, kepada semua Personel Pejabat Eksekutif Militer Aegis, harap segera berkumpul rapat di lantai empat segera!

"Woops! Itu tandaku!"
Pierre menatap langit-langit sekilas lalu lekas meminum air putih di gelasnya.
"Aku harus ikut rapat!"

Regi menatapku penuh arti.

Pierre sudah langsung jadi personel eksekutif saja!

"Ayo cepat Lucian! Kau kan ikut juga!"

"Hah?"
Aku terkesiap.
"Ikut apa? Aku kan cuma kadet-"

Pierre berdiri dari kursinya.

"Kau juga dapat protokol khusus tadi menurut emh-- siapa tuh tentara yang berambut warna merah--"

Alisku menaut.
"Archibald?"

"Ya sepertinya Archie."
Ia mengibas tangannya.

"Ayolah Lucian, jelas kau dianggap kadet penting makanya disertakan dalam rapat para eksekutif!"

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

32.4K 2.7K 14
[BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Amora Stephanie putri Gadis cantik, kaya, dan pintar yang hampir dikatakan sempurna. Apapun yang d...
636K 35.3K 50
"Maafkan aku." Cicit Fina dengan suara yang hampir menghilang. "Plakk.. seharusnya aku tidak mempercayakannya pada gadis kecil sepertimu." Setidakn...
367K 28.2K 23
[ BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Adrea tidak percaya dengan yang namanya transmigrasi. Mungkin didalam novel itu wajar. Tapi bagai...
Daddy Galing kay ulan

Science Fiction

322K 28.1K 22
bagaimana jika seorang pemuda sebatang kara tak memiliki keluarga satupun, malah mengalami sebauh kecelakaan yang membuat nya ber transmigrasi ke rag...