RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Axis

12.8K 2.4K 428
By MilenaReds

Untuk sesaat, semua hampir terlihat normal.

Anggap saja aku sedang rekreasi ke pinggir pantai, mengunjungi kapal pancing, melihat para nelayan yang sibuk dengan hasil tangkapan ikannya.

Para nelayan yang kebetulan memakai seragam tentara navy.

Para nelayan yang kebetulan bukan memegang pisau dapur, tapi golok berukuran hampir sepanjang pedang samurai untuk memotong ikan tangkapannya hari ini.

Tanganku terangkat menyila, masih dalam posisi berdiri menyender di pinggiran geladak.

Kutelengkan kepalaku sedikit ke kanan, mengamati ikan hiu besar yang tergeletak lima langkah didepan.

Hiu itu tergeletak menyamping dengan kepalanya terkulai menghadap ke arahku.

Kepalanya besar sekali,
lebar kepalanya melebihi atas dengkulku dengan mulutnya yang membuka.

Bukan membuka seperti ingin menerkam. Membuka seperti melongo terkejut.

Bisa kubayangkan, mungkin dia sedang berenang ringan santai lalu mati dalam keadaan syok ketika mendadak ada tombak yang menusuk punggungnya.

Aku berdecak.

Kasihan.

Tapi setidaknya, stok makanan jadi mendadak full untuk kami semua.

Para tentara yang sudah memarkirkan speedboatnya di buntut kapal pun berlarian kembali ke geladak atas bergabung membentuk lingkaran mengerumuni hiu itu dilantai.

Mereka masih terus saja tertawa penuh ketidak percayaan, menyebut terus 'pengalaman pertama'.
Kadet Silvia pun terlihat cerah, ikut mengoceh jenis-jenis hiu pada Hugo sambil terus meraba-raba buntut hiunya, dan sebagian lainnya sedang sibuk menghitung-hitungi bersama jatah daging jika nanti di masak.

"Dia benar-benar hebat."

Kulihat dari ujung ekor mata, sosok pria berambut merah pendek yang melangkah mendekat.

Archibald.

Benar-benar baru sadar keberadaannya disini.

"Bisa dibilang ini tangkapan hiu pertama tentara Kapal Aegis."
Ocehnya sambil menyenderkan punggung di pegangan pembatas.

"Oh,"
Aku mengangguk tanpa menoleh. "Benarkah?"

"Ya, tak pernah juga kami memburu hiu,"
Ia memiringkan kepalanya, berbicara dengan bisik rahasia.
"Lagipula hal itu dilarang dalam hukum internasional, tentunya."

"Oh begitu ya,"
Sahutku menelan ludah.

Ia mengangkat bahu.
"Tak menyalahkanmu juga sih. Kau sebelumnya kan hanya penduduk sipil biasa yang bisa minim informasi. Tapi kakakmu itu, dia orang militer juga kan?"

Aku berkedip.

"Seharusnya dia tahu dong aturannya-"

Pembicaarannya sempat terhenti ketika ada satu tentara yang lewat menyapanya.

"Kalian cepat sekali ya mengorganisir pengikut tersendiri--mirip--Delhart."

Aku menoleh dengan penuh keterkejutan padanya.

Seriuskah dia menyamakan si arogan Delhart dengan kami?!

"Maaf, tapi apa sih maksudmu?!"
Bantahku segera.
"Kakakku pergi memancing karena ceritaku tentang perkiraan stok makanan kapal ini yang menipis!"

Ampun!

Archibald ini sungguh sedang dilanda krisis percaya pada orang disekelilingnya.

Bisa kau salahkan dirinya jadi seperti itu?

"Jadi bukan untuk-"
Aku terbata-bata sendiri.
"Tentu jauh sekali dari niatan-"

"Hampir satu ton lagi ya berat hiunya?"

Bibirku mengerucut.
"Ya perkiraannya, sekitar segitu."

"Itu bukan jenis Hiu biasa, sekali tombak lagi yang kudengar-

"Kakakku memang jika melakukan sesuatu, selalu tak tanggung-tanggung. Walau terkadang dengan cara agak ekstrim-"

"Ya tentu kau benar."
Archibald mengangguk-angguk penuh.
"Bahkan kesan pertemuan pertama kita juga bisa dikategorikan sangat ekstrim, bukan? Hahahah-"

Oh God.

Aku tak bermaksud membawa pembicaraan ini mengarah kesana.

"Apa kau hanya akan bersantai disana saja Luce?"

Suara panggilan Regi membuat pembahasanku dan Archibald otomatis terhenti.

"Tahu sih ini hadiah, tapi apa kau tak penasaran proses potongnya?"
alisnya mengangkat.
"Sekalian belajar."

Tanpa ada melirik lagi ke Archibald aku segera maju bergabung. Kuambil posisi berjongkok diantaranya dan Vincent, berhadapan langsung dengan punggung lebar hiu.

Aku sedang mengikuti Vincent merabai kulit sirip licin hiu yang terasa dingin kaku ditangan ketika Regi bergumam dengan bahasa nativ kami sendiri.

"Kau oke? Kau terlihat seperti tertekan berdiri dengan dia disana, ada apa?"

"Ah tidak ada apa-apa. Dia hanya mengutarakan ketidak-setujuannya tentang perburuan hiu ini."

Pandangan Regi jatuh pada Archie.

"Hiih jangan tatap dia seperti itu Reg-"

"Apa? Ada apa boss?"
Salah satu tentara melihat kami ikutan nimbrung.

Aku ingin menepuk jidat rasanya.

"Ada apa?"
Tanyanya lagi ulang ketika tatapan Regi dari Archibald berpindah padaku.

"Tak ada apa-apa."
Sangkalku cepat.
Benar-benar aku tak mau terkesan seperti tukang ngadu.

"Archie kenapa--"

"Ssht!"
Aku mendesis.
"Sungguh tak apa-apa. Dia hanya kurang menyetujui perburuan hiu karena ada hukum yang melarangnya. Dan kurasa dia memang benar-"

"Ah biarkan saja! Archie memang agak kaku dengan aturan-"
Sahut salah satu tentara yang memegang golok.
"Ayo boss! Beritahu kami segera cara potongnya!"

Aku menghembuskan napas lega atas perubahan topik ini.

"Mudah saja sebenarnya,"
Mulai Regi dengan memandang mengitar kesemua, terakhir padaku.

"Pertama kita bersihkan isi perutnya terlebih dulu. Gores tekan pisau pada kulitnya dalam bentuk sembilan puluh derajat. Dimulai dengan pinggir insang kiri ini,"
Ia mencondongkan badannya maju.

"Terus berhenti tepat di pangkal tengah belakang lehernya, lanjut gores tarik kebawah sepanjang tulang belakangnya."

Kedua alisku terangkat.

Baru tahu Hiu memiliki tulang belakang seperti manusia.

Dua tentara pemegang golok mulai bergerak. Satu memotong dari sirip, satu memotong dari tulang punggung.

BLAAS!!

"Sial!"
Pekik kami serentak berdiri mundur, menghindari darah serta isi perut hiu berwarna kehitaman bertumpahan menghantam lantai tepat ketika kulitnya terlepas.

"Uh...uk Asta...ga!"
Aku terbatuk mual.
"Bau sekali i...si perutnya!"

Semua menyusul mengeluarkan suara mual terbatuk sama sepertiku terkecuali Regi yang hanya mencubiti tenang pucuk hidungnya.

Namun ia pun tak terlihat paling beruntung juga dari yang lain karena termasuk terkena cipratan darah hiu yang paling banyak sama seperti tentara pemegang golok tepat didepannya.

Dan darah hiu itupun juga menyiprat ke tangan dan kausku.

"Nah, isi perutnya itu yang harus disingkirkan."
Lanjutnya.
"Dan kalian lihat daging merah tua yang menempel dibagian dalam buntutnya? Itu ototnya dan itu juga harus dibuang karena bisa menciptakan rasa pahit ketika dimasak."

"Siap Boss!"
Sahut tentara pemegang golok sebelum melakukan tugasnya.

.

.

.

.

.

.

.

Butuh waktu dua jam lebih serta tenaga sepuluh orang untuk memotong habis daging hiu, diawali dengan membersihkan isi perutnya, menguliti sisiknya lalu memisahkan bagian kepalanya.

Aku terduduk menyender di pinggiran kapal mengabaikan udara yang mulai menghangat, sambil mengepal-ngepalkan jari tangan yang terasa pegal menontoni para tentara yang mondar mandir memindahkan daging.

Aku terlalu malas untuk berpindah.

Hugo dan Kadet Silvia membawa kedalam dua kantung plastik tebal berisi tumpukan gigi hiu yang sebelumnya kami congkel bersama.

Dan beberapa tentara lain mulai membawa keluar selang, ember serta sikat untuk membersihkan jejak darah yang menempel di lantai geladak.

"Semoga mereka yang dibagian dapur bisa memasaknya dengan benar deh."
Gerutuku sambil membaui kaus.
"Astaga bau kita benar-benar seperti habis menginap semalaman dipasar ikan!"

"Ya sudah pergi mandi saja."
Sahut Regi singkat. Setengah wajahnya masih tertutupi handuk putih yang ia ikatkan kebelakang kepala untuk mengurangi bau amis selama memotong daging barusan.
"Sudah kau buang semua?"
Tolehnya membelakangiku menghadap Vincent yang datang menenteng dua ember ditangannya.

Vincent mengangguk. Ia sebelumnya mendapat bagian membuang isi perut dan otot yang menurut Regi terasa pahit ke laut.

"Kerja bagus."
Regi memberinya tepukan ringan dibahu.
"Dan untuk kita nanti adalah bagian siripnya,"
Tunjuknya pada dua tentara yang lewat menentengi kotak baki berisi tumpukan sirip.
"Itu yang paling enak dan lembut! Kau ingat tidak dulu oleh-oleh sup hiu dari temannya ayah?"

Aku seketika menggeleng.

"Ah kau lupa, mungkin karena masih kecil. Hei, tolong pisahkan sirip itu untuk kami ya."
Sebut Regi langsung.

"Oke Boss!"
Sahut para tentara serentak.

Boss.

Lima kali sudah aku mendengar mereka menyebutnya begitu.

Dan membuatku jadi tak nyaman.

Aku meneliti kesekeliling.

Untung Archibald sudah tak disini!

"Isi perutnya banyak juga, dia dalam keadaan sangat kenyang ketika kutombak-- kau bengongin apa sih?"

"Tidak-"
Jelasku murung.
"Cuma memperhatikan, mereka semua ini malah jadi mengagumimu."

"Terus? Nada kau bicara seakan itu hal yang negatif-"

Aku beranjak dari duduk, menarik lengannya sehingga kami berdua berdiri dipinggiran pegangan, berbicara rahasia menghadap laut.

"Aku berterima kasih kak untuk hiu ini, kau hebat sekali-- tapi tidakkah kau menyadari terlalu menarik perhatian-"

"Oh itu yang kau khawatirkan."
Balasnya ringan.
"Tak perlu kau khawatir itu Luce. Toh kita sekarang sudah berlayar di wilayah laut filipina. Dan tak ada yang mencari kita. Paling sudah dianggap mati juga oleh semua yang kita kenal ditempat dulu."

"Yya aku tahu!"
Cetusku berusaha mengabaikan rasa ngilu singkat yang muncul teringat mereka yang kutinggalkan di belakang.
"Maksudku, kau tahu kan keadaan antar tentara disini agak aneh- maksudku jangan sampai-"
Aku mengambil jeda.
"Jangan sampai kita jadi membuat kubu baru-"

"Oh hayolah Lucy, pikiranmu terlalu jauh-"

Aku tetap menekankan.
"Komander Pride sudah baik sama kita, jadi setidaknya kita harus mendukungnya dalam keadaan ini-"

"Kau tak perlu khawatir tentang itu Luce!"
Potongnya dengan nada agak meninggi. "Lagipula alasan utamaku adalah agar kita mendapat respek. Takkan kubiarkan ada yang membuli diriku terlebih dirimu."
Ia menoleh sekilas kebelakang.
"Tak ingat perlakuan Delhart padamu? Itu bisa terjadi lagi jika kita tak mengunjukkan diri!"

"Iya oke Reg, aku cuma tak mau--GEEEZ!"

Kami sama-sama menunduk terkejut ketika ada dua heli yang lewat rendah sekali diatas kami.

"Astaga apa-apaan!"
Gerutu kami dengan kepala menoleh mengikuti arah terbang heli.

Dan jantungku pun melorot ke perut.

Dua heli itu mendekati helipad pendaratan yang berada diatap atas.

"Itu Delhart?"
Toleh Regi.

"Bu...kan rasanya, dia kemarin datang dengan kapal kok bukan heli."

Mustahil juga jika itu Kapten Ryan.

Karena Komander sudah berkeputusan untuk menyembunyikan keberadaan kami disini.

Terkecuali jika dia plin-plan.

"Err-kita masuk saja yuk kedalam!"
Ajakku.
"Kita istirahat-VINCENT!"
Pekikku seketika melihatnya pergi melewati kami mengikuti pergerakan tentara lain yang maju penasaran.

Akupun jadi maju mengejarnya.

Tepat aku berhasil menangkap punggung kausnya, pintu heli yang sudah mendarat diam pun terbuka.

Terlihat dari bawah sini, seorang pria muda berambut pirang terang keluar dari dalamnya, diikuti oleh seseorang perempuan yang memegang mik dan seorang pria lain dibelakangnya lagi memegang sebuah kamera.

Regi menyusul disamping.

"Siapa mereka?"

Aku menggeleng.
"Entahlah."

Pria pirang berjaket kulit hitam itu terlihat seru sekali berjalan sambil terus berbicara pada dua orang yang terlihat seperti kru tv.

Mendekati pegangan tangga turun, langkahnya kembali terhenti dengan pandangannya jatuh kearah kami.

Regi yang menyadari pandangan intensnya pun jadi menoleh heran padaku.

Bibir bawah pria pirang itu bergetar.

"Oh my God!"
Teriaknya dilanjuti berlari gaduh menuruni tangga.

Terdengar riuh gumam-gumaman heran, sedangkan aku saking herannya hanya ternganga diam ditempat menyaksikannya berlari semakin mendekat membelah kerumunan tentara didepan kami.

Aku masih berpikir kehebohannya bukan ditujukan pada kami namun hentakan langkahnya baru terhenti tepat sampai di hadapannya Vincent.

Ia memandang tragis pada si pria pod.

"C..cousin?"

Aku mengerjap.

Hah? Sepupu katanya?

"ASTAGA SEPUPUKUU!"
Pekiknya menabraki Vincent memberinya pelukan erat.

Aku melongo.

Vincent sepupu-

Aku balik memperhatikan heli yang mendarat itu kemudian memplototi tulisan tertera dibadannya.

MALSTRÖM GROUP
SWEDEN

-Vincent--Kassius--Malström?

Aku menyusun namanya dalam hati sambil menggaruk kepala.

Dan kegiatan menggaruk kepala terhenti ketika melihat pria pirang itu sekarang menatap Regi, lalu padaku.

Bibirnya kembali bergetar.

"Sobat?"

Lah kenapa dia panggil Regi-

"SOBATKUU!"
Hebohnya lanjut melompat memeluk Regi yang hanya mematung di tempat.

Aku menganga pada kakakku yang setengah wajahnya kebawah masih ditutupi handuk memperlihatkan matanya yang bergerak-gerak penuh kebingungan.

Pria pirang itu sempat terdengar berbisik-bisik kepada Regi sebelum melanjutkan,

"Iya Bro sama, aku juga merindukanmu!"
Ocehnya seakan menyahuti Regi sambil mendengusi ingus.

Akhirnya ia melepas pelukannya, lanjut menoleh padaku.

"Dan adiknya ini, astaga kau sudah besar sekarang!"

"EH-"

Bukh!

Pelukannya lanjut jatuh padaku.

Mataku seketika berair.

Bukan karena terharu, tapi wangi parfum pria ini yang terasa 'pedas' sekali menyengat hidung.

Oh ampun!

Aku sudah hampir terbatuk sesak ketika ia membisik ditelinga kananku.

"And what's your name?"

"Ehek--Luucy--li--an-"

"Pierre! Pierre!"
Potong perempuan pemegang mikropon sudah berdiri dibelakang pria pirang itu.
"Bisa kau ceritakan pada kami semua, siapa mereka?"

Ia melepaskan rangkulan mematikannya, berbicara pedih ke arah kamera.

"Kupikir mereka tidak selamat! Sudah dua minggu lebih ini aku tersiksa mengkhawatirkan mereka!"
Ia menyeka mata.
"Mereka ini sepupuku dan sahabatku masa kecil, beserta adiknya!"
Tangan kanannya terangkat mengayun.
"Mom! Dad! Sophia! Mereka selamat!"

Aku merasa ketakutan sekarang.

Kegilaan apa lagi ini?

Sosok wanita tinggi pirang cantik dengan jaket bulu putih datang menembus antara kerumunan dan tersenyum sumringah.

"Mom! Dad belum turun? Apa kau ingat si kecil Lucian?"

"Tentu saja!"
Sambut wanita itu sama tak segannya langsung memeluk, mengabaikan pakaian serta tanganku yang masih ada darah amis hiu.
"Dad masih didalam heli, oh betapa cepat waktu berlalu ya Lucian!"
Sambungnya masih sambil memelukku.

"Hei Lucian!"

Gadis anggun berambut coklat-stroberi gelombang menyusup diantara keramaian menggandeng erat lenganku.
"Lama tidak bertemu! kangen sekali!"

Aku jadi tak bisa bergerak sekarang.

"Sophia pacarku ini, juga memang dekat sekali dengan Lucian! Mereka bagai kakak adik!"
Tambah si pirang Pierre penuh kebanggaan.

"Komander Pride! terima kasih bantuannya! Kau sungguh pemimpin hebat!"
Tandasnya sambil memandang ke anjungan atas.

Dan Komander ternyata memang berada diatas sana. Ia hanya memberi sekali anggukan pada Pierre namun aku bisa melihat setitik keheranan diwajahnya.

Kru perempuan dekat Pierre lanjut berbicara antusias menghadap kamera.

"Pemirsa! Setelah penuh perjuangan, keluarga billionaire Malström berhasil menemukan keluarga kandung yang sudah lama hilang! Satu misi telah dituntaskan. Dapatkah sang anak tunggal, Pierre Malström bersama tim melakukan misi utamanya yaitu menggagalkan hari kiamat dunia? Saksikan perjuangannya terus di TV Nine. Langsung dari geladak Kapal Militer Aegis, saya Rosa Park mengundurkan diri."

Continue Reading

You'll Also Like

11.2K 183 12
Saya ganti akun lanjutin cerita nya disini aja
23.9K 2.3K 16
if you don't like it, skip it INI FIKSI JANGAN DIBAWA KE REAL LIFE. Ga pandai buat deks jdi baca aja ya..
Jimin Or Jimmy By arzy

Science Fiction

516K 2.9K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
397K 30K 23
[ BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Adrea tidak percaya dengan yang namanya transmigrasi. Mungkin didalam novel itu wajar. Tapi bagai...