RED CITY : ANNIHILATION

Autorstwa MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... Więcej

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Resolute

13.7K 2.3K 419
Autorstwa MilenaReds

Aku sempat terdiam lima detik penuh sebelum akhirnya mampu menyahut.
"Kami diterima bergabung, Sir?--"

"Ya, tidakkah cukup jelas pernyataanku tadi?"

"I..ya tentu jelas, Sir."

Walau diterima,

tapi sungguh aku tak merasakan kelegaan sama sekali.

"Ka..lau begitu, Terima kasih banyak Ko..mander Pride-"
Sebutku kaku.
"Dan apa tugas serta ketentuannya?--"

Ketentuan dalam arti syarat.

Aku memang belum mengenal sehingga belum tahu apakah ia sungguh baik atau tidak.

Lagipula terlalu mustahil rasanya ia memberi bantuan yang ada 'resiko'nya secara cuma-cuma seperti ini.

Untuk pertanyaan tugas, walau aku bilang punya pengalaman menembak, tapi nyatanya aku bukanlah tentara.

Yeah,

Dan rasanya, takkan apa jika masuk bagian tim bersih-bersih kapal.

Hahah!

Tak menyangka prospek untuk menjadi tukang pel akan menggiurkan bagiku sekarang.

Setidaknya, itulah tugas yang takkan menarik perhatian.

"Tugas bagian pembersih--"

Aku terhenti, menyadari dahi Komander Pride sekarang yang mengkerut.

Pandangannya berlalu ke belakangku.

"Dia.. Apa dia sudah mulai berbicara?"

Otomatis kepalaku menoleh sekilas kebelakang.

Oh i..ya!

"Eng-"
Pandanganku jadi berpindah-pindah ke Komander lalu ke Vincent.

Aku sungguh lupa tentang dirinya!

"Belum Sir, belum ada bicara sama sekali-"

"Hei! Kau bisu atau apa?!-"
Potongnya tiba-tiba, mendesak.
"Katakan sesuatu!"

Aku balik menoleh pada Vincent.

Dia memang pernah mengeluarkan suara.

Tapi suara sesak meminta tolong ketika tak bisa bernapas kemarin hari.

Ketika baru keluar dari peti pembeku..

"Hei, a..yo-"
Bujukku pelan, sambil coba menggosok lengannya dengan setitik kengerian.
"Jawab saja,"

Ia hanya diam memandangku.

"Ayo, tak apa-apa."
Aku tersenyum tipis.
"Vincent."

Wajahnya yang mengeras kaku, berhasil merileks.

Ia berkedip sekali lagi sebelum mulutnya membuka.

"Ya,"
Pandangannya akhirnya bergeser dariku ke depan.

"Sir. Ya, saya bisa bicara."

Komander Pride membuang napas panjang lega.

Sedangkan aku, sekarang gantian tercengang memandang Vincent setelah mendengar suara normalnya pertama kali.

Suaranya terdengar tenang, terkontrol.

Atau bisa dibilang bagus.

Mengingatkanku pada suara yang dimiliki oleh pria pembawa acara berita di channel tv asing yang suka kutonton.

Pipiku berkedut, menahan sembur tawa geli.

Good God,

Moodku berubah-ubah seperti ini.

Apa aku mulai terkena bipolar?

"Bagus kau bisa bicara. Kupikir kau orang bermental terbelakang atau bagaimana-"

Aku jadi mengerenyit tak nyaman mendengar ucapannya.

"--aku membutuhkan orang sehat untuk melakukan segala tugas."
Kepala Komander Pride sedikit tertunduk, telunjuknya mengetuk-ngetuk dengan keras ke meja.
Terlihat seperti sedang memperingati dirinya sendiri.
"Karena kapal ini takkan sekedar siaga lagi!"

Wajahnya pun berubah tambah serius ketika menatap kami.
"Tiga belas hari bukan semenjak wabah ini terjadi, sekiranya dinegara ini?"

Aku mengangguk.

"--tentu berbeda ditiap negara kapan wabah ini terjadi."
Lanjutnya.
"Kapal Aegis ini, sedang mengadakan latihan militer gabungan dengan negara ASEAN tepat ketika wabah melanda dan belum ada pergi dari sini semenjak itu."

"Belum ada pergi?"
Alisku terangkat.
"Aegis berarti ikut membantu negaraku menghadapi-"

"Tidak."
Ia akhirnya berdiri dari kursi kerjanya.
"Kami hanya terus berlayar disekitaran perairan negara kalian."

Aku membelalak terkejut.

"Tunggu! jadi--"

Komandan Pride bergerak mendekati jendela dimana Aku dan Vincent berdiri, membawa juga jaket hitam militer regi digenggamannya.

"Kru Aegis belum--"

"Ya, benar. Bisa dibilang kami masih buta dalam kasus wabah ini."

"Tapi Sir, kau tadi sebut kapal siaga-"

"Hanya siaga, dan aku tak mengambil keputusan karena belum mengerti sepenuhnya tentang wabah ini."

Butuh usaha besar agar tak menganga mendengar pernyataannya.

Karena bagaimana bisa, sebagian sudah mengalami hal banyak yang tak masuk diakal termasuk diriku, lalu sebagian lainnya belum mengalami apapun bahkan cenderung tak tahu sama sekali tentang kanibal itu.

"Rasanya.. jadi mengerti mengapa kemarin yang selamat banyaknya diungsikan ke tengah laut."
Komentarku menatap kosong jaket Regi ditangannya.
"Disini aman ternyata. Di laut."

"Untuk sementara aman,"
Nadanya mengoreksi.

"Keamanan yang sementara. Enam bulan lagi mungkin semua akan mulai saling bunuh-membunuh didalam Kapal penampung."

Aku mengangkat sebelah alis.
"Maaf Sir?"

"Berita terakhir sejam lalu jumlah perkiraan manusia yang terinfeksi sudah hampir mencapai satu milyar penduduk."

Saking terkejutnya, jantungku bukan berdetak cepat lagi.
Namun berhenti berdetak.

"Hampir satu mil..yar?

"Dan semakin meningkat selama kita berbicara sekarang."

Aku terhenyak.

Hidup dengan damai sepertinya hanya akan jadi mimpi.

"Keberadaan kanibal itu mengganggu semua sektor kehidupan terutama tempat penghasil stok pangan, obat-obatan--dan stok persenjataan, korban terbanyak di negara yang tak punya persediaan senjata pada masyarakatnya."

"Tentu Sir."
Sahutku teringat keadaan kemarin.
"Masalahnya sebagian kanibal itu memang tak bisa dihadapi dengan senapan biasa. Apalagi tanpa senjata sama sekali."

Sungguh benar sebuah privilese diriku kemarin mendapat bantuan penyelamatan khusus.

"Dan kau termasuk sekiranya punya pengalaman lebih untuk dapat membantu, bukan?"

Aku tak mampu menyahut.

Hanya ada jumlah hampir milyar kanibal itu diotakku.

Mendadak, Komander maju mengulurkan jaket hitam itu ketanganku.
"Kusarankan kalian cepat segera melupakan sebagian dari identitas lama kalian."

"Sebagian identitas-"

"Ya, apa kalian punya keluarga lain?"

"Ti..dak, Sir."

"Bagus, semua berarti jadi lebih mudah. Kalian hanya perlu melupakan semua kawan yang kalian kenal. Ubah sedikit sejarah hidup kalian-"

"Me..lupakan-"
Aku mengulang seperti robot rusak.
"Yang kami kenal?"

Ia berdecak tak sabar.
"Bukankah kau sendiri menyebut sebelumnya ada yang mengincar ingin membunuh kalian?"

Aku berjengit.
"I..ya memang-"

"Berarti itu yang terbaik untuk dilakukan."
Komander Pride menarik napas dalam, seakan bersiap untuk menjelaskan hal yang susah dimengerti.

"Mulai besok, mungkin kalian akan dianggap sudah... mati. Pencarian akan dihentikan, dan itu bagus. Sangat bagus. Sangat membuka jalan kalian untuk memulai hidup baru. Lupakan semua yang kalian kenal. Seperti Kapten Ryan-"
Ia menekankan.
"Kalian harus melupakannya."

Aku berkedip.

Melupakan.

"Masa yang terdahulu sudah tak penting lagi. Anggap sebagai bonus. Kalian bebas menjadi pribadi baru yang berfokus pada kapal ini."

Jika perasaanku tak sesesak ini, rasanya aku akan tertawa terbahak-bahak.

Bonus, katanya.

Jika seandainya bisa segampang itu.

"Aku juga ingin kau mengingat betul betapa pentingnya dalam menahan lisan kita masing-masing tentang kejadian kemarin, kecuali dalam keadaan yang diperlukan-"

Ironis jika aku ingat dulu, bagaimana sering berdoa memohon agar bisa bertemu dan berkumpul lagi dengan Regi.

Tapi aku tak tahu kalau permohonan ini akan mengakibatkan kehilangan semua yang kukenal sebagai bayarannya.

"--Loyalitas saja yang kutuntut, sebagai ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan kalian."

Yah,

Seperti yang diketahui.

Ia memang yang menyelamatkan kami,

Dan kami memang tak punya opsi sama sekali.

Jadi aku pun mengangguk, menyetujui resolusinya.

.

.

.

.

.

Para Prajurit banyak yang benar-benar pergi.

Aku bersama Vincent ditemani lagi oleh Kadet Silvia turun kegeladak bawah 'menontoni' mereka yang bersemangat pindah.

Komander Pride sendiri tak ada keluar ruangan. Mungkin ia hanya diam mengamati dari jendela ruangannya, membiarkan saja mereka yang ingin pergi.

Dan sebenarnya, aku tak mengerti semangat heroik angkuh yang terpampang rata-rata diwajah mereka.

Apalagi setelah tahu pengetahuan mereka yang minim tentang kanibal itu.

Tapi semoga saja Komander Delhart bisa memberi mereka pengarahan.

Semoga.

Karena sungguh sudah tak lagi membutuhkan stok kanibal baru, terlebih tipe sekuat tentara yang mesti harus dilawan.

.

.

.

Dan butuh waktu yang cukup lama untuk kegiatan pindahannya selesai.

Hingga akhirnya sekarang aku berada di ruang loker para tentara dilantai tiga kapal, tepat disebelah ruangan gym.

Aku bahkan baru tahu fasilitas semacam itu ada di sebuah kapal perang.

Ruangan Loker ditinggalkan dengan tidak rapi. Semua pintu lemarinya terbuka, terdapat jejak sampah seperti batang rokok, kertas, tumpahan isi roti lapis, handuk baru dan bekas juga ada tercecer dilantai atau tergeletak begitu saja diatas kursi duduk kayu panjang didepan lemari lokernya.

Aku sudah tak tahu berapa lama sekiranya berusaha membersihkan ruangan loker ini, tapi rasanya sampah terus saja bermunculan.

Tapi aku tak mengeluh, ada bagusnya banyak bergerak ketika sedang mumet seperti ini.

Aku sambil membersihkan, terus membuat list catatan dalam otak. Hal sekira terpenting yang kudapat dari pembicaraan sebelumnya.

Terlebih ucapan tambahannya khusus padaku sebelum keluar dari pintu.

Jangan menyebut lagi tentang kepala terpenggal-

Ampun.

Memegang rahasia ini, seperti memegang bom waktu.

Bom waktu yang bisa meledak kapanpun.

Dan ia juga memerintahkanku untuk ikut mengawasi Vincent.

Hei..

Mataku seketika menyisiri sekeliling.

Dimana dia?

Aku memang dapat tugas bersihkan loker bersamanya.

Kumatikan sementara mesin penyedot debu karpet ditanganku.

"Vincent?"

Suaraku menggema di sepanjang ruangan.

"Vincent?"

Tetap tak ada jawaban.

Sial.

Kujatuhkan gagang penyedot debunya bagai batu.

Kakiku bergerak otomatis membawa diri cepat ke sisi ruang loker selanjutnya yang belum dibersihkan.

Dan, gelembung panikku pun mengempis.

Karena tenyata dia ada disitu. Duduk berselonjor dilantai dengan punggung bersenderan dipintu lokernya.

Aku menghembuskan napas panjang.

"Nyahut doong kalau dipanggil!"

Ia pun mendongak.

Mata coklatnya membulat melihatku bergegas mendekatinya.

"Kau kenapa sih!"
Aku mengambil duduk bersila diseberangnya menghentak gusar.

"Nanti akan sulit jika kau terus bermain bisu seperti ini!"

Entah reaksinya yang terlalu reaktif atau memang sentakanku juga yang kencang hingga membuatnya berjengit mundur membentur keras pintu loker dibelakangnya.

"Eng--"
Aku mengerjap tersadar.
"Tak maksud--Vincent, aku tak--"

Terhenti, aku mengembuskan napas panjang dari mulut. Mengingat, belum ada sehari penuh juga dia keluar dari kurungan itu.

Pundaknya membungkuk, tangannya memeluki dengkul kakinya sebelum balik mengamatiku.

Merasa tak enak, aku berpura-pura fokus melihat tumpukan barang 'pulungan' dilantai sebelahnya.

"Barang apa saja yang kau dapat?"
Tanganku mengulur, mengambil kotak hijau tumpukan teratas dan membukanya.

Kadet Silvia sebelumnya memperbolehkan jika kami mengambil barang ditinggalkan yang masih layak dan sisanya dibuang.

Aku pun juga menemukan beberapa barang sisa yang bagus kutinggalkan diruangan sebelah.

"Ya ampun kamera Polaroid!"
Aku mengumumkan.
"Kau beruntung sekali! Ada baterai dan dua rol fotonya juga dikotaknya!"

Kututup kembali kotak itu dan menyisiri benda lain disebelahnya.
"Kau ada nemu laptop tidak? Kali saja-"

"Lucy."

Aku seketika jadi memandangnya.

"Y...ya?"

"Kenapa a...ku tak bisa mengingat apapun?"

Wajahku membeku.

"Apa... kau tahu siapa diriku?"

.

.

Aku gantian yang membisu sekarang.

Tak tahu mau menjawab apa.

"Namaku, Vincent Kassius."
Ia menyebut sendiri.

Nadanya, antara pertanyaan dan pernyataan.

"Ya, itu memang namamu yang kulihat di... di--"

Aku tak mampu melanjutkan.

Lagipula bagaimana cara menjawabnya?

Aku saja sendiri masih tidak mengerti.

"Tentang kanibal tadi, sebetulnya apa?"

Sungguh aku merasa lega mendengar pertanyaannya yang lain.

"Dunia sekarang sedang terkena wabah penyakit,"
Kuberusaha menjelaskan sambil menggaruk telinga.
"Jika semisal aku terkena, aku akan berubah buas tak terkendali, membunuh manusia manapun untuk kumakan--"

Ia terlihat lebih bingung dari sebelumnya.

"A...ku masih tidak mengerti-"

"Oi kalian!-"
Archibald memanggil membuat kami menoleh kompak.

Ia berdiri menunggu di ujung loker tempat arah aku juga datang tadi.

"Kalian boleh beristirahat, akan kuantar balik ke kamar-"
Matanya melirik arloji ditangan kanannya.
"Sudah hampir jam sepuluh malam."

Aku balik bertatapan dengan Vincent.

Lama juga kami telah bersih-bersih sampai hampir tiga jam.

"Ayo cepat,"
Sebutnya lagi.
"Aku masih ada kerjaan lain nih!"

.

.

.

.

Archibald memberitahu arah dua belokan koridor terakhir yang harus dilalui sebelum berbalik meninggalkan kami.

Akupun mengulang sendiri.
"Hanya butuh belok kiri dua kali lagi kan ya?"

Vincent disebelahku tak menyahut.
Ia terus berjalan melangkah dengan satu tangan kanannya memegang bungkusan barang temuan di loker sebelumnya, dan tangan kirinya memegangi kepalanya.

Dan sekarang rasanya jadi menyesal karena telah menceritakan wabah itu padanya.

Apa aku terlalu cepat memberitahunya?

Menuju kelokan kiri terakhir, jalannya semakin melambat. Sampai aku jadi menariki lengannya.

Ia terlihat seperti mengalami sakit kepala.

"Vin..cent?"
Tanyaku sambil memandang matanya yang terpejam.

Ia menjatuhkan bungkusannya.

"Vincent-"
Sebutku mulai agak panik.

Jarak kamar hanya beberapa langkah lagi.

Aku menariknya segera.

"Kau ta..han dulu sebentar lagi sampai dan kau bisa tidur di kamar--"

Ia menjambaki rambutnya.
"Aku.. tak bisa ingat--"

Bugh!

Oh demi Tuhan!

Ia membenturkan punggungnya sendiri kencang ketembok.

Dan yakin sekali ia selanjutnya membenturkan kepalanya.

"Stop! stop! kau tenang dulu!"
Aku berusaha menarik tangannya yang menutupi wajahnya.
"Tidak apa-apa jika kau tak ingat sekarang!"

Ia menggeram.
"Ke..napa aku tak bisa ingat-"

Aku berhasil menariknya menjauh dari tembok. Dan seketika, pintu dibelakang Vincent membuka.

"Ap--MINGGIR KAU!!"

Debagh!

Aku membelalak melihat Vincent terhempas membentur lantai.

"Geez!"
Pekikku buru-buru berlutut sambil menatap galak satu-satunya pelaku pelempar Vincent.

Dan aku melihat... Regi.

"Ampun deh Regi!"
Aku memekik.
"Kenapa kau membantingnya!"

"Ap...pa?"

"Vincent!"
Aku menepuki wajahnya.
"Hei! Kau tak apakan?"

"Bukannya dia tadi menyerangmu-"

"DIA TAK MENYERANGKU!"
Teriakku keras sampai rasanya urat kepalaku akan putus.
"Bantu aku memapahnya, cepat!"

Regipun ikut berjongkok. Membantuku memapah Vincent masuk ke kamar lalu meletakkannya perlahan ke atas tempat tidur.

Kami pun bergerak mundur memandangnya.

Untungnya Vincent tak apa. Ia terlihat mengerjap dengan mata yang masih sama bingung dan tersiksa.

"Kenapa kau membantingnya!"

"Sudah kubilang kupikir dia menyerangmu!"

Aku menggeleng gusar dan balik lari keluar dari kamar.

Ketika aku memungut bungkusan bawaan kami yang tergeletak dilantai, suara Regi kembali terdengar dibelakang.

"Setelah sadar kembali aku diperbolehkan untuk keluar--sepertinya mereka memberi kamar kita yang bersebelahan."

Aku tetap diam mengabaikannya.

"Dan aku ingin segera bicara tentang apa yang terjadi sebelumnya. Tapi tanpa Vincent itu. Kita tak mengenalnya--"

Aku mendadak berbalik melotot.

"Kau tak usah sok suci bicara curiga-curigaan gitu Reg! Kau belum tentu lebih benar darinya!"

Regi jadi terdiam.

Dan akupun sama terdiamnya.

"Apa maksudmu?"

Aku buru-buru membalikkan badan lagi, berpura seakan pengikat bungkusan barangnya terbuka.

Sial.. kenapa aku menyeplos--

"A..pa maksudmu Luce? karena sungguh aku tak mengingat kejadiannya dengan jelas--"

"Apa yang terakhir kau ingat?"
Potongku sambil menyeret kedua barangku dan Vincent.
"Tak perlu dibantu!"
Desisku menepak tangannya yang ingin mengambili salah satu bungkusannya.

Ia berjalan mengikuti dibelakang.

"Seperti yang kubilang sebelumnya, aku hanya ingat ketika kau pingsan..dan aku--"

"Lalu kau pergi meninggalkanku Reg-"
Sebutku sambil menggeletakkan barangnya disamping meja dekat pintu.
"Kau janji dan tapi kau pergi lagi begitu saja!"

Regi mengerjap.
"Aku pergi-"

Badanku berbalik dengan gusar.

"Aku mengejarmu walau telat setengah jam masuk kedalam kapal--"

"Kapal?"

Rahangku menegang.

Jangan sebut apapun.

"Kapal kosong Regi, tak tahu kapal apa itu!"

Kepala Davian yang putus..

Aku tertunduk.

Tanganku mengepal disisi badan.

"Kupikir kau mati saat itu Reg! tega sekali kau!"

Mataku mulai berair.

Dan aku segera berbalik.

Berusaha menyibukkan diri dengan menarik kursi ketengah ruangan.

"Untung orang kapal ini datang dan menolong!"

Regi terdiam membiarkan diriku yang gusar gemetaran menariki dua kursi lain yang tersender ditembok ketengah.

Ia mendekat membantu ketika aku ingin menarik meja kayu ketengah.

Dan kali ini aku tak melarangnya.

.

.

Setelah semua meja dan kursinya tertata, kami mengambil duduk.

Regi mengambil duduk diseberangku, tangannya memanjang rileks dimeja tengah kami.

"Sepertinya kita sekarang jadi bertengkar terus ya--"

"Habis memang kau mengesalkan!"

"Aku tahu,"
Regi memotong pelan.
"Aku minta maaf Lucy,"

Aku menghembuskan napas dan mengangguk.

Ia menoleh, mengecek Vincent yang terbaring di tempat tidur belakangnya.

"Dia tak mengerti bahasa kita kok,"

Regi kembali menatapku.

"Siapa dia?"

"Ia berada di kapal itu juga, pingsan mungkin karena terbentur dan Pride membawanya juga bersama kita,"

"Pride?"

"Komander Tyler Pride, dia pemimpin kapal ini."

Mata Regi menjelajah sekitar.

"Ini kapal Aegis. Sebelumnya sedang mengadakan latihan bersama negara ASEAN ketika wabah menyerang.."
Aku melirik bekas kemerahan diatas lingkar kerah kausnya.

Ia mengenakan kaus dan celana militer biru sama sepertiku.

"Bagaimana lukamu?"

Tangannya otomatis menyentuh dadanya.

"Mulai membaik. Kau tahu apa penyebabnya? Karena aku tak ingat--"

Aku menelan ludah.

"Sepertinya kau kena diserang mutan dikapal itu. Pokoknya aku hanya menemukanmu pingsan setelah sebelumnya aku juga dikejar-kejar sendiri makhluk itu-"

"Kau dikejar sendirian?!"

Aku mengangguk.

"Dan aku selamat juga karena bantuan Marsia."

Tampang Regi seperti baru sadar bahwa memang ada tiga orang yang selamat termasuk dirinya di kecelakaan heli itu.

"Dia--"

"Mati."
Dadaku terasa nyeri ketika melanjutkan.
"Kami bersembunyi di tabung ventilasi atas dan mutan itu muncul menariknya"

"Oh Tuhan,"
Regi menggosoki frustasi sisi kepalanya dengan kedua telapak tangan.

"Eng-- Kapten Ryan juga tadi katanya mencari kita disini-- menurut Komander--"

Ia menurunkan tangannya.

"--Dan aku meminta untuk tak menyebut kita ada disini--"
Aku melipat tanganku keatas meja.
"Komander sekarang menjadikan kita menjadi bagian kru nya--"

"APA?!"

"Mau bagaimana lagi Reg, toh kau juga dicecar, kau lupa?!"

"Ini bukan masalah diriku Luce, bagaimana dengan dirimu-"

"Aku juga takkan kembali, agak aneh bukan jika aku bisa kembali dari kecelakaan heli separah itu--"

"Lucy dengar! Kau harus kembali-

"Reginald,"
Potongku, merasa amat sangat lelah.
"Semua sudah terlambat. Kau begitupun juga aku, takkan bisa kembali, tidak untuk sekarang."

"Tapi Luce-"

"Dan kasihan Kapten, Reg. Dia sudah cukup menderita karena kita kemarin. Mereka tak perlu terseret kesulitan karena kita. Tak ingatkah kau bagaimana nasib akhir dua peneliti diheli akibat ikut bersama kita itu?"

Kakakku masih saja terlihat ingin berdebat.

"Aku hanya tak mau bersikap egois Reg. Dan aku tak sanggup kalau seandainya mereka jadi terluka..terlebih mati karena kita..aku tak bisa--"

Kamipun jadi diam berpandangan.

Sama-sama terlihat lelah, kecewa dan sedih.

"Maafkan aku, Lucy."

Regi, akhirnya mengerti.

Aku kembali mengangguk dan melontarkan topik baru.

Topik yang tak menyiksa pikiran.

"Aku lapar, belum makan malam."

"Oh, Kadet kapal ini tadi memberiku tiga roti sebelumnya untuk makan malam kita. Masih ada dikamarku-"

"Eh roti saja?"

"Kenapa memang?"

Bibirku mengerucut.
"Stok makanan sepertinya menipis. Semoga saja bukan karena diambili oleh mereka yang pindah itu?"

Regi tentu terlihat tak mengerti.

"Sebagian dari Prajurit Kapal ini tadi pergi membawa banyak barang dari kapal ini untuk pindah ke kapal lain. Kapal yang dipunyai Komander Delhart. Orangnya seram tadi aku dibentak-

"Kenapa kau dibentak-"

"Karena aku tadi tak hormat ketika ia datang."

"Hahah."
Regi menyilakan tangannya.
"Jangan lupa tunjuk yang mana orangnya pada kakakmu ini ya jika suatu kali kita bertemu lagi dengannya."

"Kurasa kau akan tahu jika kau melihatnya, orangnya besar seram dan bertato. Apalagi ketika dia gusar padaku dan katanya akan menendangku keluar dari kapal ini jika dia pemimpinnya-"

"Ya akan kutendang dia duluan keluar dari kehidupan ini sebelum sempat melakukannya."

Aku tertawa terkekeh.

"Tapi sungguh tak apa kok. Tak usah dipikirkan. Aku tak apa."

"Kenapa kau jadi mudah tunduk begitu saja?"
Alis Regi terangkat.
"Biasanya kau tipe pemberontak."

"Aku hanya bersyukur saja sudah diterima disini. Dan untuk Delhart kuserahkan pada Komander Pride saja."

"Baiklah,"

Ia mendadak memundurkan kursinya, beranjak berdiri.

"Aku ingin mencari udara diluar sebentar. Sekalian melakukan sesuatu."

Mataku membulat.

"Mau melakukan apa?! Jangan-"

"Tenang saja little sis-"
Ia berjalan semangat menuju pintu.
"Jangan lupa istirahat tidur,"
Tunjuknya sekilas padaku sebelum menarik gagang pintu.
"Sampai jumpa nanti!"

Blam!

Pintupun tertutup.

"Tuhan,"
Gerutuku.
"Kenapa bisa punya kakak sebatu ini ya?"

Batu'an mana dengan dirimu Luce?

Aku mendengus mendengar komentar pikiranku.

Oh ya ampun.

Mataku mendarat pada tempat tidurku yang sudah 'terambil'.

Vincent sudah terlihat terlelap.

Sepertinya, aku akan tidur hanya dengan bersenderan dikursi malam ini.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

4.4M 305K 47
"gue gak akan nyari masalah, kalau bukan dia mulai duluan!"-S *** Apakah kalian percaya perpindahan jiwa? Ya, hal itu yang dialami oleh Safara! Safar...
517K 2.9K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
154K 6.6K 36
"Dia seperti mata kuliah yang diampunya. Rumit!" Kalimat itu cukup untuk Zira menggambarkan seorang Zayn Malik Akbar, tidak ada yang tidak mengenal d...
23.1K 949 23
"Dasar anak manja" Shani Indira Natio Shn dom!