"Nona, Tuan Rayden menunggu Anda."
"Aku ingin sendiri,"
Sudah seminggu Serena memilih untuk pulang ke kediaman Ayahnya, Hadrian. Dia tidak pulang ke kediaman Rayden, salah satu alasannya, Serena hanya ingin menyembuhkan luka di hatinya. Luka yang dia sendiri bingungkan, dia harusnya sudah tidak terlalu merasa sakit mengingat Rayden yang sekarang telah mencintainya, sesuai harapannya.
Tapi, tiap kali mendengar jika masa lalu adalah masa lalu dan masa depan adalah masa depan, hati Serena selalu sakit. Dia membayangkan posisi wanita yang pernah mengandung darah daging suaminya, dia meninggal dengan cara tragis, bahkan sebelumnya pernah keguguran sampai depresi. Jika dirinya menjadi wanita itu, Serena yakin tak akan pernah kuat untuk hidup dan lebih memilih bunuh diri.
Wanita dengan gaun putih tulang itu berjalan menuju balkon kamarnya, dia terdiam melihat langit yang mendung dan perlahan-lahan menurunkan air dari atas sana. Kepalanya mendongak, melihat air hujan yang turun berlomba-lomba. Senyumnya pun terukir, hingga memudar saat menunduk, melihat Rayden di bawah sana yang mendongak menatapnya.
Pria itu berdiri di tengah hujan deras, dia tersenyum ke arah Serena yang berdiri di balkon. Gemericik air yang mengenai kakinya tidak Serena pedulikan, dia mengalihkan pandangan dari Rayden yang tak pernah mengalihkan pandangan dari dirinya. Perlahan, Serena memundurkan langkahnya, dia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu balkon dan menutup diri di dalam selimut.
"Aku tetap sakit, Ray. Maafkan aku yang mungkin kekanak-kanakan bagimu,"
Di luar, Rayden tersenyum miris melihat Serena masuk ke dalam kamar dan meninggalkan balkon. Dia mengusap wajahnya yang terhalang air hujan, "Tidak apa-apa. Cuaca diluar sangat dingin, istriku tidak boleh kedinginan. Istriku memang bagusnya masuk ke dalam kamar," Dia menoleh ke arah ambang pintu utama, di sana berdiri seorang kepala pelayan dengan payung tapi Rayden melarangnya membawakan payung.
"Bi, tidak perlu. Aku tidak apa-apa,"
"Tuan, Anda bisa sakit."
"Saya tidak selemah itu,"
Kepala pelayan akhirnya tetap diam di ambang pintu, dia berharap Rayden mau mengubah keputusannya dan menerima payung. Tapi sampai hujan mulai reda, Rayden tetap pada keputusannya. "Tuan, Anda bisa masuk, Nona tidak akan turun dari kamarnya."
Rayden menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Saya cukup di sini, saya tidak ingin membuat istri saya merasa tidak nyaman."
"Tuan, diluar sangat dingin."
"Tidak apa-apa, Bibi silakan masuk dan kembali bekerja."
Kepala pelayan akhirnya masuk ke dalam, tapi dia kembali keluar dengan membawa nampan juga di bantu pelayan lain membawa payung. Dia mendekati Rayden, "Tuan. Jika Anda tidak ingin masuk, Anda bisa minum teh ini untuk menghangatkan tubuh Anda."
"Terima kasih," teh sudah dibuat, Rayden tak enak menolak. Dia pun meminum teh hangat yang memang menghangatkan tubuhnya.
Semakin lama, langit semakin gelap. Rayden menatap kepala pelayan yang setia di dekatnya, "Bi. Katakan pada istri saya, saya akan kembali setelah menyelesaikan satu masalah."
"Baik, Tuan."
Rayden akhirnya pergi meninggalkan kediaman Hadrian, dari atas tepatnya dari kaca jendela, Serena melihat mobil Rayden yang menjauh. Wanita itu menghela napasnya, dia tidak munafik, dia khawatir melihat Rayden kehujanan dalam waktu yang lama. Tapi Serena belum bisa berdamai dengan hatinya, dia masih ingin menenangkan dirinya.
***
"Tuan, Anda kehujanan?"
Tuan-nya datang dengan pakaian basah kuyup tapi naik mobil, bagaimana bisa kehujanan jika di dalam mobil? Tapi Rayden tidak menjawab pertanyaan asisten Eros padanya. "Eros, urus pengalihan pemegang saham. Aku akan mundur dari jabatanku, hari ini Charles pulang kan?"
"Benar, Tuan."
"Urus semuanya, aku mandi sebentar."
"Baik, Tuan."
Rayden mengangguk, dia masuk ke kamar mandi di ruang kerjanya, dia lebih memilih mandi air dingin alih-alih air hangat padahal tubuhnya kedinginan karena kehujanan tadi. Setelah cukup lama membersihkan diri, Rayden keluar dari ruangannya dengan tubuh yang lebih baik. Pria itu duduk di kursi kebesarannya, dia tersenyum kecil melihat ruangan ini yang tidak akan menjadi ruangannya lagi.
"Mam, masa balas dendamku sudah usai. Izinkan aku membahagiakan istriku mulai sekarang, dia satu-satunya alasan untuk aku bertahan sekarang. Aku sangat mencintainya," Rayden menatap foto Ibu kandungnya, pria itu mengusap dan mengecup figur foto bertepatan dengan pintu ruangannya yang terbuka.
"Rayden,"
Dia menoleh, "Kau tiba lebih cepat, Charles."
Pria tampan yang lebih tua beberapa tahun dari Rayden itu mendekat, dia duduk di depan Rayden. "Untuk apa kau mundur? Kau tahu, aku tidak tertarik dengan perusahaan ini."
Perebutan kekuasaan memang terjadi antara Rayden dan Camille saja, anak-anak Camille sendiri cenderung malas mengurus perusahaan keluarganya. "Aku akan tetap mundur, kau harus menjadi pimpinan perusahaan ini, Charles."
"Ray, hidupku tidak akan bebas jika mengurus perusahaan ini."
"Itu urusanmu sebagai anak pertama,"
"Ck! Kau akan bekerja di mana setelah berhenti dari jabatanmu?"
"Aku dosen kalau kau lupa,"
"Baiklah Prof Rayden,"
Rayden terkekeh, dia memiliki hubungan yang baik dengan Charles semenjak hubungannya dengan Camille membaik. Charles berdiri, pria itu menepuk bahu Rayden. "Aku tahu, kau tidak sejahat itu tanpa alasan. Lakukan apa yang ingin kau lakukan, perusahaan aman di tanganku."
"Ya,"
"Aku pergi, pelantikan dilakukan besok kan?"
"Benar, hari ini, aku akan menyelesaikan semua pekerjaanku."
"Jangan terlalu dipaksakan,"
Sepeninggalan Charles, Rayden mulai sibuk dengan banyaknya pekerjaan. Dia melewati sarapan, makan siang, bahkan makan malam. Sudah berkali-kali asisten Eros datang membawakan makanan untuk Tuannya tapi tidak ada satu pun yang Tuannya makan, "Tuan. Perut Anda tidak bisa kosong,"
"Bisa, manusia bisa bertahan hidup tanpa makan dan minum selama tiga hari."
"Ini beda kasus, Tuan."
"Sudahlah, aku harus menyelesaikan pekerjaanku agar cepat lepas."
"Baik, Tuan."
Pada pukul 2 dini hari, Rayden menyelesaikan pekerjaannya. Pria itu menatap foto Ibu kandungnya sembari tersenyum, "Mulai hari ini. Aku akan kembali berjuang mendapatkan hati istriku, doakan aku, Mam."
Pria itu pergi meninggalkan perusahaan dengan mengendarai mobilnya sendiri menuju kediaman Hadrian, dia tahu, Hadrian masih berada di Jerman dan Rayden tak berani masuk, dia hanya berdiri di depan balkon kamar Serena. Memerhatikan lampu kamar Serena yang ternyata masih menyala, "Kamu belum tidur, sayang? Maafkan aku," dia bergumam dengan tatapan lurus ke arah balkon kamar istrinya.
"Kesalahanku di masa lalu sangat fatal, andai aku bisa mengulang, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menjauhkan alasan yang bisa membuatmu sakit, tapi masa lalu tidak bisa lagi diubah, maafkan aku. Kau pantas membenciku," Rayden tidak langsung meninggalkan kediaman Hadrian, dia berdiri cukup lama seorang diri di sana.
Sampai menjelang pagi, Rayden pergi untuk membeli sarapan. Dia menitipkan sarapan pada kepala pelayan untuk Serena, setelahnya, Rayden kembali ke perusahaan untuk hadir dalam pelantikan Presiden Direktur yang baru yaitu Charles.
***
Spam koment yaa!!!