"Prof, jadwal rapat di majukan. Saya datang untuk memberi tahu Anda,"
Rayden mengangguk, "Saya akan segera ke sana. Anda bisa pergi lebih dulu dan terima kasih untuk informasinya,"
"Sama-sama, kalau begitu, saya permisi, Prof."
"Ya,"
Setelah di rasa aman, Serena di bantu Rayden keluar dari persembunyiannya. Gadis itu menatap sekitar, "Fyuh. Aman,"
Dan Rayden menggeleng pelan melihatnya, "Kamu itu mahasiswi aku di sini. Harusnya tidak perlu sembunyi, tinggal bilang jika ada urusan kelas yang harus kita bicarakan."
"Benar juga, hehe. Aku panik jadi tidak bisa berpikir,"
"Kalau begitu, aku harus pergi. Ada rapat,"
Serena mengangguk, "Aku juga akan pergi, aku duluan ya! Hubby belakangan!"
"Iya, hati-hati."
"Bye Dosenku suamiku!"
Serena mengecup pipi Rayden di balas kecupan di keningnya, setelah itu, Serena pun berjalan riang keluar ruangan Rayden. "Astaga!" Gadis itu terperanjat kaget saat baru keluar dari pintu, dia malah bertemu dengan Jenna dan Iviana. "Kalian kenapa di sini?"
"Kami penasaran, kamu ngapain di dalam sana?"
Serena mengingat ucapan Rayden tentang dirinya yang mahasiswi dan Rayden adalah Dosen, "Membicarakan tentang mata kuliah dong tentunya."
"Oh iya juga, Prof Rayden enggak mungkin panggil kamu kalau hanya untuk urusan tidak penting. Apalagi kan, kamu lumayan lama tidak masuk karena kecelakaan itu."
"Nah itu,"
Padahal, Rayden memang memanggilnya untuk urusan tidak penting tapi biarlah Jenna berpikir lain dari pada harus tahu dan berakhir dengan dirinya yang di santet. "Udah ayo pergi, nanti Prof Rayden keluar kita masih di depan pintu ruangannya."
"Kali ini Ivi benar, ayo pergi."
Ketiganya pun pergi menuju kelas karena memang masih ada satu mata kuliah lagi, "Na."
"Apa?"
"Kamu suka enggak sama Prof Rayden?"
Serena diam, jika sebagai suami, tentu saja Serena menyukai Rayden tapi jika di tanya sebagai mahasiswi, agaknya Serena tidak suka Rayden. Melihat dari cara Rayden mengajar yang super disiplin, Serena yang malas-malasan tiap belajar merasa tertekan di kelas. Apalagi, Rayden tidak pernah menghilangkan tatapan tajam dan dinginnya di kelas saat mengajar.
"Enggak,"
"Serius?"
Serena mengangguk, "Aku enggak suka pria galak." Maksudnya sebagai Prof Rayden, kalau Hubby sih aku sudah pasti suka. Sambungnya di dalam hati.
"Benar sih, cara mengajar Prof Rayden memang tegas. Prof Rayden juga tidak pernah mentolerir kesalahan sekecil apa pun, tapi ya gimana ya? Beliau ini tampan banget, cerdas, masih muda, kaya juga. Siapa yang tidak tergila-gila coba? Meski minusnya di sifat dingin sih," Komentar Jenna tentang Prof Rayden.
Iviana setuju, "Aku setuju tapi jujur ya, aku malah suka pria seperti Prof Rayden yang dingin-dingin gitu. Jadi enggak ramah ke semua wanita, bahaya kalau ramah, masa iya udah tampan, masih muda, cerdas, terus ramah juga. Bisa bahaya nih hati,"
"Haha, benar lagi!"
Serena hanya diam menyimak Jenna juga Iviana membicarakan tentang suaminya, "Mau langsung ke kelas?"
"Iya ke kelas aja,"
***
Jam mata kuliahnya sudah berakhir, tapi Serena masih duduk santai di kantin. Dia sebenarnya mau pulang, tapi Rayden belum memberi kabar apa pun pada dirinya. "Apa aku chat saja ya?" Jenna dan Iviana juga sudah pulang, tadi mereka ingin menemani Serena tapi Serena yang sungkan meminta mereka untuk pulang saja dan Serena akan pulang setelah memesan minuman sebentar di kantin.
| Hubby, aku sudah tidak ada kelas.
Di seberang sana, Rayden melirik ponselnya saat notifikasi dari sang istri masuk. Dia pun mengetikkan balasan tanpa menunggu lama.
| Tunggu di parkiran fakultas, aku jemput di sana.
Serena: Fakultas kedokteran?
Rayden: Iya
Serena: Mobil Hubby di mana?
Rayden: Parkiran Dosen
Serena: Ya sudah, aku tunggu di parkiran fakultas ya.
Rayden tidak membalas lagi, pria itu menutup layar laptopnya dan berjalan keluar ruangan menuju parkiran Dosen untuk mengambil mobilnya sebelum ke parkiran Fakultas menjemput Serena. Ketika berjalan menuju parkiran Dosen, seorang Dosen perempuan datang menghampiri dirinya.
"Selamat siang, Prof."
"Siang," Rayden tidak menatapnya sama sekali.
"Anda mau langsung pulang?"
"Iya,"
Nara tampak canggung mengajak Rayden bicara, "Bisa kita bicara sebentar?"
Rayden melirik jam di pergelangan tangannya, "Tidak bisa."
"Ray,"
Barulah, Rayden meliriknya dengan tajam. "Ini kampus,"
"Aku tahu, aku cuma mau bicara sebentar sama kamu. Kita sudah lama tidak bicara berdua, Ray."
"Saya sibuk,"
"Rayden, aku cuma minta waktu kamu sebentar saja. Ada yang ingin aku tanyakan,"
"Saya sibuk, Nara."
"Dulu kamu selalu memprioritaskan aku, kenapa sekarang memprioritaskan kesibukan?"
"Karena kamu bukan prioritas saya," setelah itu, Rayden pergi meninggalkan Nara yang menatap nanar punggung tegapnya.
Di parkiran fakultas, Serena mengerucutkan bibirnya. Dia sudah menunggu lama tapi Rayden tidak kunjung datang, "Apa aku pulang naik taksi ya? Tapi aku tidak tahu alamat rumah, bagaimana kalau aku di culik lalu di jual? Ih seram, kasihan Hubby jadi duda."
"Siapa yang jadi duda?"
Serena mendongak, dia menyengir hingga memperlihatkan gigi putihnya. "Hubby sudah datang?"
"Hm, maaf membuat kamu menunggu lama. Mau pulang sekarang?"
"Ayo!"
Di dalam mobil, Serena terus menatap Rayden dari samping yang jujur saja, Rayden merasa salah tingkah terus di pandangi. "Kamu kenapa?"
"Hubby yang kenapa,"
"Aku kenapa memangnya?"
"Kenapa Hubby bisa setampan itu?"
Bibir Rayden berkedut menahan senyum, dia tidak menjawab dan hanya fokus menatap jalan di depannya. "Hubby tampan, pasti banyak wanita cantik yang suka Hubby kan?"
"Kamu salah satunya?"
"Benar,"
"Jujur sekali," lirih Rayden dengan pandangan yang tetap lurus ke depan.
Setelah itu, tidak ada lagi pembahasan di antara keduanya karena Serena yang ketiduran dan Rayden yang fokus pada jalanan di depannya. Sampai, ponsel di saku celana Rayden bergetar. Dia melihat siapa yang menghubunginya dan memilih untuk memasang earphone saja di telinganya.
"Apa?"
"Kau kembali mengajar di kampus, Ray?"
"Iya,"
"Serius?! Akhirnya, kau menggunakan gelarmu dengan baik."
Rayden mendengus, "Tidak ada hal penting yang di bicarakan, aku matikan panggilan."
"Tunggu dulu,"
"Apa lagi?"
"Berarti, kau bertemu Nara?"
Rayden terdiam, dia melirik ke arah Serena yang tertidur dengan sesekali kepalanya maju dan hampir terhuyung jatuh. "Iya,"
"Kau baik-baik saja?"
"Memangnya aku kenapa?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Ray. Kau sudah memiliki Serena sekarang, jangan bertindak gegabah. Cukup Lizzy yang bertindak seperti ulat bulu, aku geli jika ada yang lain."
"Nara tidak seperti itu,"
"See, kau membelanya?"
Rayden memijat pelipisnya yang berdenyut, "Hentikan jika hanya ingin memancingku, Ares."
"Kau pernah bilang, jika Psyche lebih memesona dari Aphrodite."
"Ayolah, Ares. Itu hanya candaan dengan Brandon,"
"Tapi Aphrodite-nya kami itu istrimu, Serena dan Psyche yang kau maksud pasti Nara. Lalu Medusa yang aku sebut adalah Lizzy,"
"Ares, hentikan."
"Kau belum melupakannya, Ray?"
***
HAYOLOH ....
SPAM KOMENT YAKK!!
Babayy