Hallo gaisss ini Chap terakhir ya :") mianhae kalau endingnya gak sesuai ekspektasi :3 abis ini aku bakal buat cerita Renjun yang menjadi akhir cerita di book ini :3 tencuuu :3
Love youu 🧸💕
"Hueeeek!"
"Hueeek!"
Suara tersebut menggema di kamar mandi. Jam menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Namun Vania belum juga tertidur lelap. Semua karena rasa aneh yang melanda di perutnya. Setelah cukup lama merasakan mual yang luar biasa, ia baru bisa memuntahkan isi perutnya setelah sekian lama menahan rasa yang luar biasa tidak enaknya.
Derap langkah seseorang menyusul keberadaan Vania. Dengan wajah bantal yang nampak khawatir ia memijat tengkuk wanita itu. Vania segera membersihkan bekas muntahannya dengan air mengalir.
"Jangan deketin, aku lagi muntah."
Haechan tidak peduli. Ia membantu Vania membersihkan mulutnya. Mengelus punggung istrinya agar rasa tegang akibat muntahnya mereda.
"Haechan, itu jorok." Vania menggeleng saat Haechan mengelap mulut gadis itu perlahan sampai bersih. Pria itu mengambil tisu kering di lemari kaca kemudian mengeringkan wajah dan mulut Vania yang basah.
"Masih sakit perutnya?"
Vania menggeleng. "Gak sesakit yang tadi, makasih Chan."
"Kita ke dokter sekarang yuk. Jangan ditunda, kamu beberapa hari ini kelihatan pucat juga."
"Chan, tapi."
"Nurut ya, kamu harus sehat sayang."
Setelah terdiam cukup lama akhirnya Vania mengangguk. Keduanya mulai bersiap pergi. Memakai pakaian hangat agar tidak terlalu kedinginan terkena angin dini hari.
Perjalanan terasa sangat sunyi. Hanya ada suara mesin mobil yang menderu dengan halus. Haechan tak henti mengelus punggung tangan istrinya. Sedari tadi Vania hanya diam dengan wajah yang masih pucat karena muntah hebat di rumah tadi.
"Sayang, jangan sedih. Kamu harus tetep happy apapun yang terjadi."
Dipeluknya lengan Haechan dengan erat. Jujur saja memang Vania se khawatir itu tentang apa yang terjadi dengannya. Dan ia yakin ini bukan karena sebuah harapan dari hati kecilnya. Berkali-kali ia mengetes dan hasilnya sama. Negatif.
"Chan, aku takut."
Air mata wanita itu menetes duluan namun ia dengan cepat menghapusnya agar Haechan tidak melihat. Jiwa rapuhnya kembali bereaksi. Ia tidak tahu ternyata setelah ia mendapat kebahagiaan menikah dengan pria sebaik Haechan cobaan itu akan sirna. Ternyata tidak, ada cobaan lain yang dia dapatkan. Vania berusaha menghapus semua pemikiran jeleknya. Ia takut jikalau nanti Haechan bosan dengan segala kekurangannya.
"Chan, kalau misal aku terlalu banyak kurangnya. Apa kamu bakalan tetep bertahan?"
Haechan terdiam. Ia memejamkan mata sejenak, yang pasti Vania sekarang sedang berada di fase takut. Takut jika ia tidak kuat dengan segala kekurangan wanita itu. Berkali-kali memang Haechan harus memastikan pada wanita itu. Bahwa apapun yang terjadi nanti mereka tetap berteguh pada janji suci. Cinta tidak harus tergambarkan dengan segala kesempurnaan. Justru, banyaknya kekurangan dan cobaan membuat tolak ukur cinta itu semakin kuat jikalau terus dipertahankan.
"Apapun yang terjadi. Kamu tetap nomor satu di hatiku, Van. Jangan ovt, apalagi mikirin hal aneh-aneh."
Mereka sampai di tempat registrasi pasien. Setelah mengumpulkan beberapa data akhirnya Vania segera melakukan cek di lab kesehatan.
"Kak Vania kenapa?" tanya Hanni yang tiba-tiba menyusul karena ia gabut begadang malam-malam.
Haechan tersenyum. "Lagi cek kesehatan, tadi dia muntah-muntah dan gak bisa tidur."
Adik perempuan Haechan masih seperti yang dulu. Mengagumi Vania di semua sisi. Ia jelas khawatir tentang apa yang sekarang sedang terjadi pada kakak iparnya.
"Kak Vania gak bakal kenapa-kenapa kan, Kak?" tanya Hanni lagi kali ini dengan mata yang berkaca seperti orang ingin menangis.
"Gak papa sayang, doakan semoga kakak ipar gak kenapa-kenapa ya."
Hanni mengangguk.
Seorang dokter wanita mendatangi mereka berdua. Ia tersenyum ramah kemudian mengajak Haechan berbicara.
"Permisi, apa anda suami Nona Vania?"
Haechan mengangguk. "Iya dokter, ada apa?"
Sang dokter mengkode untuk berbicara privasi. Haechan menyuruh sang adik menunggu.
Sampai di ruangan dokter rasanya semakin berpacu cepat.
"Perkenalkan, saya Dokter Hyoyeon. Selama pengobatan Nona Vania, saya yang akan mendampinginya."
"Baik, dokter. Terimakasih."
Dokter Hyoyeon tersenyum. Namun sedetik kemudian wanita itu menghela napas.
"Setelah saya menjelaskan ini, di harap Tuan harus selalu bersabar dan mengupayakan banyak hal positif untuk kesembuhan istri anda."
"Nona Vania menderita penyakit kista ovarium. Ada sebuah tumor yang tumbuh di rahim beliau. Tumor itu belum terlalu parah, namun pasca operasi kemungkinan beliau harus menjalani pengobatan yang cukup lama agar rahimnya bisa benar-benar bersih dan sembuh."
Mendengar hal tersebut tentu menjadi sambaran petir pada Haechan. Pria itu menghela napas panjang sambil terus merapalkan doa dalam hatinya. Setelah mendapatkan banyak nasehat dan saran dari dokter Hyoyeon, pria itu melangkah memasuki ruangan Vania yang terlihat sepi.
Sebuah isakan tangis membuat hati Haechan kian tersayat. Pria itu mendekat ke arah Vania yang sudah banjir air mata sejak tadi.
"Chan, maafin aku."
Haechan segera memeluk wanita itu dengan erat. Mengelus sayang punggung Vania dan tidak membiarkan wanita itu terlarut dalam kesedihan yang mendalam.
"Sayang, apapun yang terjadi itu pasti sudah kehendak Tuhan. Kamu gak salah apa-apa sayang. Aku juga gak kecewa, aku gak sereceh itu sampai ninggalin kamu apapun yang terjadi. Pliss jangan sedih terus menerus. Pokoknya kamu jalani pengobatan ini dengan senang hati agar kesembuhan itu menyapa kamu pada akhirnya. Aku bakalan terus dampingin kamu, aku bakalan terus di samping kamu. Jangan pernah ngerasa sakit sendiri."
Sebuah pelukan kecil menyusul duka mereka. Hanni juga sama ia menangis dengan air mata yang membanjiri.
"Kak Vania, gak boleh sedih. Kita bakal terus ada buat kakak, apapun yang terjadi. Kak Haechan gak bakalan ninggalin Kakak karena dia sebucin itu. Dan aku siap dukung kesembuhan Kakak. Hiks.... "
Hari demi hari terlalui. Usai operasi pengangkatan kista Vania jadi lebih sering beristirahat. Ia hanya melakukan kegiatan ringan di rumah sebagai ibu rumah tangga yang belum memiliki anak. Tidak terasa sudah satu tahun pernikahannya dengan Haechan.
"Kak Vania!" Suara girang menyapa indera pendengarannya. Vania tersenyum, wanita itu meletakkan penyiram tanamannya kemudian beralih menyambut kedatangan seorang gadis cantik nan periang.
"Hanni yaa, kok udah pulang dari kampus?" tanya Vania heran mendapati Hanni yang duduk santai di kursi taman sembari membuka tote bag yang ia bawa entah apa isinya.
"Hari ini dosen pada gak berangkat. Jadi Hanni gak ada kuliah. Ihh Kak Vania sini lihat deh, Hanni bikin sandwich sehat special buat Kakak."
Vania tersenyum melihat sandwich buatan Hanni. Gadis itu sampai seniat itu membuatnya dengan sangat rapi bahkan ada hiasan strawberry di plattingnya.
"Oh iya, sama ini. Hanni bawain bucket bunga gemes buat Kak Vania."
Vania terharu, ia menatap adik ipar kesayangannya itu dengan penuh kasih sayang.
"Hanni, makasih banget ya. Kak Vania sayang banget sama kamu." Tanpa basa-basi Vania langsung memeluk gadis cantik itu Hanni juga sama, membalas pelukan Vania tak kalah erat.
Setelah berpelukan ala teletubbies keduanya melonggarkan pelukan. Saling menatap sembari terkekeh.
"Woy! Ini ceritanya, istriku selingkuh dengan adik perempuanku?" Suara cempreng seorang pria membuat mereka mengalihkan atensi.
"Gak gitu juga konsepnya!" seru Vania protes.
Haechan mencebikkan bibir. Pria itu baru saja pulang dari kantor. Kedua tangannya merentang.
"Aku juga mau dipeluk," rengeknya.
Vania mendengus kesal. "Pelukan aja sama bantal, wleee!"
"Rasain, mampus!" teriak Hanni dengan puas.
Haechan tidak terima. Ia mengejar Vania yang masuk ke dalam rumah.
"Sayang, aku mau peluk!" teriaknya.
Sedangkan Hanni hanya bisa tertawa melihat tingkah random kedua kakaknya yang sampai sekarang tidak berubah.
"Semoga mereka selalu bahagia, selamanya. Amin." Hanni berucap penuh ketulusan.
The End!
Terimakasih untuk pembaca setia :3 setelah ini masih banyak work yang bakal aku tulis. Semoga hari kalian selalu manis dan bahagia. Tencu :3
Salam dari istri sah ZHONG CHENLE :3