RED CITY : ANNIHILATION

By MilenaReds

750K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... More

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Crossing
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Mind
Dare
Fate
Stalling

Calling

3.5K 731 204
By MilenaReds

"Jadi ini benar ya dirinya."

Gery, kawan baru semenjak awal diriku masuk SMA ini membolak balik lembar foto sebelum akhirnya mengoper kembali.

Semenjak kelar bercerita alasan detil mengapa aku hidup sendiri, suasana ruang tamu berubah menjadi suram.

Sebenarnya baru kali ini pula aku menceritakan secara lengkap kepada orang selain teman dekatku, Stefy. Walau sudah beberapa kali sudah aku mengajak mereka ke rumah untuk bersantai-santai.

Gery-Gerald dan Alma. Dikelas, Gery-Gerald duduk didepan, kadang dibelakangku dan Stefy. Sedangkan Alma kawan beda kelas namun aku satu ekstrakurikuler dengannya.

Kami saat ini duduk leyeh mengitar ditengah ruang tamu. Dibawah kipas besar yang berputar tak begitu kencang namun tak pelan juga.

"Kakakmu itu terdengar hebat sekali ya!"
Gerald memulai kembali sambil melirik Gery yang masih merenung di sebelahnya.
"Aku antara kagum dan ngeri juga sih. Terlihat sekali jangan sampai macam-macam padanya-"

"Betul se-kali."
Alma menimpali. Ia yang duduk di samping Gerald matanya tak berhenti terus menjelajah deretan bingkai foto di meja.
"Kalau ada apa-apa rasanya kau punya pilihan lain selain polisi. Kau bisa lari saja mengadu padanya."

Perkataan terakhir Alma justru membuat seketika rasa getir muncul di mulut namun pada saat yang sama aku merasakan ada tangan yang menepuk- nepuk pelan bahuku.

"Sabar ya Luce."
Kata Stefy masih terus menepuk.
"Seharusnya sih bisa seperti itu. Tapi seperti yang telah kalian dengar sebelumnya, kenyataannya justru sebaliknya. Sang kakak terhormat sudah tak peduli lagi dengan adiknya ini-"

"Ih Stefy, jangan begitu."

Aku bahkan begitu juga yang lain otomatis menoleh pada Alma.

Ia terlihat memerah seakan kaget dengan ucapannya sendiri. Lama ia termangu sebelum Gery yang lagi-lagi melontarkan pertanyaan.

"Apa kau sudah coba menghubunginya? Samper ke kantor TNI terdekat-"

Aku menjawab antara dengan mengangguk dan menggeleng.

Membicarakan mendatangi kantor militer membuatku jadi malu. Tak bisa kulupakan bagaimana kesan yang kudapat saat kesana.

Yaitu kesan ditertawakan.

Aku menggaruk pipi.
"Sudah pernah sih beberapa kali. Tapi ya  respon mereka hanya ringan."

"Ringan?"

"Maksudku-"
Suaraku jadi merendah.
"Meremehkan. Bagiku seperti itu, Gery. Aku seperti perempuan idiot yang tak mau mengerti betapa sibuknya tugas kenegaraan kakaknya-"

"Tapi tetap tidak normal kan? Masalahnya dia tak pernah pulang lho ini-"

"Itu memang pilihan kakakku sepertinya. Seperti yang kubilang. Dia juga berubah galak sebelum pergi."
Aku mengelus mata.
"Jadi rasanya aku memang tak perlu mencari lagi sih Ger-"

Aku bisa melihat dirinya masih ingin memaksa untuk tetap mencari namun disikut Gerald.

Sempat terdiam namun komentar kembali muncul dari Alma.

"Kau pasti kesepian sekali ya Luce,"
Gelengnya pelan.
"Aku tak bisa bilang keluargaku sempurna walau kami masih dalam keadaan lengkap. Tapi yah setidaknya aku tak sendiri. Aku jelas akan bingung sekali kalau jadi kau mengurus semua hal termasuk rumah sendiri-"

"Hmm...entah kenapa aku jadi berpikir kakakmu apa jadi bagian dari mata-mata? Kau tahu, secret mission-"

Aku jadi terkekeh mendengar sesumbar Gerald.

"Eh bisa jadi lho!"
Gery jadi ikut bersemangat. Tema topik jelas berubah bukan jadi membahas 'kakak durhaka'.
"Kalau seandainya begitu gimana Luce?"

"Ya mungkin lebih baik. Setidaknya dia bukan pergi karna benci padaku-"

Tangan Gerald menyila.
"Aku kurang mengikuti sih hal-hal berbau militer begitu. Aku lebih suka mengikuti berita sport di tv. Dan ya bisa dilihat sekarang aku sebagai Leader utama tim basket- hingga telah membuat kita mendulang terus kemenangan melawan tim sekolah lain-"

"Jangan mulai ya. please-lebay amat terus kemenangan katamu? Kalian kemarin baru saja kalah-"

Jari Gery terangkat sebelum menukik tunjuk.
"Baru sekali ya Stef! Baru sekali!"

"Huh iya! Iya!"
Timpal Gerald dengan anggukan keras sekali sampai aku takut kepalanya akan terlepas.
"Mereka itu menang karena aku dan Gery malah sama-sama cedera! Itu bukan menang juga kan namanya? Kalau kami tak cedera mereka bakal-"

"Tapi Lucy,"
Alma memotong.
"Kalau kau bilang sudah beberapa tahun lalu , yang jadi wali mu masuk SMA kita ini siapa? Takkan mungkin atau bahkan sulitkan tanpa figur keluarga ketika daftar sekolah-"

Aku menyerap dulu pertanyaan tiba-tiba ini.
"Oh eng-ya Kantor militer yang menentukannya untuk diriku dan semua juga langsung sudah dibayarkan. Jadi aku bisa langsung bersekolah saja, bahkan tagihan rumah, air , listrik dan lainnya sudah ditanggung juga. Ya...termasuk uang saku."

"Oh!"
Alma terlihat lega.
"Jadi setidaknya ada orang militer datang ke sini ya tiap kali mengecek dan memberitahukan penentuan sekolah atau pembayaran-"

"Umh-tidak Al. Tak ada yang datang. Semua kuterima hanya lewat surat pos pemberitahuannya. Jadi aku tinggal mengikuti saja haha-"

Padahal sudah berusaha menampilkan wajah 'tidak seburuk itu dan semua akan baik-baik saja' namun malah memunculkan ekspresi antara prihatin dan kasihan parah pada ketiga teman baruku ini. Hanya Stefy yang terlihat tak khawatir.

"Jadi begitu saja?"
Gerald menampilkan wajah ke tidaksetujuan.
"Selamanya kau dan kakakmu ini takkan-"

"Tidakkan selamanya, percaya deh."
Alma spontan kembali menjawab.
Kali ini dengan lebih percaya diri.

"Aku tak percaya saja dia akan selamanya tak peduli padamu. Didengar dari ceritamu sebelumnya kau begitu akrab. Dan lihat deh semua foto di meja mu itu! Semua fotonya menunjukkan keakraban kalian! Dia terlihat sayang padamu Lucy. Saudaramu pasti akan kembali!"

Mendengar keyakinan membaranya itu malah membuat tawa hampaku pecah hingga membuatku menutup wajah.

Sebenarnya itu beban utama yang selalu kupikirkan tiap hari. Bagaimana kami yang dulu saling peduli pada akhirnya hanya akan saling mendiami dan saling membenci.

Harapan seperti Alma bilang itu sesungguhnya masih ada, tapi sudah mulai padam.

"Yah jelas sudah apa yang dibilang orang tua murid pada tak benar ya."

Dahiku jadi mengerut menatap Gery namun Alma, Gerald bahkan Stefy jadi mengeluarkan suara membentak.

"Diam Gery apa-apaan sih!"

"Anak tolol-"

Aku menegakkan diri.
"Apa? Ada apa?"

Kali ini suasana balik menghening. Gerald bahkan membuang pandangannya kesamping seakan tak mau ikut-ikutan pembicaraan.

Akhirnya aku jadi menoleh, menuntut pada Stefy.

"Ada apa?"

"Cuma rumor bodoh saja."
Alma mengambil alih.

Karna Alma yang berbicara ini juga jadi membuatku terkejut. Alma beda kelas dengan kami hingga membuatku berpikir rumor apa yang semua orang tahu dan diriku ini tidak.

"Rumor bodoh ... tolol... mungkin tak perlu lah di bahas-"

"Tapi aku mau tahu!"
Nadaku jadi meninggi pada Alma dan pada semuanya juga.
"Ada apa-"

"Ya ada yang bilang kau ini anak diluar nikah , jadi hanya karangan cerita saja kau punya kakak padahal kau menutupi - ya pokoknya seperti itu diantara orang tua murid."

Aku jadi menatap mereka satu persatu.

"Semua orang tua kalian berpikir-"

"Eh sorry ya orang tuaku sih tidak."
Gery menyeletuk lebih dahulu diikuti Alma.

"Kau juga kan pernah main kerumah kami dan bertemu keluarga kami masing-masing, kau bisa lihatkan mereka semua baik padamu?"

Aku membuka lalu menutup mulut.
"Umm iya sih- cuma aku agak kaget saja soalnya tak pernah tahu kalau jadi sampai pada berpikir seperti itu-"

"Biasalah seperti itu-bukan maksud mengentengkan jika kau di omongi ya. Tapi memang ada orang-orang seperti itu. Ayah Ibuku sungguh tak ambil pusing tentang itu dan tak ada yang perlu dipusingkan juga! Kau juga kawan yang asik, walau awalnya kau agak pendiam tertutup."

Gery sedang menutup testimoni nya dengan senyuman menghibur di wajah saat Gerald menggerakkan tangannya.

"Tak ada yang sempurna juga rasanya di sebuah keluarga. Aku kan juga begitu. Ayahku meninggalkanku dan pergi dengan wanita lain-" Gerald menggeleng ketika kami memyambar ingin berkomentar.
"Masa bodoh deh pokoknya! Teman kelas lain juga tak ada membicarakan ini juga. Dan kalau iya pun siap-siap saja berhadapan dengan kami!"

"Ya itu benar Luce."
Kedua Alis Alma bergerak naik turun.
"Tenang saja kalau ada yang bicara macam-macam , aku juga akan membelamu."

"Ya ampun,"
Aku menarik napas panjang.
"Terima kasih ya kalian!"

"Pokoknya sabar saja Luce. Nanti kakakmu juga akan balik lagi. Mungkin dia masih sibuk jadi pecah pikiran. Kudoakan dia cepat kembali dan disusul kemudian kau bertemu jodoh baik sebagai teman hidupmu!"

Aku malah hampir jadi ambruk ke lantai diikuti tawa keras Gery-Gerald, Stefy.

"Ya ampun Alma-"

"Jodooh euy-"

"Aminkan saja sih!"
Alma balas enteng ocehan Stefy dan Gery sembari menarik gumpalan tisu dari kantung jeansnya.
"Lucy kan juga terlihat belum sama siapa-siapa."

"Susah sih!"
Stefy tiba-tiba menyahut panas.
"Dari dulu juga aku berusaha kenalin, eh Lucy selalu nolak-"

Bibirku mengerucut.
"Aku kan memang tak 'selincah' dirimu Stef!"

Alma menghembus.
"Yah Pokoknya yang terbaik aja untuk Lucy. Atau mungkin supaya lebih seru kedepannya Lucy dikejar pria yang entah bagaimana malah cinta mati padanya! jadi Lucy akhirnya mau coba buka hati-"

TEK!

Bunyi suara dari pemasak nasi menghentikan pembicaraan kami. Gery-Gerald bertepuk tangan sambil mulai menekan kaki berdiri.

"Akhirnya! Mari kita makaaan!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tuhan,
Terima kasih atas kesempatanmu kembali. Dari dulu Kau selalu memberiku yang terbaik. Kepintaran , kesehatan dan terutama Keluarga. Keluarga yang baik. Aku sungguh menyayangi mereka melebihi apapun.
Tak berhenti kupanjatkan padamu Tuhan permohonan maaf akibat lambatnya pemikiran diriku dalam mendukung Ark Pasifik.
Mungkin kalau dari sebelumnya aku ikut serta, harapan akan besar untuk Ibu masih ada bersama kami. Kuakui aku sungguh bodoh, Tuhan.
Dan saat ini , kekecewaan dan kebencian bahkan bisa aku lihat datang dari tatapan Lucy, adikku.
Namun aku pantas mendapatkan kebencian itu dari dirinya.
Lewat Ark Pasifik, Kau menyadarkan ku semua dosa kesalahanku ini.
Sekarang aku janji akan memperbaiki semua dengan mengambil kesempatan baru yang Kau beri.
Demi akhir yang lebih baik.

Aku tak tahu sekarang antara mau menangis atau tertawa. Tapi nyatanya aku sekarang malah tertawa kencang.

Jelas sudah keterlibatan Regi disini dan tak berhenti tertawa karena sangat amat mengagumi kehebatan Dokter Davian begitu pula orang-orang disekitarnya dalam memanfaatkan keadaan pikiran seseorang yang sedang lemah.

Benar-benar hebat sekali. Kebohongan diputar menjadi kebenaran, bahkan sampai bisa jadi penentu jati diri seseorang.

Aku jadi iri. Karena aku saja yang saat berkata benar suka tidak dipercaya apalagi berkata bohong.

Dan saat ini , kekecewaan dan kebencian bahkan bisa aku lihat datang dari tatapan Lucy, adikku.

Kutarik napas kembali membaca tulisan itu.
"Tak pernah di hidupku ini setitik pun menyalahkan mu Reg. Ini hanya proyeksi pemikiran dirimu yang merasa gagal-"

Atau mungkin ini termasuk salahmu juga Lucy?

Aku menelan ludah.

Kau hanya diam saja dulu ketika dia hilang.

Diam dan membenci.

Kilap sinar pantulan dari pembungkus suntikan menangkap fokusku.

Lihat dirimu itu.

Katamu kau peduli, bahkan kau tak menyadari selama ini dia menyimpan perkara ini di hatinya.

Lihat. Lihat apa yang telah dia suntikkan kedalam tubuhnya.

Napasku terputus sekilas. Sebelum dadaku terasa tertekan.

OGodOGodNooo

Dan sekarang lihat semua orang menderita karena kalian-

"Ada apa Luce? Kau baik-baik saja?"

Suara Kapten Ryan menarikku.

"Lucy?"
Ulangnya lagi kali ini dengan nada panik.

Tak kusadari diri yang sudah berlutut dilantai, mencengkrami rambut.

Namun aku hanya tetap diam di posisiku.

Masih dalam pandangan lekat padaku dia bergerak mendekati meja, menaruh piring dan minuman yang dibawanya. Ia sempat maju ingin mendekat sebelum perhatiannya teralih pada pecahan jam kayu serta isi dalamnya.

Sama seperti diriku ia tertarik seketika dengan tumpukan berbagai buku paspor.

Ia balik menatapku lagi dengan membelalak sebelum perlahan berbalik arah, bukan padaku namun pada jam kayu itu.

Kali ini aku benar- benar menangis. Tapi aku tetap melakukan apapun . Aku hanya membuang wajahku kesamping meratap menatap lantai.

Aku mendengar bunyi lembaran terbuka, lalu dibolak balik. Aku tetap diam, mataku bergeser terus keatas sebelum terhenti pada kaca vertikal besar yang menempel di dinding tak jauh sampingku.

"Gimana? Aku terlihat keren kan?"
Tawa polos renyah Regi terdengar di telingaku. Aku ingat dulu berada dikamar ini menatapnya sedang berkaca sambil memamerkan seragam baru.

Masih muda sekali. Tawa kekanak-kanakan, sebelum bergerak iseng mengacak-acaki rambutku. Setelah itu biasanya aku lanjut lari mengadu ke Ibu.

Kalau sekarang aku mau lanjut mengadu ke siapa?

Seketika kemudian aku mendengar langkahnya mendekatiku dengan cepat sekali sampai membuat diriku otomatis menjatuhkan diri ke lantai sebelum tangannya berhasil menggapaiku.

Keheningan kemudian terjadi.

Aku dari lantai beri dia tatapan mengiba , memohon setitik saja pengertian dari dirinya supaya tak marah terlebih memukulku.

"Lucy?"
Dahinya semakin mengerut.
"Lucy? Kau kenapa menghindar sampai sebegitunya?"

Mulutku membuka.
"Hah?"
Sebelum diriku kembali mengerut ketika dia malah jadi benar berjongkok tepat di depanku.

"Hei!"
Lanjutnya dengan tangannya mencaplok lenganku.
"Kenapa sih Luce?"

Kali ini aku berusaha merebut balik lenganku.
"Aku hanya siaga - takut kalau kau akan-"

"Takut apa? Takut aku akan memukulmu begitu?!"

Suara tingginya membuatku berjengit. Namun reaksiku ini yang membuatnya jadi sadar bahwa tebakannya benar.

"Luucy-"
Suaranya merendah nyelekit.
"Pernah memang ada sejarah aku terlihat akan melayangkan tanganku ini padamu?"

Aku hanya diam.

"Sudah dua-tiga kali dengan ini aku melihat reaksi mu padaku seperti itu. Coba Luce, kasih tau saja padaku mungkin dulu aku tak sadar memberimu kesan seperti itu-dan kalau iya aku minta maaf karena sungguh aku takkan-"

Kali ini aku balik menatapnya lurus.
"Tidak. Kau tak perlu meminta maaf. Lihat posisi kita saat ini Kapt! Adanya aku yang patut meminta maaf dan menerima serangan amarah darimu!"

Jam tanganku kembali berkedip-kedip.

"Oh Ya ampun apalagi deh ini ?"
Keluhku sembari memanjangkan tangan, melirik pelan pemberitahuan pesan yang terpampang. Dari Pamannya Pierre.

Apa kau sudah selesai urusan di rumahmu? Lebih cepat lebih baik. Tanpa drone Russel, Mercenaries mu mengalami kesulitan akibat banyaknya zombie di jalan. Cepat kau berangkat supaya kalian bisa bertemu di titik yang ditentukan.

"Mereka ingin cepat kita pergi dari sini. Kapt."
Umumku sebelum balik berjengit melihat coretan tangan regi dibalik selembar koran yang memberitakan kebakaran di laut utara.

Ia menatap kertas itu lama sekali sebelum membalik dan membaca tajuk berita lembar korannya.
"Kebakaran laut?"
Gumamnya.
"Berita yang aneh. Tahunnya sepertinya tahun sebelum dia menghilang bukan?"

Sumpah badanku terasa merinding. Perasaanku susah total campur aduk antara malu dan rasa bersalah.

Ia menjulurkan kertas itu lagi kedepan wajahku.
"Ya kan Luce? Waktu tahun ini dia sudah berubah kah?"

Aku terbatuk dulu sebelum berusaha mengingat.

"Umh-k-kurasa tidak Kapt. Sepertinya ini masih masa-masa normal dia."

"Kurasa baiknya segera foto ini semua dan kirim ke kawan anak bilioner mu itu, Nona Lucian."

"K-kenapa kau pake sebut aku begitu sih? Nona segala-"

"Kau juga balik memanggilku Kapten. Selama kau seperti itu, aku akan panggil kau Nona Lucian atau mungkin Nona Mal-"

Ia terhenti sendiri. Seakan tak setuju juga jika aku jadi memakai nama belakang bilioner Swedia itu.

Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"-lagipula entahlah apa kesan dia dengan bukti hanya selembar kertas keluhan, suntikan lalu paspor-"

Ia masih terus menatap lantai sebelum memandangku kembali.

"Pierre itu, apa dia bisa dipercaya Luce?"

Aku menghembuskan napas panjang.
"Sebenarnya, dia itu membantu seperti ini karena sudah terjebak. Terjebak kebohongan dia sendiri. Seperti yang kuceritakan padamu sebelumnya, ia random saja memilih kami untuk masuk dalam drama reality show nya ini. Aku merasa bersalah juga waktu itu padanya hingga aku menceritakan semua secara lengkap apa yang terjadi ini-"

"Semua lengkap?"

"Ya semua, tanpa ada kututup-tutupi-"

"Asik sekali ya, kalau aku dan teman-temanmu yang lain sampai harus meraba-raba cari perkiraan jawaban sendiri ya sampai jadi pusing stress."

"Ryan, kalau kalian kan beda. Aku malah lebih baik kalian tak tahu apa-apa supaya tak terseret-"

"Semenjak kami selama di Kapal sana bela-bela nama kalian sudah jelas akan terseret sih. Kalian pikir kami disana akan diam saja ya? Takkan melakukan apapun demi kalian?"

"I-iya-umh-"
Aku berasa ditampar dengan omongan.
"Maaf. Aku cuma bingung saja mau cerita pada siapa, jadi baiknya kupendam dulu-kalian kan juga pasti sedang sulit disana waktu itu-apalagi pada kau, aku benar-benar tak enak-"

"Luce- seperti yang kubilang semua hal ini sudah bukan hanya urusanmu saja. Sudah jadi urusan yang lain terutama urusanku juga yang merupakan anggota militer langsung- ex militer langsung maksudnya."
Ia luncurkan tawa getir sembari tangannya lanjut bergerak mengambil asal salah satu dari paspor 'palsu'Regi.
"Ini benar-benar terorganisir rahasia ya. Tak ada yang mengendus kegiatan gila ini."
Kali ini ditunjuknya paspor itu.
"Syukurnya, aku pernah belajar kalau tentang paspor seperti ini. Lihat digit atasnya? Dua digit bawah itu diubah. Itu kode bahwa pemilik paspor ini agen pekerja kenegaraan."

"Jadi?"

"Jadi, ini sebenarnya asli Lucy. Paspor asli. Yang diganti hanya nama Pak Regi. Petugas imigrasi terlatih akan tahu itu nomor kode agen militer kenegaraan. Jadi bisa dibilang tiap negara yang didatangi akan tahu, dan mengijinkan dia masuk."

"Tunggu, jadi tiap misi entah misi apapun itu sebenarnya negara kita dan negara yang akan didatangi sudah saling mengetahui dong ya?"

Ryan terangguk.
"Iya Lucy. Dari sini saja kita bahkan bisa tahu ada yang tak cocok dengan laporan tuduhan bahwa Pak Regi melakukan semua ini sendiri tanpa backup orang pemerintah sama sekali."

Aku jadi terperangah.
"T-tunggu kok bisa mereka maksudku orang militer lupa tentang keberadaan paspor ini-"

"Pemikiranku, antara lupa atau memang Pak Regi yang mungkin sengaja mengambil atau menyimpan ini. Entahlah. Tapi yang jelas Luce, kejahatan apapun mau ditutupi, pasti ada yang tercecer. Minim sekali kasus yang tak ada ceceran bukti sama sekali."

Aneh sekali diwaktu sebelumnya bawaannya aku hanya ingin menangis selanjutnya sekarang aku jadi ingin tertawa.

Aku bisa tertawa.

Entah kenapa bebanku berkurang drastis mendengar pernyataan ini.

"Ya ampun Ryan, aku sampai tak tahu harus berkata apa. Tapi yang jelas kenapa tak dari awal saja ya aku pinta bantuanmu sebelum aku nangis-nangis kebingungan barusan-"

Jam tanganku kembali berkedip. Kali ini aku lebih semangat untuk melihat pemberitahuan pesan masuk yang tak disangka-sangka dari Komander asli Aegis. Komander Pride.

Baru sekilas saja aku membaca pesannya yang bertanya bagaimana keadaan misi langsung membuatku memutuskan untuk memvideo callnya .

Saat tersambung, aku yang biasanya melihatnya disebuah ruang kerja jadi penasaran melihatnya diatas sebuah geladak kapal berukuran sedang dengan langit amat pucat abu diatasnya.

"Kau sedang dimana Sir? Russia?"

Ia terangguk.
"Aku sedang berada diwilayah utara. Bagaimana keadaan misi mu ini?"

Kalau dia bukan atasan mungkin akan kujawab dengan pertanyaan pilihan. Pilihan berita baik atau buruk.
"Idemu benar Komander. Aku menemukan jejak sedikit bukti tentang masalah masa lalu kakakku ini."
Tembakku langsung.
"Aku menemukan lembaran koran yang ditulisi oleh Regi-"

"Siapa itu dibelakangmu?"

"Ryan, Kapten Ryan yang waktu itu pernah datang ke kapal Aegis, mencariku-"

"What? Teman lama mu itu? But how did he -"

Aku mendorong Ryan sedikit ke belakang dengan punggungku.
"Pokoknya Komander, aku ketika sampai di dermaga menyelamatkan dia dulu dari kepungan tentara negaraku- tolong dengar dulu yang tentang bukti yang kudapat-"

Komander Pride invite Pierre to Join the Call.

"No. Wait-What-"

Aku jadi tergeleng pasrah melihat Pierre di undang. Aku benar-benar masih merasa malu dengan pertengkaran kami sebelumnya.

Pierre bergabung dengan wajah terkejut seakan melihat musibah terjadi didepan mata.

"Mr. Malstrom, nanti sepertinya ada beberapa hal harus dibicarakan ya tentang misi ini- ada banyak yang tak kumengerti dalam perencanaan-"

"Jangan salahkan ku Komander. Semua terjadi karena Lucian-"

"Lucian bilang dia tadi menemukan sedikit jejak bukti tentang kakaknya-"

Aku bisa mendengar Pierre tersedak.

"Apa Komander?"
Kali ini dia bergeser padaku.
"Lucian? Kau menemukan apa?"

Aku pun melanjutkan memperlihatkan lewat kamera jam tangan, tulisan Regi dibalik lembar koran tajuk kebakaran laut.

Reaksi pertama Pierre sama seperti Ryan. Heran dengan pemberitaan kebakaran laut.
"Kebakaran gimana? Minyak tumpah?"
Ia terlihat mengerenyit.
"Itu benar tulisan Bro Regi? Bukan kau atau orang lain yang menulis...mana ditulis dengan tinta murah-"

"Apaan sih! Ya tentu saja! Kau bisa lihat kan tulisan ini tulisan lama! Tintanya saja mulai pudar-"

"Kalian tak ada pena tulis keluarga tersendiri sih ya?"

Aku jadi mengerenyit.
"Umm-What?"

Pierre menghembuskan napas tak sabar seakan aku tak mengerti hal lumrah.

"Pena keluarga, Lucian. Jadi pena berisi tinta khas sendiri untuk menghindari pemalsuan. Kalau aku dan keluargaku pakai dan hanya kami yang punya pena khusus itu. Masalahnya siapa yang akan percaya selembar kertas koran dicoret-coret pena murah-"

"Pierre kau sekarang berubah mau jadi duri dalam daging ya?! Nanti akan kuambil deh tulisan Regi ada di kamarku buat dicocokkan. Lagipula apa bedanya juga kalau kami pakai pena mahal kalau kau menuduh aku yang menulis sendiri?!"

"Eh iya juga ya-"

"Kau juga sudah kuceritakan tentang Colin waktu itu dan awal yang terjadi padanya! Dari cerita coretan Regi saja jelas dia mengalami hal yang sama bukan?!"

Ekspresi Pierre bergidik ngeri. Ia balik mengingat pembicaraan traumatis kami waktu itu.

"Ya, tentang cuci otak-oh ih iya."

"Dan satu hal lagi sih ada tentang paspor Regi. Aku menemukan paspor dia dengan nama-nama berbeda."

"N-nama berbeda?! Maksudnya?!"
Pierre balik panik.
"Lucian!?"

"Sebelum kau jadi panik Mr. Pierre,"

Aku jadi menoleh. Ryan yang kali ini maju kesampingku. Ingin masuk dalam penjelasan.

Pierre sudah mau memaki-maki Ryan saja lagi namun dihentikan oleh Komander. Komander sudah seperti ingin sekali ke inti penemuan. Ryan pun menjelaskan dengan sama seperti yang ia jelaskan padaku tentang kode digit paspor.

Dan setelah itu, sama sepertiku, Pierre kehabisan kata. Ia hanya mengulang kata sama seperti kesimpulan sebelumnya. Regi jelas hanya pion.

"Oh My God."
Pierre lanjut menggosok bahu.
"A-ku tak tahu merasa lega atau gimana. Memang lega karena sepertinya aku di jalan yang benar tapi ya ini akan jadi urusan masalah panjang dan rumit-"

"Kalau rumit itu akan pasti Tuan Pierre, dan aku rasanya bisa mengkonformasi tentang kebakaran di laut utara . Selembaran yang kakakmu tulisi itu ada hubungannya dengan percobaan awal manusia dan aku sekarang lagi coba telusuri-"

Penjelasan Komander terhenti karena Pierre tiba-tiba menjauh kan diri dari kamera tab.

"T-tunggu dulu - aku seperti mendengar suara mom ku ... mom? Mom ? Kau memanggil ?"

Aku dan rasanya Komander tak mendengar suara apapun. Mungkin karena kami sama -sama tak memakai alat Bluetooth headset.

Pierre bergerak berdiri begitu saja sambil membawa Tab nya ditangan yang jelas masih menampilkan aktif video Call rapat dari kami

"Eh Pierre! Pierre!"
Desakku.
"Ini apa tak lebih baik kita sudahi saja telpon kita dulu sebelum kau-"

Pierre tak menggubris ku. Layarnya terlihat bergetar memperlihatkan dirinya yang sedang bergerak maju sembari memanggil terus pada Ibunya.

"Mom? Mom? Kenapa berteriak ? Ada apa dengan berita televisinya itu?"

.

.

.

.

.

.

.

Authors Note.

Halo.🤡

Apa kabar semua?

Continue Reading

You'll Also Like

Jimin Or Jimmy By arzy

Science Fiction

507K 2.9K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
367K 28.2K 23
[ BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Adrea tidak percaya dengan yang namanya transmigrasi. Mungkin didalam novel itu wajar. Tapi bagai...
4.4M 303K 47
"gue gak akan nyari masalah, kalau bukan dia mulai duluan!"-S *** Apakah kalian percaya perpindahan jiwa? Ya, hal itu yang dialami oleh Safara! Safar...
Daddy By ulan

Science Fiction

322K 28.1K 22
bagaimana jika seorang pemuda sebatang kara tak memiliki keluarga satupun, malah mengalami sebauh kecelakaan yang membuat nya ber transmigrasi ke rag...