Catatan 25; Gema Langkahmu

12 5 0
                                    

Hari ini kamu alpa. Tidaklah cukup namamu yang berguguran dalam catatanku?

Kejam. Mengapa hadirmu turut menghilang setelah aku berhenti mencatat namamu?

Gema langkahmu pun bergulir menuju persimpangan dan tanpamu aku kehilangan arah

Aku lelah mencari celah keberadaanmu yang katanya kamu sebiru angkasa, tapi nyatanya biru tidak selamanya tentang langit. Luka pun biru, bukan?

Evan, sedetik saja aku ingin kamu hadir meski rupa tak lagi berwujud namamu.

***

"Evan!"

Suara lembut seorang guru memanggil nama cowok itu yang kemudian bersahut dengan hening memeluk kelas. Ruangan kehilangan kata dan bisu menjadi jawabnya.

Tak ada yang bersuara, maka Pena mengangkat kepala mengedarkan pandangannya mengharap Evan bersuara. Tatap Pena berhambur mencari nama yang tak bernada itu, bising kelas menyelusup dan semesta bertanya akan hadirnya.

Pena menekan ujung pulpen,  mengharap seseorang memberi alasan tentang cowok itu. Namun beberapa detik kemudian Pena kehilangan jawabnya, sebab guru pun telah usai mengabsen berakhir dengan menyuruh murid-murid untuk mengerjakan tugas. Tapi justru pikiran Pena berantakan, berpikir dan menerka segala kemungkinan Evan yang tidak masuk hari ini.

Napas gadis itu sesak seakan mencekik lehernya. Pandangannya kembali mencari cowok itu. Tidak ada. Semakin menajamkan penglihatannya, Pena menemukan bangku yang ditempati Evan kosong. Lelah, maka gadis itu menenggelamkan kepala di kedua tangan, berusaha menyingsingkan pertanyaan menyiksa yang mengisi kepala.

Evan, kamu di mana?

Gadis itu menutup pintu ruang musik dengan lesu. Perangkap tempat yang bisa membuat Pena melupa semua bebannya di sana. Juga tempat di mana cowok itu meluapkan amarah dan menyadarkan kesalahan-kesalahan Pena. Ruang musik sepi, tanpa cowok itu semua terasa sunyi.

Pritt ...

Apa yang lebih bising dari tiupan peluit itu, selain sorak riuh dilapangan penuh huru-hara yang layu seolah tak ada pertahanan apa-apa. Pulang dan terkalahkan oleh waktu.

Berlari menuju lapangan, Pena mengharap yang seharusnya ada. Tapi sesampainya di bangku yang selalu menjadi tempat duduk Pena pun muram seolah-olah mencerminkan keadaan. Gadis itu meremas udara di mana ruang oksigennya terasa sempit. Ada kekosongan membatu yang enggan hancur.

"Semoga sekolah kita pasti menang meski murid baru itu nggak masuk."

"Kaptennya ke mana, sih?"

"Evan, kok nggak sekolah."

Keluhan itu menyeret Pena mundur satu langkah, tak ada apa-apa di sana selain kekosongan. Tidak seru saat tim terlihat lelah dan kewalahan. Pena berlari membuyarkan kesadarannya, ia keliru bahwa yang tinggal akan pergi tanpa ada kabar alasan apa pun. Ia pun pulang, mengantarkan senja yang sebentar lagi akan tenggelam.

Segera berlari ke kamarnya ia tertidur di kasur—merebahkan sejenak letih hari ini. Maka, buku catatan bersampul hijau itu kini telah dipenuhi coretan abstrak. Hening kembali membelainya, yang mengisi hanyalah suara sobekan kertas. Sesekali gadis itu menyobek kertasnya dibuat seperti bola lalu dilemparnya asal ke tong sampah. Inspirasi yang kosong.

"Mumet banget ini otak. Please, berhenti ... apa yang seharusnya ada tak perlu diharapkan terlalu jauh. Apa pun yang ingin aku tahan tak semudah itu." Ia bergumam sambil memukul keningnya.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now