Catatan 6; Keruh Senja di Punggungmu

89 12 0
                                    

Di punggungmu
aku melihat sepercik senja terbelenggu sayu
Keruh senja di punggungmu
tak hanya mengajarkan tentang pulang dan rindu
Namun,
Senja di punggungmu ialah setitik riuh
merupa sebagai rahasia hologram
yang mengangkasa lalu didekap semesta.

***

Cowok itu masih bersimpuh di atas rumput menatap pilu gundukan batu nisan yang sudah melekat selama lima tahun ke belakang. Entah sudah berapa bulir air matanya gugur membasahi pipi. Telapak tangan cowok itu mengusap kembali batu nisan yang telah usang, kemudian ia menipiskan senyumnya menjadi sekeping tawa hangat tanpa nada.

Seragam abu itu masih melekat di tubuhnya, dan semua kemampuannya seolah hilang mengingat orang yang selalu ada dalam mimpi-mimpi Evan telah menutup mata secepatnya. Bersamaan dengan dirinya saat itu harus tinggal sendiri di rumahnya. Banyak sekali hal telah berlalu dalam hidupnya.

Namun, ia tidak hanya sendirian bersama jiwa yang rapuh, semesta memberikan hadiah untuknya. Sang senja datang menyinari pemakaman maka di sana lebih terlihat bagaimana cowok itu mulai membuka kedua telapak tangannya memohon doa yang terpanjat.
Ke mana pun cowok itu melanglang, pada dasarnya ia tidak akan luput dari ingatan yang telah berjalan jauh dari hidupnya. Semua orang mempunyai masa lalunya masing-masing dengan takaran yang berbeda.

Hingga tidak terasa langit keruh menutupi tatapan teduhnya. Imajinasinya pergi berkelana di mana mata hitamnya menemukan punggung seseorang yang terbungkuk.  Ia memandang pada seorang gadis di sana. Bahu gadis itu naik turun berirama bersama dendam yang tidak layak untuk ia pendam.

Di keruh punggungnya ia melihat sepercik sinar senja menepi. Dada Evan seakan ikut terhenyak, berat mengatakan rasa bersalahnya terus terpatri dalam diri. Cowok iu bangkit sebelum akhirnya menutup buku bersampul foto seorang gadis yang tengah tersenyum samar. Ditutupnya setelah membacakan ayat-ayat suci.

Tanpa ragu, Evan mendekati gadis berambut blunt shag. Seperti ada magnet yang menyeretnya maka gravitasi menyeret Evan untuk mendekat. Gigi cowok itu beradu kuat sehingga rahangnya terlihat kokoh.

Dia ke sini mengunjungi siapa?

Terkadang ia harus berpura-pura menjadi sosok pembenci saat melihat tangisan jatuh karena menangisi kepergian, termasuk dirinya sendiri. Ia membencinya sebab kesabaran yang ia miliki tidak pernah bisa cukup ada untuk senantiasa merelakannya.

Tatapan mereka bertemu pada satu titik nama seseorang yang tertera di sana, cukup lama ia menatap nama itu. Dan pada saat melihat air mata gadis itu jatuh, Evan merogoh sesuatu dari dalam saku yang terbungkus plastik.

“Meratapi yang telah pergi, memang menyakitkan. Terkadang rindu tidak tahu waktu.”

Kalimat Evan seakan menyadarkan lamunan Pena. Sambil mengulurkan selembar tisu, bibir cowok itu kembali terkatup rapat. Ada siksa terjerat di hatinya yang berlabuh di pelukup mata lalu kemudian menjatuhkan hujan setelah gemuruh.

“Pena ...” panggilan yang keluar dari bibir Evan terdengar sangat pilu nyaris rendah.

Dengan tangan bergetar, gadis itu menerima selembar tisu yang diulurkannya yang kini jarak di antara keduanya terhapus saat Evan berjongkok bersanding dengan Pena. Tanpa menoleh sedikit pun cowok itu menengadah menatap cakrawala, seolah langit pun mendung tidak sanggup menahan bebannya.

Keadaan menjadi hening, tiba-tiba tanpa kata mereka terhipnotis oleh keadaan, bermain dengan kata seandainya kepergian dapat direnggut kembali. Iya, memang begitu, seseorang yang telah pergi tidak bisa kembali lagi. Dan jika kembali, mungkin tidak akan seutuhnya seperti sedia kala, ia mungkin berbeda. Kita hanya akan dihadapkan dengan dua insan asing yang saling melupa, tidak tahu apa-apa dan berjalan selayaknya hidup dalam ilusi.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now