Catatan 7; Seikat Marigold

83 12 0
                                    


Kali ini aku pamit
Kau masih mengharap restu langit
Bahwa saat hadirmu terasa hangat
Aku justru memilih mengikuti sebagian langkahku yang lambat
Pun aku lupa bahwa langkahmu seolah tergesa
Bahkan tak sempat aku catat. 


***

Itu langkah milik Pena dengan sepatu krem-nya menuju ruangan Bu Ina. Tidak pernah merasa kapok meski secara nyata beliau telah mengusirnya. Belahan pintu coklat ruang jurnalis terbuka, tanpa ragu Pena mengetuk pintu dan ada seseorang yang melihat kehadirannya dengan tatapan sangat mengejutkan. Seseorang yang pertama kali ia lihat adalah Eza. Cowok itu tidak sendirian, di sebelahnya ada gadis yang tengah tertawa bersamanya.

Gadis itu berdeham. “Sorry ganggu. Aku cuma mau ambil barang.” 

Tawa yang berlangsung di ruangan sana seketika lenyap dengan ucapan hangat Pena sontak membuat ilusi mereka tersadarkan dan melunturkan raut senyum di antara keduanya.

“Kamu ngapain ke sini?”

Pena menghindari sapaan Camelia yang memandangnya curiga secara bergantian memandang Eza lalu beralih menatap ke arahnya lagi.

Terjebak untuk yang ke sekian kalinya berada di antara mereka, Pena segera melenggang mengambil potret hitam putih yang menampilkan sosok seorang bapak tengah duduk di kursi putih sambil memegang sebuah gitar, di belakangnya ada banyak alat musik dan berbagai buku tersusun rapi pada rak putih sebagai background.

Ruangan sudah semakin memanas. Bagaimana di depan matanya Camelia seperti sedang memanfaatkan situasi, seperti kalimat pujian Camelia untuk Eza sambil bergelayut manja di lengan cowok itu.

“Bukankah ruangan ini sudah bukan milik kamu lagi, Pena? Tapi maaf aku nggak bermaksud untuk melarang kamu main ke sini, kamu berhak dan Bu Ina tidak melarang kamu.”

Jika membalas semua tutur mereka, Pena sudah tidak kuasa. Alih-alih sekarang lebih memilih mengalah. Mengalah bukanlah menyerah tetapi hanya memberi celah bagi orang yang ingin membelah nasib. Pena tidak seegois yang dipandang dari sudut mata orang lain. Nyatanya ia berbeda.

“Nggak ada urusannya dengan ruangan tahta ini. Sebab ruangan ini tidak ada apa-apanya sekarang. Yang harus kamu tahu itu, kamu diberi kesempatan untuk merebut semuanya dari aku.”

Pena menjatuhkan pandangannya pada foto yang kini digenggamnya sangat erat. Tidak ada yang pernah berubah tiap kali memandang foto usang itu, dunialah yang telah mengubah segalanya dan menjadikan sudut pandang kepedulian orang-orang tidak terlihat olehnya.

“Termasuk Papa aku, semua perhatiannya kamu ambil Camelia. Tapi nggak masalah ambil saja, dia—hanya Papa tiriku.” Pena berucap, senyumnya tersimpul seraya tidak ada keterpurukan di matanya. Menerima seseorang yang baru setelah Ayah memang sulit. Membahas sosok Ayah tidak akan pernah bisa tergantikan.

Untuk itu, Pena berhak atas pengambilan seseorang yang mati-matian ia terima sekarang. Namun, semakin sulit dengan sikap Papa semuanya hancur saat datangnya Camelia dalam hidupnya.

“Pena ternyata lo di sini. Mana minuman gue?”

"Ini ada kok, hampir aja kelupaan."

***

Bola dengan corak biru kuning itu menggelinding ke satu arah, cowok itu berdecak harus mengejar bola voli. Kecepatan bola semakin lemah ketika bola terhenti dekat kaki seseorang yang tengah duduk di kursi lapangan, di mana pandangannya tidak terlepas pada hamparan rumput juga senja yang perlahan menjemput langkah Evan.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now