Catatan 21; Yang Tinggal; Pergi

17 6 0
                                    

Mencintaimu aku pernah
Mencintaimu adalah riuh sungai yang bergemuruh
Di balik riak-riak air yang marah

         Padaku cakrawala berbisik lembut
Kau adalah perpaduan siut dan bising laut
Digiring pada barisan berkabut
Serupa langkah-langkahku yang kian tersesat
Serupa kalimat-kalimatku kian tercekat mengucap taubat
Sampai nanti semesta bersiasat untuk kiamat

Mencintaimu aku pernah
Merengkuhmu aku tak pernah
Aku adalah buih-buih lusuh
Pun dalam takdir
Aku adalah hulu sedang kau adalah hilir
Mencintaimu aku hanya, menjadi radiasi-radiasi hancur.

 
***

Siut angin pagi terdengar berbisik lembut menembus tirai-tirai putih tipis di jendela itu. Mentari menyembul di balik celah-celah pohon membentuk garis-garis lurus memasuki pagar rumah Pena. Di bibir jendela, gadis itu memandang lepas puncak pohon angsana yang rimbun di depan sana, dihirupnya aroma segar yang kemudian diembuskannya perlahan. Diliriknya sebuah biola di atas meja belajarnya. Ya, biola milik Evan yang sudah ia hancurkan dan mengakibatkan cowok itu tidak ikut kompetisi sekolah. Senar-senar putus itu telah diperbaiki utuh seperti semula, meski bagi Evan semuanya tidak terasa utuh. Lantas, gadis itu mengambil biola cokelat dengan ukiran huruf  E di bagian ujung biola.

Pena tak pandai memainkan musik, ia hanya ingin mencoba menggeseknya pelan. Nada-nada indah menggema di ruangan,  lalu sekejap ruangan itu disekap hening. Permainan berhenti namun pikiran Pena justru sebaliknya. Ada kalimat-kalimat riuh di kepala namun sangat sulit ia ucapkan.

Hari ini, seolah hari baru tidak ada beban, tidak ada dendam, amarah atau rasa redih. Semuanya seperti baru. Hari ini benar-benar baru. Kosong dan akan memulai hari yang benar-benar baru.

"Pagi, Pena Irdina Margaretha!" sapa lelaki yang duduk di atas mobil hitam itu tatkala Pena membuka pagar rumah.

"Pagi juga Kak Sigit."

"Kenapa?"

Debam pintu yang ditutup Sigit cukup membuat gadis itu tersentak kaget, Pena menggeleng pelan. Pandangannya ia lemparkan pada sebungkus roti yang kini ada di atas ranselnya.

"Nggak ada apa-apa. Ternyata apa yang dikatakan Kak sigit benar. Hidup tak selalu tentang rasa sedih dan kecewa, ada hal-hal yang harus kita relakan pergi bersama waktu. Kita tidak pernah tahu kita akan sehebat apa. Dan hari ini semuanya terasa lega, tanpa beban marah atau mungkin kecewa. Hanya saja satu rasa yang aku rasakan saat ini. Aku rindu. Rindu Mama."

"Pulang sekolah nanti aku akan ke rumah Om Irham."

"Yakin nggak bakal bikin rusuh di rumah Om Irham, ingat kamu sudah diusir dari rumah itu. Aku ikut ya, takut terjadi sesuatu. Camelia ... dia sangat bahaya. Kondisinya lagi kurang baik."

"Nggak, mungkin beberapa hari ke depan keadaannya akan membaik, Mama akan bercerai dengan lelaki itu dan keluarga Camelia akan utuh. Lagian sejak dulu pernikahan Mama hanya sebatas kontrak kerja, cinta Mama untuk Ayah tidak bisa digantikan oleh siapa pun."

Sigit memandang tak percaya, "Tante Tantiani udah ngomong sama kamu?"

"Selama ini aku buta, aku pikir setelah Mama menikah cinta Mama kepada Ayah akan luruh dalam waktu yang singkat itu, namun ternyata tidak. Aku pikir Mama sudah lupa dengan rumah peninggalan Ayah. Tapi ternyata Mama sering datang ke rumah Ayah, aku tahu saat Mama suka pergi dari rumah Om Irham dan ternyata Mama pulang ke rumah. Aku nemu makanan basi kira-kira dua hari tepat saat Mama pergi dari rumah Om Irham, aku jadi nggak merasa anak yang baik."

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang