Catatan 28; Pada Angka-angka

13 5 0
                                    

Pada angka-angka itu aku bertanya,

"Pantaskah aku memaki waktu dan tak perlu memintanya untuk menyatukan kisah yang terpisah?"

Tapi, waktu terus berputar seperti enggan menjeda sepenggal jarum hitamnya

Bolehkah aku mencobanya sekali lagi?

Di pertanyaan kedua, ia tetap melenggang

Lalu apa arti kesudahan ini? Adakah yang lebih manis daripada perpisahan? Seolah nanti kita tak lagi dipertemukan waktu

Dan mugkinkah nanti dipertemuan, kita akan terlihat berbeda? kita sudah mengenal tanpa kata 'saling' dan hanya sebatas namamu yang kubawa tanpa sebuah wujud.

Jadi, jika aku melupa tolong ingatkan aku.

***

Lautan dan langit adalah satu objek ternama yang hanya terikat oleh satu warna. Yang saling bercermin dari kejauhan. Yang tidak pernah mengering.

Deburan ombak saling berkejaran membasahi kaki seseorang di sana. Seorang pemuda yang tengah duduk menatap lautan lepas. Cowok itu menatap kosong hamparan lautan biru. Iris matanya tidak teralihkan kepada senja yang perlahan menghilang tertelan kegelapan.

Evan menahan rintih, sudut bibir cowok itu terpaut sebuah senyuman getir. Seperti tengah menelan sebuah penyesalan. Ia menyesal. Tapi, semakin mengubur sesalnya justru dirinya terbawa ke dalam belenggu ingatan kelam. Tentang kepergian yang disaksikan telah lalu yang kemudian ditarik kenestapaan.

Hangat senja masih bisa dirasakan hingga ke sela-sela jemari yang kini cowok itu mengenggam erat sebuah buku. Tatapnya kosong yang kemudian diisi oleh setetes air mata mengalir di pipi.

Belenggu ini menitipkan rindu, sayatan perih di hati mengulang sekisah ingatan yang terpatri.

Awan telah mengubah sapuan warnanya. Langit semakin menjingga lalu perlahan menggelap menemani sisa rapuh yang bersemayam. Gurat indah itu justru mengenalkannya kembali pada gadis itu.

Bersama terjangan gelombang ombak ia memekakan pendengarannya. Pada akhirnya, menyadari kepergian seseorang dari tempat ini ternyata mengumpulkan penyesalan yang tidak berujung.

"Maaf, gue menyesal," ucapnya pelan, tenggorokannya seakan tersumpal oleh batu besar. Ombak kian menerjang terumbu karang yang hanya menerima hempasan-hempasan keras lantas akan mengikis seiring waktu.

Perih di kedua matanya terkumpul kemudian menghantam dada kirinya, sakit yang begitu tersayat melebihi pisau sebagaimana benda itu tertancap perih menusuknya.

Gemuruh hati seakan menyesakan jiwa. Jika ini adalah tempat sesungguhnya; mungkin dari awal ia tidak akan pernah memulainya. Tidak akan pernah menemukan ruang dan mengikuti poros waktu.

Evan tertawa, menyempurnakan torehan di hati. Seperti gemerisik pasir putih, ia ingin mengembalikan putih dan membiarkan gadis itu menorehkan semuanya dari awal.

Satu langkah, ia mulai mengarah pada besi di ujung dermaga yang nampak licin dan berkarat. Ia terduduk setengah membungkuk menyatukan kedua jemari yang semakin membiru.

Suara riak air nyatanya mampu meredam risik pikirannya.

"Aku kembalikan kisah ini, kamu tidak mungkin dikenang tanpa ini. Hanya ini yang bisa aku tulis kisah kamu dari sudut pandangku. Kamu terkisah di setiap lembar buku; sayangnya kisah kita terpisah terbasuh oleh gemuruh .

Kalimat itu terjaga sampai sekarang melekat pada memorinya; berhambur terbenam pecah di antara celah kata yang terpatahkan. Lembaran buku itu tidak layak untuk dikisahkan. Desir angin menerpa, membuka lembar demi lembar buku. Dan Evan hanya meratapi wajahnya yang tergambar di sampul buku abu itu.

Menyembuhkan luka ini sendirian dan menjalani sekisah yang seharusnya ada. Tapi mengapa hatinya seolah menentang semesta?

Garis wajahnya muram terhias jingga dan gemerlap, menyesal dengan kenangan yang masih berserak. Ia adalah setitik tinta yang terkisah direlakan untuk menempat bersama ribuan kelam.

Ia tidak pantas menjelma sebagai tokoh dalam sajak-sajak sederhana yang ditulis oleh gadis itu. Sebab, sajak itu terlalu indah dengan bingkai diksi dari jemarinya.

Andai waktu itu ia tidak pernah terpana pada kertas yang Pena buang sehingga gravitasi kian menyeretnya. Begitu banyak penyesalan terjadi, ribuan manusia hidupnya terlalu dipenjara oleh penyesalan dan manusia rupanya sangat ceroboh.

Lalu mengapa penyesalan selalu hadir paling akhir? Mengapa harus ada kisah bila memang ceritanya hanya tentang penyesalan?

***

Evan membuka tiap lembar buku seolah candu yang kapan saja tidak bosan untuk dibaca. Di buku itu tertulis kikis sebait tentang dirinya, Evan merasa udara ruangan semakin mencekamnya.

Seperti dingin malam ini membelai lembut tubuh Evan hingga pikirnya berlayar jauh, menemukan sekelebat bayangan gadis itu tengah menangis tersedu, tawanya tenggelam bersama kabut tipis. Wajah sendu Pena terlintas di pikiran. Garis tawanya ... dan apa pun yang terjadi semua nyaris terlihat di sudut matanya.

Hening mengisi semua kekosongan hatinya. Lampu belajar di sudut meja meredup seolah tak mampu menerangi. Kemudian Evan mendonggak menatap langit-langit rumah memejamkan mata dan membayangkan Pena yang saat ini ada di sebelahnya, melukis cerita panjang dan mendekap waktu agar nanti tidak ada namanya perpisahan.

"Van, kenapa lo murung? Nggak tega lo ninggalin Bandung?"

Suara seseorang menggema dari balik pintu. Dan sejak kapan pintu kamarnya terbuka lebar? Evan menekan stop kontak lampu sehingga ia bisa melihat jelas orang yang tanpa permisi memasuki kamarnya. Evan memalingkan wajahnya sambil bergumam kesal.

"Lo juga hari ini ninggalin rumah yang udah dikasih Ayah."

"Gue mau tinggal di rumah almarhum orang tua gue aja. Lagian di sana dekat sama kampus nanti biar pas lapar gue bisa pulang." Eza merentangkan tangannya lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

"Iya makan deket giliran pas ditagih tugas paling deketkan, lo? Mau kabur ke mana palingan ngumpet di dalam kulkas."

"Ya nggak gitu juga kali." Eza mengetuk-ngetuk dagunya, belakangan ini sikap Evan terlihat berubah. "Kalau akur gini enak juga ngomong sama lo jadi kangen deh."

Mendengkus kesal Evan melangkah mendekat pintu kamar dan membuka pintunya lebar-lebar. "Keluar lo! ganggu gue aja."

Dengan malas-malasan Eza bangkit setengah menggerutu. "Udah ngabarin Pena belum? Lo nggak pergi ke luar negeri si tapi kesannya suka sedih kalau mau pergi. Gue mau nangis sekarang aja deh. Tante Dian hiks ... "

"Nggak waras."

Evan langsung menutup pintu mematikan lampu dan hanya sinar pantulan laptop dari sudut kamarnya. Bayang-bayang pohon yang tersorot oleh sinar rembulan sedikit bergoyang-goyang, lalu terpaan angin itu sangat menyiksa. Tak ada kabar apa-apa hari ini, dan kemudian cowok itu meraih ponselnya.

To Pena :

Besok. Jangan lupa, gue harap lo mau denger kalimat gue yang terakhir sebelum pergi.

Tapi apakah berbicara pada layar yang menampilkan huruf-huruf akan mendapat jawaban nyata? Menanti Pena membalas dengan jawaban pasti. Sementara jarum jam terus bergerak, ia terus menatap layar tapi matanya sudah terlalu lelah. Maka perlahan mata cowok itu terpejam seakan melupakan rasa sesalnya.

***

Tidak adakah yang ingin kamu sampaikan hingga di penghentian ini?

Jika tidak ada, maka aku akan melenggang lebih jauh mengenyam patahan kata yang bisa kutulis lagi di sini.

See

Ayu Intan

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora