Catatan 11; Penentangan semesta

76 9 0
                                    

Semesta tau hidupmu berat; ia tidak akan membebankan lebih banyak lagi, sebab lelahmu yang disuguhkan adalah kenyataan fana yang harus kamu pikul meski teramat menyiksa

Yang sejak itu aku tak tau, kamu tak semudah yang kuterka.

***

Ruangan ini memang tidak pernah bersahabat dengan Pena. Semenjak dua tahun ke belakang, keadaan rumah ini memang tidak pernah ingin membaik. Hanya tik-tok jam mengisi kehampaan di ruangan bersahut dengan alat makan yang berdenting.

Semua orang sibuk dengan hidangan sarapan pagi. Tadi, suara hempasan gelas di atas meja sempat memecahkan imajinasinya. Pena tahu bahwa Papa sedang tidak baik-baik. Sedang Camelia dan Melina duduk angkuh menyaksikan keadaan yang mulai mencekam.

Saat dirinya meneguk air putih, iris Pena tertuju pada Papa yang melemparkan tatapan tajam ke arahnya.

"Apa jawaban kamu tentang tawaran Papa?"

Tidak peduli! Dan Pena bungkam enggan membuaka suara, sebelum akhirnya ia meletakkan gelas lantas mendorong piring menahan kalimatnya. Sesaat ia memandang raut wajah Mama yang selalu menghindari topik ini. Iya, memang siapa yang ingin terus membahas tentang masalah yang sama tanpa ada unsur penyelesaian?

"Saya tidak mau," ucapnya menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya pun menjauh dari alat makan.

"Ini karena kamu terlalu keras sama Pena." Kali ini Mama menyahut, raut wajah Mama muram seolah amarah yang tertahan di tenggorokannya tidak pernah terucap lepas.

"Kenapa mata kamu sembab? Menangisi mimpi kamu yang belum kamu terwujud? Sampai kapan pun tidak akan pernah terwujud."

"Ma, Pena pamit!" Begitu ucapan Pena terlontar, ia meraih tangan Mama berpamitan. Gadis itu tidak bisa meluapkan kata-kata yang membatu di dada.

"Dan saya tidak pernah berharap kalimat persetujuan anda Tuan Irham Novandi. Anda keras saya akan lebih egois. Karena ambisi untuk sebuah mimpi itu penting."

Gadis itu meraih tas, meninggalkan ruangan. Tidak ingin mendengar keributan. Ia tidak ingin hadir di antara lingkaran meja di mana kursi itu terlihat kosong jika saja Mama yang menyuruhnya duduk di sana. Rasanya seperti sosok asing yang diterima dalam hangat yang kian memudar. Hangat yang terlihat hanya sebuah kepalsuan.

Gadis itu hanya sebuah nada yang kosong saat tangan Papa mengulurkan tangannya lalu nada dalam dirinya seolah berirama menyanyikan riuh luka yang menggerogoti.

Prang

"Kamu pikir dengan cara dia seperti itu pantas dibiarkan?"

"Kamu yang terlalu berpihak kepada Camelia. Sedangkan Pena, kamu tidak kamu pedulikan."

Serangan sesak di dada menghantarkan sayatan yang sangat pedih. Tempat mana lagi yang akan ia singgahi saat ini? Ia telah menjelajah sejengkal demi sejengkal lautan luka. Matanya semakin perih tak terobati.

Sembab di matanya terhias masih membengkak, ia tidak peduli. Gadis itu berlalu di balik pintu menulikan suara-suara yang terekam oleh satu ingatanya yang tidak bisa dirangkai kembali dari awal.


***

Pena berusaha menetralkan segala upaya jemari dan otaknya satu frekuensi. Sibuk mencoret-coret kertas berusaha menemukan kata-kata yang bisa mengisi baris-baris buku. Alih-alih gadis itu masih memikirkan kejadian tadi pagi.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now