Catatan 3; Catatan Usang

100 12 1
                                    

Catatan usangmu telah menuntunku berkelana
bersama keruhnya banyangmu
hingga perlahan memudar
tanpa menunggu sebuah irama dan tawa.
Semu wajahmu kauredam 
pada lelah yang kau selipkan.

***

Gadis itu membereskan alat tulisnya. Hening ruangan teralihkan dengan suara temannya yang sedari tadi diam-diam tak saling sapa. Sampai akhirnya Camelia membuka suaranya sambil melambaikan tangannya tergesa.

Bye, aku duluan pulang Pena soalnya ...”

“Pulang bareng Eza lagi?” Pena menghentikan cepat kalimat Camelia. Panas seketika menyerang kedua mata, sementara jemarinya sibuk menekan ujung pensil sampai akhirnya patah. Tatapnya terpaku menyaksikan binar di wajah Camelia.

Menyadari seseorang yang datang dari balik pintu, dagu Pena terangkat. “Udah sana pergi! Jangan manas-manasin deh!”

“Eh, Evan kayaknya baik juga. Kapan-kapan kita kenalan sama dia, siapa tahu aja bisa mengobati luka kamu.”

Hampir saja tempat pensil biru itu melayang ke arah Camelia, padahal gadis itu sudah berlari menghampiri Eza di depan pintu, lengannya digenggam erat oleh Camelia. Semua perlakuan temannya tidak lepas dari pandangan Pena. Jalaran yang menyayat hati kembali menyerangnya. Punggung cowok itu semakin menjauh terdengar juga tawa hangat Camelia. Tidak seperti dirinya hanya bersandiwara tanpa pernah dikenali siapa pun.

“Selamat bersenang-senang!” Setengah bergumam Pena meraih gitar yang tergeletak di meja lantas meninggalkan kelas yang semakin hening.

Ada nada-nada yang tersamar menarik langkahnya ke ruangan musik. Penasaran, dari jendela Pena mengintip dan ternyata ia melihat seseorang yang tengah memainkan biola.

Evan.

Nama cowok itu terngiang dalam ingatan Pena. Irama yang terdengar berhasil memekakan sekitarnya. Hidung mancungnya terukir di lekuk wajah Evan dan tangannya lihai memainkan biola. Irama efeufoni, itu terlalu dinamik bagi Pena, sayang bila dilewatkan.

Cowok itu seperti tengah memulai perjalanannya ke tempat ini. Lukanya disembunyikan terlarut menjadi sebuah lantunan nada-nada yang dinyanyikan lewat gesekan benda itu. Pena menyukai bagaimana cowok itu mengenalkan keangkuhan lewat beku tuturnya.
Rendah nadanya tidak membuat satu semesta pun menyapanya. Ada sebuah dinding terbentang membenamkan siapa pun yang ingin singgah di sisa lelah sebagai penawar.

Brak

Hempas pintu terdengar mengejutkan lalu menyadarkan lamunan yang hanyut ke dalam situasi merayu. Evan tidak lagi dalam pandangannya. Di dalam ruangan tidak ada orang yang memainkan biola. Tapi Pena yakin tadi di situ Evan tengah memainkan biola. Pena mulai memikirkan segala kemungkinan yang terjadi atau ia tengah mengalami hal mistis. Sontak mata gadis itu melotot menutup wajahnya.

“AAA ... SET—” Mulut Pena terbuka namun terkatup rapat lagi saat tangan seseorang menepuk bahunya lalu di hadiahi sebuah pertanyaan menohok.

“Ngapain lo?” tanya Evan tanpa ekspresi.

“Anu ... aku mau masuk, permisi.” Pena menunduk menghindari tetapan tajam Evan, yang setelah itu memutuskan kontak mata dengannya. Punggung Pena telah berlalu ditelan sunyi ruang musik.

***

Ruang-ruang kosong ini terisi oleh nada-nada yang tersimpan rapi. Perlahan Pena menarik kursi dan mengabaikan biola milik Evan yang dibiarkan tergeletak di atas meja, meski tiap gerakan tubuhnya ingin sekali berbalik melihat benda itu. Ia mengeluarkan sebuah notes kecil dari sakunya lalu tangannya mulai memetik gitar biru yang berada di pangkuannya. Gitar ini adalah sejarah bagi Pena sebelum mengenal tulisan, karena nada Pena memiliki imajinasi kecil hingga sekarang ia dibuat gila dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan sastra.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang