Catatan 24; Labirin

18 5 0
                                    

Kita sudah paham bahwa nada adalah suara dari setiap insan yang tinggal di bumi. 

Kamu berbicara tentang rumah yang serupa labirin dan kota ini adalah persinggahan menyakitkan; begitu kamu berkata.

Mungkinkah kalimatmu mampu memecahkan labirin itu?

Evan, aku rindu namamu tertulis dalam catatanku yang kini telah kulangitkan.

***

Simfoni nada-nada riuh bersahutan dengan kelip lampu menerangi lapangan yang membenamkan serpihan kata di bibir mereka terpenjara. Mereka membisu dan menikmati mimpi-mimpi malam ini melarut satu nada di udara. Berteriak atau menangis adalah pilihan.

Sayup-sayup instrumen mengalun, menyamarkan suara langkah gadis dengan baju kemeja putih yang digulung hingga sikut dan rok span yang menjuntai hingga betisnya. Sambil menyampirkan blezer hitam di bahunya ia berjalan tergesa menuju lapangan. Rambut pendeknya dibiarkan menutupi sebagian wajahnya menutup kemungkinan malam ini, ia tidak bisa dikenali.

Pena sudah memikirkan keputusan untuk datang malam ini. Selepas lelah ia bersandar pada dinding kelas yang kehilangan legam, sebab lampu menyelinap berpendar menghadirkan juta pancarona menyinari ruang kelas. Juga dari celah-celah bunga kertas yang mengintip masuk ke dalam ruangan.

Sesekali gadis itu bergumam merutuki keheningan memeluk pendengarannya. Ada bait yang tak bersuara, seolah instrumen itu tengah mewakili sahutan bernada di hatinya.

Di sana Pena sendirian masih dengan mata terpejam. Ada banyak ingatan yang mengganggunya saat ini setelah hari kemarin, seperti angin lalu yang tak pernah menyentuhnya.

Dari mulai karyanya bahwa Bu Ina dan Auretta telah melakukan kecurangan. Beralih lagi dengan keluarganya yang sudah tak beraturan, terbongkar sudah sandiwara Papa tirinya.

Dan sekarang ucapan Reva berputar, bagaimana ia mengatakan Mamanya adalah selingkuhan Papanya Auretta. Siapa yang menerima cacian seperti itu?

Derap langkah gadis itu menyelinap di antara riuh dan orang-orang yang menikmati ramai. Tak ada tawa atau tangis, semuanya hanya ada satu ekspresi tak terbaca.

Tawa mereka yang dilebur dengan tangisan, begitu juga sebaliknya. Namun salahnya, Pena juga hadir di tengah bising yang perlahan mereka menarik napasnya dalam-dalam, menarikan lengannya di udara dengan tempo lamban. Di udara cahaya simpang siur tak beraturan membuat semesta menjadi lebih terang. Padahal tanpanya semesta tetap mempunyai emisi.

Coba kau tunjuk satu bintang

Penyanyi itu melantunkan bait lagu dan dalam hitungan detik lapangan telah menjadi lautan blitz. Semua orang merendahkan suaranya mengikuti alunan irama seorang penyanyi di atas panggung. Tangan mereka terangkat ke udara menggapai langit di bawah mega-mega yang telah beranjak.

Sebagai pedoman langkah kita

Seperti lantunan lirik lagu, orang-orang mempunyai pedoman bagi hidupnya. Tapi lain dengan Pena tak ada pedoman yang menuntunnya pada satu arah mana pun. Pena kehilangan arah dan senja yang menuntunnya berjalan, sudah hilang dari permukaan. Hingga Pena tidak mendapat satu sinar pun saat memijak membuat keseimbangan kakinya melayang di udara.

"Gue di sini."

Suara seseorang bersemilir di pendengaran Pena dan kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Aroma parfum daun mint dan teh tercium berbaur dengan sahut napas Pena yang tertahan. Pena mengenal kembali tangan kukuh cowok itu yang tengah menatapnya intens. Tepat jemari cowok itu bertaut dengan jemari Pena yang belum bisa berdiri tegak.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now