Catatan 22; Ruai-ruai kosong

15 6 0
                                    

Ruai-ruai kosong
seperti langkah-langkahmu yang bergulir
tak mengenal arah

Ragumu naif

Seperti desah ombak di lautan malam,
tiap kali kau datang menepikan segenggam sepi
yang kurangkai menjadi sekeping nada.

***

Putaran waktu seakan lupa bergerak pada satu arah. Gadis itu membisu di tengah riuh pendapat yang saling bersahutan. Diam dan bahkan mendengarkan adalah cara terbaik. Barangkali diam adalah cara terbaik tenggelam dalam kata. Barangkali, diam adalah cara terbaik menyimpan segudang kata untuk kemudian meledak dalam satu waktu.

Embusan napas Pena terbuang gusar, begitu jemarinya melempar pensil ke atas buku. Sekarang Pena pura-pura menyibukan diri membaca buku sejarah. Sebab ruang kelas terasa asing, teman-temannya masih setia berbincang tentang cerita yang tersebar akhir-akhir ini.

Yang Pena benci, mereka tak pernah ingin mengerti tanpa mendengarkan. Menyimpulkan tanpa ingin membaca.

"Orang kayak kamu itu pantes dibenci Pena. Udah banyak kejahatan yang kamu lakukan ke kita semua. Pembohong ulung. Dasar plagiator!"

Mendengar kalimat itu, Pena terdiam. Ia berada di situasi yang mencekam, refleks Pena mendonggak mengalihkan pandangannya dari tatap Reva yang sedang menatapnya intens.

Namun, ia sudah paham arti kalimat Reva. Jika masalahnya terletak pada dirinya, mungkin juga masih tentang kemarin menyangkut soal Pena yang berangkat bersama Sigit.

Pena menutup buku dengan kasar, lantas bangkit meninggalkan kelas. Sepanjang lorong ia memekakan suara yang tidak jelas di pikirannya. Sepasang telinganya sudah memanas. Apa saat ini orang-orang layak membencinya?

Sejak mimpinya pergi, Pena sudah berteman dengan kesendirian di bumi ini. Tapi, perlahan-lahan orang yang hadir kali ini telah membencinya. Bagaimana Reva mati-matian menyimpan perasaan pada cowok itu. Tapi Pena tidak bermaksud untuk meregangkan.

Sementara di lorong kelas, Pena mendapat tatapan murid-murid. Ia berlari karena telinganya tak mampu meniadakan perkataan mereka.

Perlahan-lahan langkahnya terseret ke ruangan yang sepi tanpa suara apa pun. Suara apalagi selain sedu yang bisa terdengar.

Di sana ia duduk megenggam pulpen, mencoret-coret buku. Tangisnya tak reda seperti saat hujan enggan menyapa penghuni bumi. Tiap kata dari bibirnya tak akan pernah bisa menutupi kesalahan. Mereka memaki dan Pena benci tapi nyatanya ucap mereka adalah kebenaran mutlak.

Walau rahasia yang selama ini terkunci di bibir. Mengapa harus secepatnya ia dengar? Padahal ia belum mampu menerima kabar itu. Luka hadir dan menjalar tanpa mengenal siapa tuannya. Pena menulikan segala nyanyian alam yang semakin membawanya tersungkur ke dalam lubang derita.

Penglihatannya kabur, ia berlari ke arah lapangan. Tersungkur, ya tersungkur tak peduli dengan semesta yang menertawakan.

Gadis itu melawan terik dilapangan di mana ia bisa melempar bola voli, hingga tanpa sadar setelahnya siapa yang akan marah. Tatapnya semakin kabur dengan segala kekuatan melorot tak kuasa menahan beban tubuhnya.

"Pena gue mau ngomong sama lo."

Panggilan yang kembali terasa asing di telinga gadis itu, kini  terdengar kembali nyaring seperti nyanyian yang sempat hilang. Pena menatap, memalingkan, dan semakin jauh meratap.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें