Catatan 13; Petaka

71 7 1
                                    

Sejak awal aku sudah menyiapkan ruang khusus bagi siapun yang ingin menyakiti,

Maka, izinkan aku mencumbu sesak dan memeluk puing kenangan pahit; biarkan aku menikmati lalu mereguknya hingga terlelap dalam gulita.

***

Hening mencekam keduanya. Garis tawa Pena tidak lagi bersahut kemudian laju mobil hitam Reva memelan, berbelok memasuki gerbang rumah dengan pagar yang terbuka lebar.

Detik begitu cepat merebut bahagia Pena dan matanya bisa menyimpan tawanya. Mendadak perasaannya berkecamuk seperti hari-hari yang mengharuskan gadis itu mengakui satu kesalahan dari jutaan dosanya.

"Udah jam sepuluh." Gadis itu menatap Pena seakan sesalnya percuma. "Papa kamu—"

Senyum Pena terkulum, bahkan tawanya sedikit teredam oleh dentum pintu mobil. "Jangan takut selama apa yang kita lakukan benar. Aku hafal Papa, dia layak untuk marah."

Tanpa menunggu lama Reva sudah mengekor di belakang Pena dengan tatap dan kepala tertunduk. Pena tahu kepulangannya malam ini Papa orang pertama yang menantinya.

Di depan pintu, Papa berdiri tegak menatap tajam. Saat Reva akan menyalami Papa dengan ragu sekujur tubuhnya menegang hangat cair keringat di pelipisnya ikut membanjiri. Pena yang melihat suasana semakin memburuk maka dengan cepat Pena menahan tangan Reva, sebab sorot mata Papa tidak sehangat menyambutnya. Di matanya hanya ada kobar api berkelebatan.

"Dari mana kamu, Pena?" tanya Papa menatap mereka bergantian. Jemari yang semula terselip di saku celana beralih tahta yang kini pria itu tengah bercak pinggang.

Kemudian tangan Papa sudah tersilang di dada. Amarahnya juga masih belum bisa terbendung. Pena menarik lengan Reva untuk tidak merasa bersalah.

"Pena! Jawab Papa!"

Pena masih tidak bisa bergeming sebab suara itu adalah sahabat dan telinganya sudah kebal sehingga gadis itu menarik langkahnya ingin masuk ke dalam rumah, namun tangan Papa mendahuluinya menyentuh bahu demi detik itu juga Pena terdiam di tempat.

Telinga Pena sudah memerah. Kedua matanya sudah memanas. Ia ingin melampiaskan tanpa ada seseorang yang benar-benar terluka karenanya.

Gadis itu tahu, Papa marah bukan karena mimpinya. Namun ia marah tapi juga karena membencinya yang diam-diam tidak terlihat secara kasat.

Beranda rumah riuh dengan makian. Yang Pena tahu di rumah ini, ia hanya seorang yang menumpang hidup dan Mama menjadi tameng dan alasan untuk menetap di rumah Papa.

"Kamu pikir rumah ini tidak ada aturan, Pena? Sejak kamu tinggal di rumah ini Papa masih memberikan atap ini untuk meneduhi kamu. Tapi kenapa kamu bersikap lancang seperti ini?"

Deru napas gadis itu tersengal-sengal menggantung di udara. Kemampuannya untuk mencari oksigen rasanya sulit bahkan lebih sulit dari mencari cahaya dalam kegelapan. Dadanya naik turun dengan napas semakin tidak teratur. Kepalan tangannya tidak kuasa menahan emosi saat mendengar teriakan itu menggema di telinga. Pena sakit. Sakit dengan suara keras Papa. Sakit semuanya terasa menyiksa.

Gadis itu menyipitkan sebelah mata untuk kemudian telapak tangannya beralih menutupi kedua telinga.

Ia hancur, sudah hancur dalam setiap makian Papa. Apa yang salah dan apa yang benar di dunia ini? Bila kenyataannya hanya pahit yang bisa diteguk?

"Sudah cukup! Iya saya tahu, saya hanya bagian parasit yang menyusahkan di rumah ini. Apa mau Anda? saya harus pergi dari rumah ini?" desis Pena menambah tempo dalam setiap intonasi kata.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now