Catatan 14; Pelarian Sementara

83 7 0
                                    

Ada atau tidaknya kamu dalam hidupku aku tetap terpatahkan,

Desing suaramu teredam; dan
padamu kelam aku memuja senja yang tenggelam menjeda terik

Dan denganmu aku memahami terpatahkan yang kemudian terbingkai kembali.

***


Seisi kelas terlihat lebih berantakan. Evan melirik jam tangan hitamnya yang ternyata Pak Angga belum masuk juga. Satu jam lebih berisik di ruangan semakin menjadi-jadi. Kepala Evan rasanya seolah akan pecah, maka cowok itu memutuskan untuk keluar kelas. Namun saat ingin menutup pintu kelas, Reva memanggilnya membuat Evan menjeda langkahnya.

"Van, bisa ngobrol sebentar?" tanya Reva.

"Bisa," ucap Evan mengangkat satu alisnya keheranan ia hanya mengikuti langkah Reva yang mengajaknya ke sudut bangunan. "Ada apa?"

"Pena sakit."

Sakit? Ternyata karena itu yang menyebabkan Pena tidak masuk sekolah. Evan mengangguk, mengedarkan pandangannya ke semua penjuru, pantas hari ini terasa ada yang hampa. Ia mengenyahkan, awalnya mengira hampanya hal yang biasa. Padahal tanpa Pena pun, hatinya tetap terasa ada yang kosong. Tapi hari ini berbeda semula yang meriuh terdengar luruh oleh hening tiap tatap gadis itu.

"Pipi lo kenapa? Malam kemarin—"

Kemudian, Evan mengingat Pena terlalu berat dengan jalannya dan semua orang di sekitarnya selalu menjadi sasaran utama. Kelemahannya ada pada mereka yang penuh pertentangan.

"Kacau. Semuanya terlibat," gumam Reva merasa bersalah lalu kepalanya perlahan menunduk.

Evan mengulum bibirnya, mengerti keadaan yang semestinya. "Lo kalau ada masalah lebih baik menghindar! Dan lo minta tolong sama Pena?"

"Tapi kamu juga sama, kan? Kamu malah menikmati masalah itu, bukannya menghindar juga? Iya, aku minta tolong sama dia. Segala sesuatu yang seharusnya nggak aku lakukan minta tolong sama Pena."

Skat mat. Evan terbisu, itu kalimat mematikan setelah ucapan Tante Dian.

"Aku yang salah Van, meminta Pena untuk menjelaskan kehidupan aku ke Mami. Tapi Mami tidak perlu meminta tolong kepada orang lain. Mami marah karena semalam aku pun terlibat dalam konflik Pena. Papa tirinya marah besar.

"Van, Pena nitip ini ke kamu." Gadis itu mengulurkan keresek putih pada Evan.

Mendapat satu bungkusan makanan di kantong keresek Evan tersenyum tipis meski tidak bisa menerka. "Thanks."

***

"Bullshit!"

Pada kata pertama, gadis itu memaki bumi dihentak kaki telanjangnya. Kaki gadis itu seakan menapaki bara; panas membakar hingga mengepul di kepala. Ia ingin memecahkan sayup-sayup kelakar menumpuk beban dalam jiwa. Ia ingin membentur kepala dengan guyur hujan yang justru ia alpa malam ini.

Derap langkahnya melanglang terburai belukar. Panas matanya berurai bulir maut. Sesaknya membuncah dengan patah-patah suaranya.

Pena berulang kali mengucap kata kehilangan sepanjang perjalanan yang enggan menepi pada tepian surgawi. Pena bertanya pada segenggam pasir-pasir hitam yang nyatanya bisa membutakan mata Mama. Pasir itu seperti digenggam Papa lalu dilemparkan ke atas langit menghitamkan hidupnya. Kelam, semua yang nampak putih telah menjadi sekeping arang.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang