Catatan 10; Belenggu Ikatan

81 10 0
                                    

Di jauh kenangan itu kutemukan belenggu rindu
kau nampak kelabu di antara bait lagu
yang diam menyaksikan reruntuhan peranmu
Maka biarkan aku mendekapmu meniti waktu
bila suatu saat kita 'kan dipertemukan pada satu waktu
Aku ragu ungkapan itu terlalu tabu
untukmu yang penuh segelintir debu
karena aku adalah angin yang merapuh
dan tanpa sengaja aku telah menyapumu.

***

Duduk di antara keramaian rasanya seperti mengobati hari-hari sepinya. Pena mencoret-coret kertas, sungguh membosankan. Dari kejauhan seseorang memperhatikan dan seakan tahu apa yang sedang dialaminya.

“Gimana kabar kamu setelah aku menghilang?”

Suara pemilik wajah tirus dengan mata kopi itu terdengar sontak membuat lamunan Pena buyar. Pena mendonggak membantu Reva yang kesusahan dengan nampan berisi makanan.

Mengambil sendok dan garpu, Pena menata makanannya, sedang pertanyaan Reva terabaikan. Sebab Pena merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya, jadi ia hanya tersenyum samar.

“Aku dikeluarkan dari ruang jurnalis,” cetus gadis itu akhirnya meski tiap mengucapkan kata seolah ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan, tercekat dan rasanya sesak.

“Pena, aku akan mendukung mimpi kamu apa pun itu. Tapi di sisa berani mendukungmu, aku lebih takut Papa tirimu. Kalaupun pengumuman itu ditujukan untuk kamu, harus ada buktinya dong bahwa karya kamu hasil plagiat. Mereka nggak ngasih bukti apa-apa. Jadi, kamu diam aja jangan dimasukin ke pikiran kamu percayalah semua akan baik-baik saja.”

“Iya memang. Anehnya mereka nggak ngasih bukti apa-apa. Tapi kertas aku udah dibakar, dia kasih videonya malah. Kertas aku dilempar ke tempat pembakaran sampah.”

“Dibakar? Kejam banget orang itu. Siapa sih yang berani-beraninya hancurin kertas kamu?”

“Aku nggak tahu. Tapi  mungkin semesta dan seisinya tidak pernah restu dengan mimpi aku. Tulisan aku kosong jadi wajar kejadian ini menimpa aku.”

“Atau kamu harus punya bukti, kamu punya salinan atau draf tulisannya? Kalau kamu punya tunjukkan kalau kamu nggak plagiat karya orang.”

Seingat Pena, ia hanya punya satu salinan. Di notebook-nya tidak ada tulisannya sebab waktu itu tiba-tiba datanya terhapus akibat virus. “Aku punya salinan tulisan puisi aku, udah di print dan aku simpan di gudang. Semoga masih ada.”

“Nah.” Telunjuk Reva menari-nari sontak matanya membulat antusias.
“Kesempatan kamu hanya itu, memperlihatkan salinannya kepada mereka. Dan itu asli karya kamu.”

“Iya nanti aku cari ke gudang. Nggak usah bahas itu ganti topik lain aja Rev.”

Papa sudah mengajarkan bagaimana arti mimpi yang tidak layak. Menurutnya, mimpi itu hanya ilusi yang tidak pernah bersisian dalam hidup Papa. Reva tahu tentang itu.

Sepertinya ini salahnya, sejak Mama mengenalkannya pada Papa yang seharusnya tidak pernah ada kata setuju di balik alasan sebenarnya bahwa gadis itu memang tidak sekata. Namun apa daya, semuanya sudah terlanjur dan harus mengubur mimpinya, yang dalam diamnya Pena terus menyicil mimpinya tanpa mempedulikan memar dan lebam luka yang menimpa.

Tertawa bersama orang yang tepat adalah cara Pena untuk menutupi beban dan hanya Reva yang mampu mengerti dan mendukung meski ia tidak tahu tentang mimpinya. Reva juga dilanda kesakitan yang tidak pernah Pena temukan di wajahnya.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें