Catatan 29; Bait yang ingin dikenang

15 5 0
                                    

Mungkin kamu pernah ingin menjadi bait-bait yang ingin dikenang.

Jangan!

Sekali lagi jangan!

Sebab terkenang setelah pergi hanya akan ada luka dan aku harus mereguk sakitnya.

Aku tidak ingin waktuku rapuh

karena harus mengenangmu dari kejauhan.

***

Aku adalah kesunyian yang

mendengar suara

Sebab dunia adalah kebaikan

Begitu dia berkata

Ruangan kamar itu masih terbelai oleh lagu yang bergema. Evan terduduk mencari sapuan-sapuan awan namun tak kunjung ia temukan. Ada biru yang tersusun rata di cakrawala terbentang bertemankan nyanyian burung-burung yang berhamburan dari sangkarnya, berhamburan mencari makanan atau hanya sekadar hinggap pada kabel-kabel listrik.

Evan terpaku, diliriknya jam dinding yang membuat cowok itu menghela napasnya berulang kali. Masih pagi, tapi harapnya seakan-akan senja yang sudah menua.

Semudah itukah lo buat gue menunggu? Sebab gue terlalu lemah dalam artian menunggu.

Di ruangan kamar persegi itu, semua barang-barangnya sudah tidak bertempat seperti hari kemarin. Hanya ada satu buku yang tergeletak di meja. Sinar mentari sempurna menyoroti lembar buku itu, ia meraihnya dan membuka lembar demi lembar lalu membaca bait-baitnya. Catatan Pena sempurna, tak ada kata yang menerangkan sisi gelap Evan. Harusnya ia tahu dari awal.

Namun, semuanya terlambat. Ia harus pergi dari kota ini. Jakarta adalah tujuan untuk bermimpi dan jaraknya tidak sejauh yang dibayangkan. Hanya saja Evan menyesal, ternyata tidak semua orang menyiksanya. Ada banyak orang yang peduli akan hadirnya. Seperti Pena yang mengabadikan namanya pada buku yang telah ia terbitkan.

Kali ini Evan lebih egois, demi mimpi bahkan ia rela meninggalkan semua orang yang paling penting dari hidupnya; mereka yang telah menerima Evan layak tinggal di bumi.

Hingga detik jarum jam sudah menua, setengah hari yang ia lakukan hanya duduk. Duduk dan menanti. Menanti bahwa Pena akan datang. Evan mengharap pertemuan dengan gadis itu.

Setengah hari, Evan menunggu. Waktu sangat lambat dan menyiksanya hingga ia tidak merasakan bahwa waktu terlalu cepat berlalu.

"Van tunggu satu jam lagi, mungkin Pena akan datang."

Benar apa yang diucapkan Joy, ia akan menunggu lagi. Tapi satu jam berlalu Pena tidak kunjung hadir. Apakah satu jam bagi gadis itu adalah seribu tahun untuknya? Hingga Evan harus menunggunya lebih dari itu. Sementara waktu terus berjalan dengan cepat.

***

Burung-burung telah kembali pada sangkarnya. Apakah menunggu sampai selelah ini? Tidak mungkin jika Evan pergi esok hari. Besok ia harus daftar lagi ke sekolah baru dan mulai menyusun rencana masuk ke universitas.

"Yakin kamu mau pergi sekarang?"

Cowok itu mengangguk, memaksakan senyuman masam. Bunda pun menarik sudut bibirnya mengulas senyum tipis, membiarkan Evan terus menjauh keluar rumah.

"Iya, Bunda. Ayo!" ucap Evan meraih koper dan sebelah tangan kirinya mengenggam buku pemberian Pena. Meyakinkan bahwa tidak ada waktu untuk menunggu.

"Tapi, Pena nanti nyesel kalau tidak bertemu dengan kamu. Atau kamu nanti yang nyesel, Van."

Bunda terus memperingatkan. Tapi bukan berarti kalimat Bunda menyadarkan semua keputusan Evan. Ia tetap pergi menuju halaman dan tergesa membuka pintu mobil. Bunda hanya memperhatikan dari depan pintu rumah. Lalu, Bunda berteriak, sehingga dua sosok perempuan muncul dari belakangnya.

Evan menghampiri Tante, ada gurat sedih yang terlihat di wajahnya.

"Tante bakal kangen, Van." Tante Dian mengusap kepala Evan dengan tatapan sendu. Tapi tangisnya sengaja dipendam mengingat banyak kebersamaan di rumah ini.

"Kak, jangan lupakan Jia. Kapan-kapan
Jia mau main ke sana."

"Jangan nanti malah merepotkan." Begitu pelukan mereka terlepas, Evan melontarkan kalimat ketusnya. Tidak keren kalau ia sedih hanya karena akan berpisah dengan Jia. Bisa-bisa jadi gibah nanti.

"Nanti kabarin kalau udah nyampe." Itu Eza yang tersenyum dan menepuk bahu Evan, maka cowok itu mengangguk pelan.

"Akhirnya adik gue mau pergi juga dari Bandung. Salam buat Ayah." Eza melanjutkan ucapannya setelah menaruh kardus besar terdampar di mobil.

"Van, gue kehilangan lo. Gue sebangku sama siapa coba?" Isak tangis cowok itu melirih. Tapi Evan tidak peduli, bahkan ia mengatakan Joy sangat-sangat lebay berada di tingkat paling akut.

"Lo lebay deh, ah." Evan menepis tangan Joy yang merangkul bahunya tapi Joy tetap meneriknya semakin kuat.

***

Mobil melaju, pekarangan Tante perlahan-lahan tidak terlihat. Dan senja mengiringi perjalanan. Menjemput malam yang penuh mimpi. Mega di ujung langit sana seperti mudah digapai namun tidak bisa. Jauh dan terlalu jauh. Hari ini terlalu banyak waktu yang disaksikan Evan, dari detik fajar muncul dan kepergian sang senja tidak terlepas dari pandangannya.

Sebuah penantian hanyalah sekisah tentang kepahitan. Ia hanya dituntut untuk mengulur waktu. Evan tak percaya akan menunggu. Harusnya Pena membalas jika sebenarnya ia tidak bisa datang hari ini tanpa ada tanya yang berkeliaran di kepala.

"Senjanya cantik, tapi muka kamu murung gitu."

Suara Bunda bergema. Evan tahu jika beliau tengah menghiburnya. Jika tidak boleh sang waktu menemukan, Evan minta beberapa detik saja ia ingin berpamitan pada Pena. Sebelum semuanya terlambat dan terlalu jauh diratapi.

"Bunda mengerti, terkadang penantian tidak harus kamu dapatkan jawabannya secara kontan. Ada kalanya kamu harus dituntut untuk menunggu beberapa waktu lagi. Kamu perlu menunggu lagi, tidak mengapa kamu bosan tapi kamu harus yakin bahwa sang waktu yang akan menemukan dan kamu akan tahu jawabannya nanti. Percaya nggak?"

Bukan percaya atau tidak. Tapi ini tentang penyesalan. Evan tidak ingin menjadi sosok yang dikenang lalu pergi setelahnya dan tidak pernah melihatnya. Tidak mungkin pergi dengan membawa segudang sesalnya.

Binar mata Evan terlihat terang, tapi mendalami kalimat Bunda itu terlalu rumit hingga cowok itu berisi keras menandinginya. Jika seandainya Pena ada di sini sekarang Evan ingin menggantikan waktu dan membiarkan gadis itu menuliskan tentang dirinya tanpa adanya sebuah catatan. Ah, sayangnya itu hanya ilusi. Pena tidak ada di sini. Pena lenyap dan yang tertinggal hanyalah sebuah catatannya.

***

Tolong, katakan kabarmu agar risauku tak pernah membunuhku. Agar nanti aku bisa melihatmu di jalan itu.

Hai, thanks yang sudah membaca.

A/n

Ayu Intan

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora