Catatan 27; Kalimatmu yang terbenam

10 5 0
                                    

Hari tak lagi sama,

di mana aku pernah melihat bibirmu terkatup rapat tanpa kata

Ataukah hari itu, semesta lupa berbisik?

Hingga membuat sadarmu terbantai waktu untuk mengunci ceritamu?

Mungkinkah kalimatmu terbenamkan oleh satu notasi?

Kebisuanmu membebankan aku menerka segala hal.

Bahwa diammu seperti segenang air kukuh,

tapi ada saja yang ingin melihatmu rapuh

dan lidahku terlalu rumit untuk menyangkal separuh

katamu yang meluruh.

***

Pena menepiskan sahutan yang menggema di telinganya terasa meradang. Berusaha pura-pura mendengarkan permintaan maaf atas orang-orang yang menaruh segenggam luka pada tiap-tiap lembar harinya. Dimulai dari keluarga Auretta, Eza, Reva dan terakhir Bu Ina yang telah dipensiunkan oleh Pak Arkan. Bukan tidak mempercayai dengan kata maaf mereka, tapi dunia terkadang senang menipu akalnya.

Langkah Pena sudah lelah, jemarinya masih mengenggam sebuah buku. Ia duduk pada kursi yang berjajar di lorong kelas, hingga tanpa terasa mentari sudah hampir tenggelam di penghujung barat.

Beberapa kali Pena melirik jam putih yang melingkar di tangan, dan waktu terus melenggang tapi sosok yang sedang ia tunggu belum muncul dari satu arah mana pun.

Hampir saja menyerah, namun akhirnya gadis itu bangkit meskipun langkah gontainya mengikuti ke mana jejaknya tertuju. Pena menghitung jendela-jendela kelas yang mulai meremang. Derap langkahnya menggema, pun semua pintu kelas sudah tertutup rapat kecuali ada satu ruangan yang terlihat pintunya masih terbuka ... kantin.

Maka gadis itu meraih knop pintu, masuk ke dalam ruangan yang hanya tersisi oleh penjaga kantin dan satu siswa yang tengah duduk membelakangi pintu. Ternyata ia tak perlu mencari sesosok orang yang tengah dinantinya.

"Van," panggil Pena melirih. Nama itu terucap sempurna dari bibir Pena sangat lembut. Lantas Pena berjalan ke arah cowok itu terduduk di kursi pojok dekat jendela, yang mana itu adalah tempat ternyaman Pena.

Evan mengangkat wajahnya memperlihatkan satu alisnya terangkat ke atas. Perlahan cowok itu menarik napasnya lebih panjang, ia mengangguk seolah mempersilakan Pena duduk.

Ada rasa canggung yang mengelilingi, sebab cowok itu tidak terlihat bernada seperti biasanya. Meski hening sudah terbiasa memeluk mereka tapi kali ini lebih dari itu. Pena mendorong buku yang sedari tadi ia genggam. Suaranya melirih dan berusaha menghancurkan semua yang membatu di dadanya.

"Ini, buku tentang kamu. Aku kembalikan kisah ini, kamu tidak mungkin dikenang tanpa ini. Hanya ini yang bisa aku tulis kisah kamu dari sudut pandangku. Kamu terkisah di setiap lembar buku; sayangnya kisah kita terpisah terbasuh oleh gemuruh."

Pena berbicara tapi bibir cowok itu terkatup rapat seolah enggan memberikan komentar apa-apa. Kedua mata Evan lekat memerhatikan inci demi inci tiap sudut buku. Mereka terdiam oleh senyap memeluk ruangan yang sudah kehilangan riuhnya. Tapi, cowok itu belum mengatakan apapun yang membuat dada Pena ikut sesak menunggu Evan bersuara.

"Pena." sudut bibir Evan terangkat memanggil nama Pena, tapi setelahnya suara cowok itu tertahan di tenggorokan sementara jemarinya meraih buku dan menimangnya. Tatapan Evan jatuh lalu memeluk hening kembali.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang