Catatan 4; Irama yang Melebur

89 12 0
                                    

Di bait-bait irama yang kamu mainkan secara rinci
justru aku mendengar seikat mimpi yang sengaja kamu kunci
tapi; sedikit menyimpan satu harapan yang ingin aku benci.

***

Bagi Evan biola adalah pelengkap, meski dengan benda itu tidak membuat angannya sempurna. Pandangannya kabur, perih meronta di kelopak mata tergenang hampir menetes. Bibir cowok itu ingin memaki tapi lidahnya terus berlari hingga kelu tak mampu berucap. Hanya sesal dan amarah yang dipendam. Rahangnya beku bergaris nyata di wajahnya.

“Kakak mau lomba? Semoga menang. Evan akan dengar puisi dan suara biola yang dimainkan Kakak dari radio.”

Ega mengangguk pelan, tatapnya lurus juga ikat rambutnya nampak serasi dengan rambut cokelatnya. “Kakak yakin pasti menang karena Evan telah menyemangati kakak.”

Putaran ingatan Evan berhenti di sana. Dulu Kakaknya ikut sebuah kompetisi musiklasi puisi. Tempat ini seperti sketsa hitam putih, seolah membentuk lagi satu ingatan membawanya ke dalam ilustrasi keadaan yang ingin terlihat mempunyai warna.

Cowok itu menikmati hal terkenang di mana semuanya bermula dari tempat ini. Kini ia tahu mengapa Ega menyukai tempat ini sebab suasananya ramah seperti tidak ingin dikenang layaknya kota-kota lain. Di sini beda, malah ia semakin terbiasa menikmati sejuknya luka bersama mimpinya.

Tatapan Evan kini beralih pada figura yang disusun sederhana oleh Tantenya. Ada gadis berusia tujuh belas tahun pada saat itu tengah duduk di antara karang dengan background pantai. Bayang jiwanya terlukis di atas pasir membaur dengan jingga dari ufuk barat.

Evan ingin berada di sana menjelma sebagai kertas yang hanya bisa dikenang saat ini. Seharusnya seperti itu, ia ada pada jajaran album dikenang sebagai namanya saja.

“Kakak berjanji akan pulang.”

“Lo bohong, katanya Kak Ega akan pulang.” Tak sadar sebuah umpatan keluar dari bibirnya, cowok itu mengacak rambutnya frustrasi.

Janji dan pulang? Pulang yang terucap adalah pulang dan bersemayam di perbaringan sana. Evan menekan senar biola semakin erat. Sayatan senar semakin mendalam membuat jemari Evan memutih. Senyum getirnya perlahan memudar. Andai saja Ayah tidak membawanya pergi mungkin ia bisa mendengar suara kakaknya hari itu; untuk yang terakhir kalinya.

Cairan hangat terasa perih mengalir dari sela-sela jemarinya. Emosinya kian meluap hingga tanpa sadar jemarinya ikut tergores biola.

“Van, minum dulu tehnya!” Suara lembut wanita dengan daster motif bunga itu menyadarkan apa yang baru saja ia lakukan.

“Biola itu indah, iramanya menenangkan bukan untuk melukai.”

Tante Dian menata gelas kecil, sekilas wajahnya terlihat di balik uap yang mengepul. Wanita itu duduk di seberang, memperhatikan Evan yang membuat wanita itu menghela napasnya lebih lama. Sambil menggeleng wanita itu mengusap jemari Evan dengan serbet. Dan Evan tahu bahwa Tante sedang menegurnya secara halus dan tulus. Dua menit berselang, gerakan Tante terhenti, darah yang mengalir di jemari Evan pun surut.

“Terima kasih, Tan.” Jemari Evan kini berkutat dengan teh, menikmati aroma menyengat, rasanya seperti ketenangan dapat menyimpan ingatan lamanya bersama larutan teh. Kerongkongannya tak lagi keronta saat satu tegukan berhasil melewatinya.

“Semoga kamu tidak akan pindah-pindah sekolah. Karena semakin kamu pindah, kamu akan semakin kaku dan tersiksa. Rasa bersalah itu tidak akan pernah pergi. Cukup ini yang terakhir kalinya. Kamu harus menyelesaikan apa pun yang terjadi di masa lalu, kamu tidak boleh merutuki masa lalu. Kita hanya perlu menerima, relakan meski itu sulit.”

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang