Catatan 15; Cony and Brown

73 7 0
                                    

Aku tidak; hidup dan mati karenamu

Tapi, kamu yang telah meniti dan membunuh hatiku menjadi sekeping tanah gersang.

***

Langit kembali membuka matanya, di atas sana ia tebarkan jingga dan awan transparan laksana es di kedua kutub. Embun-embun masih nampak basah di ujung daun yang hampir menetes, tersorot mentari seperti sebuah kristal yang bening.

Atau dirinya yang membayangkan mimpi tidurnya tadi bahwa ia sedang berada di suatu tempat yang indah. Tempat itu seperti laut yang bening, ombak dengan debur rendah dan tenang. Lahan tempat itu dipenuhi bunga krisan beraneka macam warna namun terlihat sangat besar. Dan di ujung sana, sepanjang mata memandang gadis itu melihat awan putih menggumpal halus seperti berada di atas langit yang luas tanpa sebuah tepi dan pembatas.

Namun, sayang mimpinya harus hancur saat pukul 12 malam, Mama mengetuk pintu kamarnya dan gadis itu sudah berakhir di ruang tengah dengan setengah mata kantuknya. Di sana, ceramah panjang Papa berikut makian yang tak akan ada akhirnya masuk ke telinga Pena. Lalu semuanya berakhir menjadi sebuah kesunyian setelah langkah Mama tak terdengar lagi. Di luar terdengar dua mesin mobil menyala bersamaan lalu lima detik kemudian hening. Hening dan sangat hening.

Pena masih ingat bagaimana ketika rumah ini terlihat berantakan. Dan pagi ini ia sudah siap sekolah, rencana awal pergi sekolah sepagi mungkin. Namun, niat ingin turun ke bawah gadis itu terpaksa menahan langkahnya di ujung tangga. Gadis itu menarik tubuhnya berhimpit dengan dinding.

"Mama nggak tahu semua rencananya."

"Auretta, tolong kamu berhenti melakukan semua ini. Mama mohon, jangan berbuat lebih. Kamu itu sakit jiwa Auretta."

Yang dilihatnya Pena adalah Melina tengah berusaha menenangkan Camelia di sudut ruangan. Penampilannya berantakkan sedang tangannya menarik-narik rambutnya kasar. Melina menangis di sisinya. Ada yang janggal, saat Melina memanggil nama Camelia dengan panggilan Auretta. Siapa Auretta?

Gadis itu terperanjat seketika ruangan menjadi riuh, Camelia membentak Melina. "Sekali lagi teriak nama itu aku lempar pas bunga ini. Aku benci nama itu. Jangan teriak-teriak, aku nggak suka Mama panggil nama itu. Yang sakit Mama bukan aku."

"Auretta kamu tenang!" Tangisan Melina pecah, ia berusaha memeluk Camelia.

"Mama hikss ..." Camelia memeluk Mamanya erat, ia ambruk dalam pangkuan Melina berdiri perlahan-lahan membuat Pena tidak bisa melihat wajahnya lagi sebab terhalang tubuh Melina.

"Kita ke kamar sekarang. Kamu masih bisa jalan, kan?"

Kedua orang itu sudah tenggelam di balik pintu kamar Camelia. Rasa penasaran Pena semakin berkalut, gadis itu mendekati ruang belajar Camelia yang berdekatan dengan ruang tengah.

Auretta.

Pena pernah mendengarnya berulang kali. Bahkan, Evan pernah memanggil Camelia dengan Auretta. Siapakah Auretta itu dan siapakah Camelia sebenarnya?

"Kamu nggak harus sekolah, Mama akan izin sama guru kamu."

Degup jantung Pena seolah bertalu lebih cepat. Pikirannya kacau banyak yang ingin ia terka dari bagaimana Melina dan Camelia satu rumah dengannya. Siapa mereka? Rasa penasaran Pena semakin tinggi, ia mulai mendekati meja belajar Camelia. Banyak sekali dokumen-dokumen yang tertata rapi di meja salah satunya ada sebuah berkas yang Pena kenal. Tak sadar, gadis itu hampir berteriak matanya memelotot yang kemudian perih di matanya mulai terasa panas.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang