Catatan 16; Bayang-bayang masa lalu

69 7 0
                                    

Aku ingin menjadi detik akhir dari alasanmu tersenyum

Dan,

Aku tidak ingin mendengar kabar petaka bahwa kau telah melupakanku; si lembah perantara rindumu padanya.

***

Lembayung senja semakin nyata terlukis di angkasa yang membiru berkontraksi dengan sapuan awan keabu-abuan. Ia mengubah guyuran gerimis menjadi seggenggam hujan. Rumput hijau di sana sudah dipenuhi genangan air diiringi angin yang menerpa membuat Pena menggigil. Ia terjebak di tepi halaman rumah minimalis klasik itu.

"Maaf, harusnya lo nggak pulang bareng gue."

Gadis itu menggeleng, sambil mengeratkan jaket upaya mengusir dingin yang memeluk tubuh. Lalu Pena tertawa seraya melemparkan tatapannya jatuh pada rintik hujan yang membentuk tirai-tirai kecil.

"Nggak apa-apa, justru aku seneng bisa ketemu langsung dengan Tante Dian. Aku bisa belajar lebih jauh darinya."

"Udah sampai mana nulisnya?" Evan mencibir tapi gadis itu tidak menggubrisnya sama sekali.

"Aku lagi usahain untuk revisi," kilah gadis itu pelan, mata gadis itu mengerling karena yang sebenarnya terjadi ... ah sudahlah.

Sementara hujan menengahi suara keduanya, gadis itu menopang dagu pada siku-siku gazebo. Gazebo yang berlatar kayu dengan atap genting hitam yang dikelilingi pohon tuya smaragd membentuk kerucut berjajar di seberangnya dan itu membuat Pena merasa damai di tempat ini.

"Bunda," gumam Evan pelan menatap seseorang yang menghampiri.

Cowok itu kemudian bangkit, samar-samar dari kejauhan Pena melihat seseorang berjalan menuju gazebo. Wanita dengan celana hitam panjang, kemeja putih yang bagian tangannya hanya tiga seperempat sehingga kulit putihnya nampak jelas terlihat. Rambut pendek wanita itu masih terlihat hitam, yang sebagian rambutnya terselip di belakang telinga.

Berisik hujan itu terisi oleh hangat suara Bunda, bahkan saat Bunda bertanya terkadang Evan menjawabnya tidak nyambung sama sekali, usil memang cowok itu. Bunda sangat baik, diperkenalkan pada waktu yang tidak tepat hingga Pena benar-benar merasa grogi.

"Kamu ingin seperti Ega? Pecinta nada dan aksara?"

Lalu detik itu berganti, terisi oleh cekam dan hening berkepanjangan. Namun di wajah cowok itu Pena menemukan muram yang sukar tersampaikan, kaku dalam mengucapkan kata. Ia kehilangan jawaban dan berpikir lebih keras.

"Bunda, tau dia siapa?" tanya Evan sehingga Elsa Andina—Bunda Evan—melirik Pena, ditatapnya gadis itu lekat. Rupanya Evan mempunyai sihir yang bisa melupakan kumpulan-kumpulan frasa sebelumnya.

"Dia yang menjadi perantara rindu Evan pada Bunda," terang Evan melanjutkan ucapannya.

Ya ampun! Apakah Pena sudah bisa terbang saat ini? Pipi gadis itu sudah semerah tomat muda. Mungkin sekarang ia harus jauh-jauh dari makhluk seperti Evan. Detak jantungnya seakan berhenti saat itu, maka diam-diam Pena menundukkan kepala dan pada akhirnya ia hanya memainkan jari-jemarinya.

"Van, kamu .... " aksen nada Bunda berubah, tatapanya tajam yang kemudian mencari siapa tersangka. Tepat sekali, tatapan Bunda berhenti pada Evan.

"Iya malam itu dia yang menjadi perantara rindu Evan ke Bunda. Evan peluk dia."

Peluk apaan? Ingat hanya meminjamkan bahu dan menitipkan setitik air mata. Mata gadis itu memelotot berbeda dengan Evan yang hanya memamerkan sederet gigi putihnya.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora