Catatan 19; Seputih Asap

27 6 0
                                    

Aku adalah seputih asap yang mengudara,
lesap wujudnya.
Jauh membumbung tinggi.
Sejauh bumi dengan langit.
Sejauh angka satu kepada angka sembilan.

Perlahan-lahan wujudnya menghitam legam.
Bila ia tak lagi sekata,
maka biarkan aku merangkai sebilah
kata untukmu saat-saat usiaku rimpuh di makan lelah.
Aku ingin kamu mengingatku.

***

Pada heningnya ruang kepala sekolah itu, kalimat Pak Arkan kembali mengusik kesadaran Evan. Cowok Itu telah memikirkan semua dari titik awal. Tentang mimpi dan semua keraguannya. Cowok itu kemudian melirik biola yang tersimpan di kursi sebelahnya. Betapa angkuhnya biola itu yang hening menyimpan luka namun tetap terdengar merdu. Di sana Evan tidak terlihat asing, dengan nada itu ia teringat akan satu orang yang senantiasa hadir. Biola itu adalah saksi Ega dengan mimpinya yang berhasil terwujud. Evan takut jika hal itu terjadi dengannya saat  ini. Evan menelan ludahnya susah payah antara ingin menyetujui atau berhenti saja di sini. Entah mengapa semua ketakutan itu terbesit begitu saja. Evan ragu akan mimpinya bagaimana jika ia tanggal seperti Ega? Bolehkah ia meminta jawaban atas mimpinya? Evan hanya  anak baru di sekolah ini namun rumor tentang dirinya yang lihai bermain biola sudah tersebar luas.

"Bagaimana Evan, kamu siap lomba untuk besok?" tanya beliau sekali lagi, raut wajah yang berseri di mana tawaran itu hanya sekadar basa-basi agar citra sekolah bisa terlihat. Evan yakin di balik tawaran itu ada harapan bagi Pak Arkan.

"Iya, Pak. Saya siap."

Kedua mata Pak Arkan kian terbuka dan senyuman lebar terbit dari sudut bibirnya, bahwa harapnya cenderung memaksa. Evan tersenyum kaku. Baginya dipaksa seperti ini jauh lebih menyiksa. Keluar tanpa sebuah harapan berarti. Di saat keadaan memaksa lebih mengecam. Wajar, Evan sadar akan posisinya saat ini.

Di pintu keluar, Evan mengangguk tanpa arti. Seolah semesta menghipnotisnya. Ada langkah yang terdengar mendekatinya seperti langkah-langkah yang telah hilang beberapa hari ke belakang, tentang langkah yang tertinggal jauh di belakangnya. Juga suara rintihan yang tiap kali ia rindukan tak lagi terdengar sama.

"Van, tolong berhenti dulu! Aku mau ngomong sama kamu."

Suara gadis itu terdengar kembali yang membuat Evan benci. Cowok itu tak menoleh tetap melangkah tanpa melihat lagi ke belakang.

"Gue sibuk, ada urusan."

"Segitunya kamu sibuk hingga tidak ada waktu bicara dengan aku? Mana karya aku?" todong Pena yang berhasil menahan langkah Evan, lalu tatapnya tajam tak terbantahkan.

Tersenyum tipis, cowok itu menggeser langkahnya menjauh dari Pena. Cowok itu berdecih pelan seakan tengah memandang dinding kosong di ujung koridor kelas.

"Hasil plagiat itu masih dianggap sebagai karya lo? Udah gue bakar, nggak pantas buku itu masih beredar. Nggak pantas semua orang terpesona dengan karya hasil plagiatan itu."

"Apa kamu bakar? Kamu nggak lagi bercanda, kan?" pekik gadis itu dengan nada tertahan. Karena rasanya tidak percaya Evan membakar hasil tulisan Pena.

"Iya, kenapa itu adalah balasan yang setimpal, bukan?"

"Kamu bakar? Kamu nggak mikir itu karya aku satu-satunya." Pena tersenyum pahit, terasa seperti mimpi. Pikiran pena melayang, kehancuran kedua setelah dirinya dituduh melakukan penjiplakan tulisan Cemelia, dan sekarang satu-satumya bukti yang ada telah dibakar Evan.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Where stories live. Discover now