Catatan 23; Kikis namamu

13 5 0
                                    

Pada Akhirnya Angin Pun merenggutmu
Di lembar buku itu, tertulis kikis namamu
yang kucuri dan kuamini diam-diam

Maka izinkan aku bersenandika
dan mengabadikan frasa
setiap napasmu yang penuh emisi

Aku ingin aksara namamu abadi sebelum bumi remuk dihancur waktu;
sebelum fajar dan senja yang saling berganti posisi, sebagai catatanku yang terakhir.


***

Suara papan ketik itu menyeruak, mengsisi hening dalam ruangan yang sudah cukup tersinari oleh mentari. Tak dirasa lelah jemari gadis itu tetap menapak huruf-huruf pada keyboard. Imajinasinya berkejaran saling mengingat ada banyak hal yang harus tetap abadi, meski arah sudah tak berkawan dan kisah bukan lagi tentangnya. Ratusan halaman puisi itu sudah tertulis rapi yang membuat Pena tak paham apakah harus menepi atau tetap menempuh ending tanpa ada kisah apa pun yang Pena dapat.

Di tiap lembar itu tertulis seseorang yang merenggut mimpinya. Di catatannya semua tentang Evan. Pena yang dipertemukan dengannya lalu berbagi kisah. Bertukar pikiran yang membawa Pena bangkit untuk mewujudkan mimpi.

Begitu dalam kisahnya yang sangat sederhana. Pelan-pelan Pena menuliskan tentang Evan tanpa alasan apa pun ia ingin nama cowok itu abadi. Hanya itu dan mungkin akhir nanti Pena tak lagi ingat Evan, ia akan berbalik pada catatannya. Di halaman 325 adalah catatan Pena yang terakhir, dan mungkin tidak akan pernah ada kisah lain lagi. Pena tidak bercerita tentang mimpinya tapi juga tentang perjalanan yang hampir saja ia menyerah dan takluk pada dunia.

Sebab Evan adalah sumber inspirasi yang menjelma dalam catatan Pena.

"Belum siap-siap?"

Tak sadar dari balik pintu gadis itu diperhatikan lekat, disusul cahaya mentari yang masuk ke dalam. Aroma kebangsaan rumah ini masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tak berdebu tak ada aroma kehilangan apa-apa.

Mendengar sapaan itu, Pena mendonggak membalas ekspresi dahi wanita itu yang mengernyit dengan senyuman tipis. Pena menggelengkan kepala sambil menutup notebook-nya ia bersiap mengambil handuk.

"Baru mau, Ma."

"Ternyata pemalas nih, saat kamu tinggal sendirian?" Tantiani menyelidik, tapi wajah anak semata wayangnya mengerjap-ngerjap polos tanpa dosa.

"Enggak kok Ma," kedua jari telunjuk dan ibu jari Pena hampir beradu dan satu kedipan di sudut mata kirinya, "sedikit si."

"Kamu masih tetap menulis? Mama khawatir sebab di sana Mama mendengar banyak tentang kamu. Sabotase."

"Mama tahu?"

"Ayah kamu sering bercerita tentang mimpinya, ranting-ranting di sepanjang jalan hidup Ayah selalu menghadang.  Bahkan gitar peninggalan Ayah itu pernah dipatahkan oleh seseorang. Kamu tahu kenapa Mama tahu segalanya tentang mimpi Ayah kamu?" hening jawabnya selain gelengan kepala Pena dan Tantiani tahu itu, ia sudah menerkanya sejak awal, "Ayah sering bilang bahwa Mama tak pernah punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi. Katanya mimpi Mama terkikis sebagian harapan Ayah kamu yang memilih tinggal bersama Mama. Tapi, Mama tidak menganggap bahwa mimpi itu tidak terwujud, buktinya Mama bisa menulis lirik-lirik lagu untuk Ayah."

"Mama masih ingat puisi terakhir Ayah?"

"Masih, seperti ini," Tantiani meraih foto almarhum Zoni di nakas kopi sebelum akhirnya ia peluk erat, mengehela napas dan itu terlihat sangat berat. Di kelopaknya  tergenang air mata dan sialnya Pena tak tahu. Kemudian bibir Tantiani bergetar hebat, "... aku hanyalah gema-gema berisik di penghentian langkah seorang, mimpinya terpatahkan tatkala sebagian langkahku bersama mengarungi gelombang samudera, sedikitnya rintik hujan, sepotong rona senja, dan setitik kelam malam ..."

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora