Catatan 20; Patahan Debu

20 6 0
                                    

Aku ingin Tuhan mengembalikan kita dari  titik awal
sebagai mana mestinya kita tak saling mengenal
pusaran jarakmu kian membuatku tersesat

Aku melihat lelahmu kian hancur dan pudar
yang ternyata kita hanyalah sepasang fragmen rapuh
yang sudah rusak

Dan setelah hari ini kamu boleh melanglang
Aku sudah mengahancurkanmu lebih dari hari kemarin
Maka, kini saatnya giliranku hilang
selayaknya pulang
yang tak pernah kamu temukan dari sudut  bumi mana pun.
.

***

Cakrawala terbias abu-abu perpaduan hitam dan putih yang saling mengalahkan. Saling memberi warna seolah ingin dikenang. Seperti sejarah terikat oleh seni yang tidak boleh mengesampingkan fakta-fakta di dalamnya. Sejarah bukan legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut, sejarah adalah nyata peradaban dunia.

Dan Pena sering berpikir mengapa harus ada penjajah bila Tuhan telah memberikannya fajar; di pagi hari dan senja; di penghujung waktu atau juga rembulan; di malam hari. Tapi, ia masih tetap menjajah. Dan pada akhirnya Pena menemukan jawabnya. Rupanya sang penjajah ingin layak dikenang. Namanya ingin abadi tertulis dalam buku sejarah. Atau mungkin tidak bagi Evan, buktinya ia telah beranjak sebelum sempat Pena mengabadikan.

Lalu Pena menuntun arti hadirnya Evan di hidupnya yang pernah menjadi paling utama, sejak kalimat cowok itu membenarkan kesalahan-kesalahan tentang asa.

Sepi akhir-akhir ini selalu menemani gadis itu. Tanpa Mama, Evan atau seseorang yang berniat singgah sementara, mungkin?

Malam adalah hal menyenangkan, di mana seisinya hanya kegelapan lampu kamar yang redup dan cahaya rembulan yang mulai mengintip dari luar. Dengan rambut terurai gadis itu duduk di tepi jendela sembari memijat pelipisnya perlahan, sedikit memejam lalu perlahan menoleh pada biola Evan yang tergeletak di meja belajarnya. Antara amarah dan rasa bersalahnya bergelut mengguiliti Pena. Untuk apa menoleh pada luka-luka itu sedang Evan sudah damai menemui tempat kembalinya.

Omong kosong! Camelia telah mempengaruhi semua orang. Bahkan, Reva sebagai temannya perlahan menghilang.

"Pena kamu belum tidur?"

Tiba-tiba lamunan Pena pudar, saat bayangan hitam yang  muncul di sudut jendelanya bergerak mendekati ke arah Pena.

"Heh ngapain manjat-manjat tanpa sepengetahuan tuan rumah? Turun!" sahut Pena nyaris memelototkan matanya, namun cowok itu hanya terdiam  menggaruk ujung kanan pelipisnya.

"Apa kabar? Coba aku tebak, kamu sedang tidak baik-baik?" Cowok itu tertawa hambar sambil membuka tudung jaket di kepalanya.

"Percuma bohong, dari awal tahu 'kan masalahnya apa?"

"Aku cari naskahnya di gudang siapa taju ada. "

"Nggak ada Kak Sigit, aku udah cari sama Eza pas hari ditempelnya sebuah pengumuman di mading waktu itu."

"Percaya nggak sama aku?"

"Nggak. Sebab di dunia ini tidak akan ada keajaiban. Keajaiban hanya diberikan bagi mereka yang baik dan mau berdamai dengan keadaan. Sedangkan aku tidak demikian."

"Padahal, Tuhan memberikan banyak kesempatan dan kejutan tak terduga. Hal yang harus kamu lakukan sekarang adalah tetap melangkah, mungkin beberapa meter di depan kamu akan tersandung akar. Namun, dengan seringnya kamu menemukan akar dan ranting semua itu akan membuat diri kamu jauh lebih hati-hati dan aku percaya bahwa diri kamu mampu melewati semuanya. Mari memulainya dari rasa sakit itu yang tak hanya dijadikan sebagai penawar tapi juga dorongan untuk mimpi kamu. Kamu tak perlu teriakkan dari orang lain untuk bermimpi, hanya kamu yang bisa mewujudkannya."

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Där berättelser lever. Upptäck nu