Catatan 17; Dihempas Lelah

49 7 0
                                    

Menjadi kayu hanya akan terpatahkan, menapak bumi dihempas lelah itu adalah bagaimana telapak ini merayap menaklukan dunia.

Bumi tak lagi muda, ia renta ditelan usia dari sejarah ke peradaban.

***

Di meja kedua itu Evan menyimpan ponselnya tergesa. Simpang siur masalah berlarian tak tentu arah. Ini terlalu pagi untuk sebuah kata menunggu, berulang kali ia menoleh ke pintu berharap seseorang membuka pintunya. Satu menit membosankan maka pintu kelas terbuka membuat Evan terperangah memandang seseorang yang masuk ke kelas.

"Allegra ... ternyata kamu sudah duluan datangnya."

Suara gadis itu memelan seiring langkahnya mendekat ke arah Evan. Tapi, Evan merasa kehadiran itu tak pernah dinanti.

"Allegra aku mau minta maaf semua yang telah terjadi. Oh, ya aku membawa martabak mini susu cokelat. Aku beli langsung ke rumah penjualnya."

"Lo sepagi itu hanya untuk beli martabak buat gue?"

"Iya kamu masih suka, kan?"

"Gue coba ya," ucap cowok itu membuka kotak dan mulai menusuk martabak. Dengan perlahan Evan memakan martabak yang seketika terdiam. "Rasanya masih sama. Gue suka makasih ya."

"Kalau hati kamu bagaimana, All?"

"Pengecualian," sahut Evan menutup kembali kotak martabak lalu mendorongnya ke arah Camelia.

"Oke, mungkin kamu perlu waktu untuk itu. Semalam aku yang mengirimkan pesan kepada kamu. Maaf kalau mendadak."

Tak bisa mengatakan apa-apa selain terdiam, Evan seakan terpusatkan tiap gadis itu mengucapkan kata.

"Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepada kamu. Ini tentang Pena."

"Pena? Kenapa dengan Pena?"

"Kamu tahu kalau aku dan Pena ikut organisasi jurnalistik, Bu Ina memberikan kita kesempatan untuk membuat sebuah karya. Tapi ketika masuk ajaran baru Pena dikeluarkan, aku nggak tahu alasannya dan setelah aku tahu sebabnya aku nggak nyangka kalau—"

Menunggu kalimat Camelia yang menggantung membuat Evan kian mengeratkan jemarinya kuat.

"Kalau ... Pena menjiplak karya aku. All, kamu mungkin nggak percaya sama aku karena selama ini kamu terlihat dekat dengan dia. Aku nggak bermaksud apa-apa, aku senang kamu bisa menemukan orang yang tepat."

Amarah cowok itu mencuat. Aksen nadanya meningkat. Gertakan gigi cowok itu beradu seraya menggelengkan kepala seolah tak percaya. "Karya lo dijiplak? Maksudnya puisi yang ditulis Pena sebenarnya karya lo?"

"Iya. Aku punya bukti, bahkan kumpulan puisi aku sudah terbit. Dan ini ... hasil tulisan Pena yang sudah di print. Isinya semua tulisan aku. Kamu lihat saja semua halaman yang tertulis sama persis sama buku yang sudah aku terbitkan."

"Gue pinjam dua buku ini." Kedua buku yang Camelia simpan di meja ditarik Evan secara paksa meski Camelia memberontak tak rela.

"Jangan! Kamu jangan kasih tahu siapa-siapa tentang buku ini."

Evan bangkit dari kursi. Hari ini sangat buruk dan bagaimana bisa kalau usahanya selama ini telah membuatnya merasa terkhianati. Bagaimana bisa Pena telah membentuk sebuah kebohongan terbesar?

"Lo bilang jangan kasih tahu siapa pun? Ini menyangkut Tante Dian yang akan menerbitkan karya Pena. Kalau nggak dicegah, Tante Dian akan diproses."

Menepis tangan Camelia, Evan melenggang meninggalkan kelas dengan debam pintu yang cukup keras. Sementara di belakangnya gadis itu tersenyum penuh kemenangan. Langkah Evan tergesa dan mendadak berhenti tepat saat Pena berhenti di depan perpustakaan.

𝙿𝚊𝚍𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚐𝚒𝚗 𝙿𝚞𝚗 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚗𝚐𝚐𝚞𝚝𝚖𝚞 (𝙴𝚗𝚍√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang