53. What is Love?

32.4K 2.6K 886
                                    

Mia menggenggam ponsel Arsen. Ia baru saja menghubungi Kazi, ibu tiri Arsen, setelah laki-laki itu diharuskan untuk dirawat inap.

Entah takdir apa yang berkelinan di antara dirinya dan Arsen. Ia tidak menyangka rencananya untuk mengambil barang, demi menuntaskan perpisahannya dengan Arsen... justru berakhir seperti ini.

Rasa cemas dan bersalah merudung Mia. Hatinya makin pilu, ketika Arsen sama sekali tidak melepaskan tangannya sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Mia meremat tangannya. Sial! Semuanya mendadak semakin berat. Bahkan tanpa bertemu saja, mengenyahkan bayangan Arsen sulitnya setengah mati!

Detik demi detik yang terasa mengiris itu, akhirnya membawa Mia hingga bertemu sosok wanita berdarah Jepang, yang tak lain adalah Kazi. Ini adalah pertama kalinya Mia bertemu dengan sosok ibu tiri Arsen, yang jarak usianya tidak sampai sepuluh tahun dari usia mantan kekasihnya itu.

Ketika dilihatnya bahwa wanita itu tidak sendiri, melainkan bersama papa Arsen, jantung Mia berpacu lebih cepat.

"Mia, makasih udah bawa Arsen ke rumah sakit dan ngabarin saya," ucap perempuan itu.

Mia mengangguk, tersenyum kikuk.

"Apa kata dokter?"

"Arsen harus ngejalani beberapa prosedur pemeriksaan untuk tahu seberapa parah luka di perncernaanya. Tapi untuk sekarang, diagnosanya merujuk ke tifus."

Kazi mengangguk. Keduanya terdiam beberapa jeda, hingga papa Arsen bersuara. "Bisa kita ngobrol sebentar?" tanya pria itu, dengan suara beratnya.

Mia meremat tangannya, mengangguk. Keduanya pun duduk di salah satu bangku panjang, yang terletak dekat taman rumah sakit tersebut.

"Saya dengar kamu nggak tinggal sama Arsen lagi?" Papa Arsen membuka suara.

"Iya, Om."

"Lalu kejadian ini?"

"Saya tadinya mau ambil barang-barang saya yang masih di sana. Dan ternyata Arsen ada di apartemennya, dalam keadaan sakit," tutur Mia.

Papa Arsen mengangguk paham. Ia menatap sekilas perempuan yang membuat putranya jatuh hati. Perlahan, sudut bibirnya menarik senyum. Jelas saja, tidak sedikit pria yang rela berjuang untuk mendapatkan sosok seperti ini.

"Maaf sudah membuat langkah kalian jadi sulit," ucap Papa Arsen.

Mia menggeleng. "Kebanyakan orang tua akan melakukan hal yang sama, kalau dihadapkan pada situasi serupa."

"Arsen tumbuh besar dengan kasih sayang yang timpang. Meski begitu, dia yang paling perasa dan menghormati perempuan. Dia yang pertama kali menerima perempuan baru masuk di keluarga kami sebagai ibu tiri, dan menuntun adik-adiknya supaya memanggilnya Ibu. Arsen yang penurut..." Papa Arsen menjeda kalimatnya, seolah ketika mengatakan hal tersebut... benar-benar terbayang sosok Arsen dengan segala kepatuhannya selama ini. "Saya cuma nggak mau kehilangan anak saya. Kedatangan kamu di hidup Arsen, membuat saya kaget. Jujur, saya nggak pernah membayangkan sisi nekat dan emosional meledak begitu saja dari diri Arsen, hanya dipicu oleh satu anak perempuan. Apalagi waktu itu kalian masih belia."

Mia meremas tangannya, mengingat apa yang telah dilaluinya bersama Arsen ketika remaja dulu. Wajahnya menunduk, ketika kembali didengarnya papa Arsen bicara.

"Bertahun-tahun, Arsen terpaksa menjalani pendidikan di negara orang. Tuntutan akademis dan prestasi ketat, supaya jadi figur panutan buat adik-adiknya. Ketika dewasa, harapan semakin banyak diletakkan di pundaknya. Kali ini bukan sekedar urusan otak lagi. Bahkan sampai ke ranah dengan siapa dia menikah nanti. Baik saya maupun keluarga besar, jelas mengarahkannya pada satu sosok. Moza. Dan Arsen tahu itu. Mungkin karena itu pula dia mendadak merencanakan pertunangan. Sampai akhirnya saya tahu, bahwa pertunangan itu ada untuk menjawab masalah dan harapan-harapan orang sekitarnya. Bukan murni keinginannya. Dan lagi-lagi, Arsen melawan karena kamu. Bayangkan, orang tua mana yang nggak terkejut anaknya mendadak jadi pembangkang?"

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang