52. Mutual Feeling

27.4K 2.6K 1.4K
                                    

"Aku..." Arsen melangkah untuk memperpendek jarak antara dirinya dan Moza. Ia menghela napas, lalu merogoh saku celananya. "Mau balikin ini. Ketinggalan di rumah."

Moza terpaku. Ditatapnya ikat rambut miliknya yang tertinggal di rumah Arsen tempoh hari. Ia mendekat, kemudian mengambil benda itu dari tangan Arsen.

Keduanya kembali terdiam. Hingga akhirnya, Arsen bersuara lagi. "Kamu udah makan?"

Moza mengernyit. Setelah datang malam-malam dan mengembalikan ikat rambut seolah benda itu penting sekali, Arsen menanyakan soal makan? Basa-basi apalagi ini?

"Udah. Sebelum lembur tadi aku udah pesen makan," balas Moza.

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Arsen. Lirih, bahkan nyaris terdengar seperti hanya helaan napas. Lelaki itu kemudian menunduk.

"Sen," panggil Moza.

"Hm?"

"Kamu ngapain ke sini?"

Ada gerakan menelan dari leher Arsen, lalu tangannya bergerak mengusap dagunya yang ditumbuhi rambut tipis. "Aku lewat sini, jadi mampir."

"Kamu memang hampir tiap hari lewat sini, kan?"

Arsen mendengus agak keras, setengah tertawa. "Itu masalahnya. Aku lewat sini tiap hari tapi nggak pernah ketemu kamu."

Kening Moza mengernyit lagi. "Kamu mau ketemu aku, ada apa?"

"Apa harus ada perlu dulu, baru aku bisa ketemu kamu?" tanya Arsen balik, kini terdengar lebih lantang.

"Ya enggak," balas Moza. Detik setelahnya, ia berupaya menerjemahkan pesan yang coba disiratkan Arsen dari pertanyaannya. Namun, gagal. "Sen, poin kamu apa sih? Aku nggak ngerti."

Arsen menatap Moza beberapa saat. Kini posisinya sudah tepat di hadapan perempuan itu. Dalam kepalanya, ia menelisik. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan - pertanyaannya beberapa minggu ini.

Apa yang ia lewatkan selama ini? Perubahan apa yang tidak dilihatnya, karena jarak mereka yang terlalu dekat... juga kebersamaan yang menjadi kebiasaan?

Arsen mengamati mata bulat Moza yang memantulkan bayangannya. Moza kecil yang dulu selalu bersama orang tuanya, kini tumbuh dewasa. Selama ini, Arsen tidak pernah memandang Moza sebagai wanita yang ada untuk ia kagumi dalam bentuk romantis. Ia menyayangi Moza, menjagokan Moza dalam segala hal... karena memang Moza adalah sahabatnya.

Bersahabat sedemikian lama, seberapa besar luka yang ia ciptakan untuk sahabatnya ini, hingga sosok itu memilih menghindar?

"Kita ini... terjebak dalam hubungan apa, Moz?" Arsen menatap Moza, matanya tampak sayu. "Selama jeda waktu ini, sejak kamu minta supaya kita ada jarak dulu ... Aku terus kepikiran kamu setelah pengakuan itu. Tapi lagi-lagi aku nggak bisa ngehubungin kamu karena takut kamu nggak nyaman ... Maka, selama itu juga aku nyoba."

Arsen menarik napas dalam, seolah kalimat yang ia untai berikutnya membutuhkan energi lebih. "Aku nyoba keluar dari zona sahabat. Seeing you as a woman. I was trying to turn my feeling from way to love. Buat ngebuka kemungkinan kalo kita punya mutual feeling. Sehingga aku nggak nyakitin kamu."

Arsen menggeleng. "Tapi nggak bisa."

Moza menyimak. Mendadak untuk menelan ludah saja, tenggorokannya terasa sakit.

"I can't put our relationship into romantic way. Dulu, waktu kita sepakat buat tunangan dan berkeluarga... Aku berkaca dari orang tua kita. They're just two people who know each other well, they're married, and then have kids. Without fall in love. Dulu aku pikir itu nggak masalah, selama mereka saling menjaga hubungan baik as a partner, dan nggak ada salah satu di antara mereka yang invest sesuatu yang lebih, dan berharap ngedapetin hal yang sama dari partnernya.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang