46. Benteng Hati

21K 2.4K 6.1K
                                    

Angin bertiup menyentuh helai rambut dua gadis yang tengah berbincang di balkon lantai empat sekolah. Keduanya bukan teman akrab, apalagi sahabat. Seseorang yang istimewa menjembatani pertemuan mereka siang itu.

"Arsen nggak bilang sama lo dia ke mana?" tanya Moza, kepalanya kini bertumpu pada dinding pembatas. Membawa pandangannya ke arah sekelompok siswa yang tengah berebut bola di lapangan basket.

Mia menggeleng. Arsen menghilang tanpa jejak sejak ajakannya untuk bertemu hari itu. "Dia nggak nitip pesan apa-apa sama lo?"

Gilirian Moza yang menggeleng. "Lo ada pesan yang mau disampein?"

Mia tersenyum pahit. "Dia nggak ngasih gue nomornya yang baru. Artinya dia nggak mau dapat pesan atau apapun dari gue, kan?"

Mia menghela napas berat. "Tolong sampein aja makasih dari gue. Buat yang dia lakuin selama ini. Gue nggak akan lupa."

Hari itu, untuk pertama kalinya Mia merasakan kehilangan. Paginya berlangsung pelan. Dirinya tidak lagi utuh. Seolah sebagian dari dirinya ikut direnggut. Entah bagian mana.

Bertahun-tahun berlalu. Mia mencoba menutup rongga dalam dirinya dari kepingan-kepingan yang mengisi hidupnya. Bertahun-tahun Mia mencoba. Namun, bagaimana caranya Mia bisa menutup rongga itu, jika ia bahkan tidak tahu bagian mana dari dirinya yang ikut terbawa bersama Arsen?

Kepingan-kepingan baru mengisinya. Namun, tidak ada yang bisa melebur dengan tepat dan pas dalam dirinya. Tidak sampai ia kembali bertemu dengan Arsen. Sosok yang membawa bagian hilang dari dirinya. Sosok yang sama-sama terluka. Semua terasa pas. Semua terasa sempurna. Tanpa ia sadari, bahwa beriringan dengan saling membagi luka hanya memperbesar luka itu sendiri.

Perpisahan. Baik ditinggalkan maupun meninggalkan, keduanya tidak pernah ramah pada awalnya. Kehampaan, kerinduan, penyesalan, Mia di sini untuk berkompromi dengan itu semua.

"Arsen nelpon gue lagi." Suara Helen terdengar seiring langkahnya memasuki dapur.

"Ini bener langsung dituang gini aja?" Mia mengalihkan ucapan Helen dengan pertanyaan seputar kue yang tengah dibuatnya.

Helen berhenti, memastikan tahapan yang dilalui Mia. "Adonan bawahnya udah agak keras, kan?"

Mia mengangguk, kemudian menuangkan adonan yang masih berbentuk likuid ke atas adonan yang sudah mengeras. Sejak kedatangannya seminggu lalu villa Helen di Bandung, Mia terus menyibukkan diri dengan sesuatu. Mulai dari lari berkeliling di area Car Free Day, mencari bahan masakan di pasar tradisional, hingga memasak beragam resep baru seperti yang dilakukannya saat ini.

"Kalian putus secara nggak baik waktu masih remaja. Kali ini mau kayak gitu juga?" Helen mengambil cangkir guna membuat kopi untuk dirinya dan tunangannya. Weekend seperti ini, pasangan itu memutuskan untuk rehat sejenak di villa milik keluarga Helen, sekaligus menjenguk Mia.

Sambil menunggu air mendidih, Helen bersandar di pantry, menyaksikan tingkah temannya yang terlihat berupaya terlalu keras untuk berlari dan mencari pengalihan dari sesuatu.

"Selesaiin baik-baik, kalo memang mau selesai. Jangan sampe nanti kalian udah pada punya keluarga, punya anak, ketemu lagi, eh... oleng lagi, ngulangin kesalahan yang sama."

Gerakan tangan Mia terhenti. Anak? Keluarga? Mia bahkan tidak bisa membayangkan dirinya jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Apalagi menikah dan berkeluarga dengan sosok baru.

Namun, bukankah memiliki anak bisa dilakukan tanpa cinta? Dirinya saja bisa lahir dari rahim ibunya tanpa pernikahan. Tanpa cinta.

Mengingat hal itu, dalam hati Mia berteriak. Ia tidak ingin menjadi seperti ibunya.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang