5. Yang Tertinggal

51.4K 3.9K 253
                                    

Usai Mia memasang sabuk pengaman, Helen membawa Yaris putihnya keluar komplek pertokoan untuk bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.

"Kelihatannya udah rame, ya?" Helen mengomentari suasana kedai baru Mia.

Tidak ada tanggapan. Dilihatnya Mia masih menengok ke belakang. "Mia? Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Helen.

Seolah baru sadar dari lamunan, Mia tersentak. "Eh! Kenapa, Len?"

"Lo kayak mikirin sesuatu, ada yang ketinggalan? Atau ada masalah?"

Mia menggeleng.

"Bukan," jawab Mia kemudian menghela napas. "Mantan gue." Akhirnya Mia bicara.

"Jadi yang ketinggalan di sana mantan lo?" goda Helen.

Mia berdecak.

"Iseng banget dia nyamperin gue sampe coffee shop. Pas lo nelpon, gue bilang aja lo pacar gue."

"Wow..." Helen tak kuasa menahan tawa mendengar candaan random Mia. "Orang cantik mah bebas ya bikin cowok ilfeel. Hilang satu masih banyak juga yang ngantri."

Mia hanya menanggapi dengan senyuman tipis.

"Eh iya, lo bilang apa tadi?" tanya Mia.

"Kedai lo udah lumayan rame." Helen mengulang kalimatnya.

Mia tersenyum. Setidaknya pagi ini ia mendapati pertanda baik untuk bisnisnya.

"Lumayan. Nggak salah lo nyaranin buat buka di sini. Ya, meski harga sewa tempatnya agak mahal..., tapi worth it."

Helen menanggapi hanya dengan gerakan mengangkat bahu. It's not a big deal. Mia adalah temannya semasa kuliah. Keduanya cocok karena sama-sama anti ribet dan terhitung cuek sehingga suka risih ketika ada geng cewek di kampus yang rumpi.

"Makan di mana jadinya?" tanya Mia, melupakan pertemuan tak terduga di kedai tadi

"Soto Madura, ya? Gue ngidam dari kemarin.

"Oke."

****

Rumah makan yang mereka tuju akhirnya terlihat. Helen mencari celah untuk parkir. Beruntung mereka datang lebih awal. Lewat jam dua belas menjelang jam satu, biasanya tempat ini ramai sampai-sampai pelanggan susah menemukan tempat duduk.

Mia memilih duduk dekat kipas angin. Sembari menunggu Helen memesan, ia memandangi ornamen tempat makan legendaris itu. Di dinding rumah makan terbingkai foto gubernur dan staffnya berkunjung untuk menikmati hidangan kondang khas madura itu. Di sana tercetak angka diambilnya foto itu, tepatnya sepuluh tahun lalu. Mia sedikit terusik. Seperti halnya waktu yang memberlakukan putarannya pada rumah makan ini, waktu juga berlaku terhadap dirinya. Dan tidak ada yang bisa mengimbangi kecepatan waktu.

Pertemuannya dengan Arsen tadi membuat Mia kembali menyelami masa lalunya. Perpisahannya dengan laki-laki itu, apa yang dialaminya paska kejadian itu, dan semua yang membentuk pribadinya hingga seperti sekarang. Selayaknya orang menyelam, bagian pentingnya adalah bisa kehabisan napas jika terlalu lama. Apalagi jika yang diselami serupa air keruh berisi kumpulan memori menyesakkan.

Kehadiran Helen yang menyusul Mia ke tempat duduk seolah menarik Mia dari kubangan masa lalu.

****

Suasana ruang meeting berukuran 4x4 yang diisi oleh empat orang itu cukup sunyi. Tidak ada yang berani bersuara selama salah seorang dari mereka yang berposisi sebagai atasan tengah memeriksa print out ide yang diajukan oleh ketiga anak buahnya.

"Ganti layout-nya!" Moza melemparkan draft iklan yang dibuat oleh timnya ke atas meja. "Kalian bikin layout kayak anak kuliah baru belajar," tukasnya, tanpa ada bantahan.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang