28. HEROIN

23K 1.9K 320
                                    

Mia tengah menonton serial The Thundermans di saluran Nickelodeon, ketika Arsen memasuki kamarnya. Kamar itu bernuansa maskulin dengan interior minimalis, senada dengan ruangan lain di unit apartemen itu. Arsen menyewanya hampir tiga bulan lalu, setelah dirasa ia butuh tempat tinggal yang lebih dekat dengan kantornya.

Tawa Mia sesekali terdengar saat melihat aksi kocak empat bersaudara yang memiliki kekuatan super berbeda-beda itu.

Melihat itu, Arsen tersenyum. Rupanya acara komedi seperti itu tidak hanya mempan untuk menghibur anak-anak, tapi juga orang dewasa yang sedang murung. Ia menghampiri Mia dan menyapa kekasihnya itu dengan kecupan di pipi.

Mia tersenyum. Tangannya meraih dagu Arsen yang ditumbuhi janggut tipis, belum sempat dicukur. "Tadi aku liat di dapur kamu ada macaroni sama keju. Aku bikin schotel, mau aku panasin?" tanya Mia lembut.

"Aku udah makan sih. Tapi... boleh. Aku tinggal mandi dulu, ya?" sahut Arsen. Ia hendak beranjak dari tempat tidur, tapi terhenti karena Mia buru-buru menariknya.

"Sayang, aku bau loh. Belum mandi." Arsen berusaha melepaskan pelukan Mia.

Mia malah mengeratkan dekapannya, menghirup aroma khas kekasihnya. "Sebentar aja. Aku suka kalo kamu pulang kerja," katanya, masih memejamkan mata.

Arsen tidak bergerak lagi. Diusapnya rambut Mia, lalu mencium puncak kepala wanita itu lembut. Ia tahu Mia mengalami hari yang berat. Seharian berupaya berdiri tegak agar tidak terlihat seperti sosok terluka yang berkeliaran. Mia bahkan enggan tidur di apartemennya sendiri demi menghindari ingatan buruk tentang kejadian kemarin.

Baru di hadapan Arsen, Mia bisa dengan leluasa menunjukkan dirinya yang rapuh tanpa takut dihakimi. Di sini, dalam naungan Arsen, Mia bebas meninggalkan dunia dan hanya memandang ke arah lelaki itu.

****

Setelah mandi dan menyantap makan malam yang bagi Arsen masuk kategori snack, Arsen berbaring bersama Mia sembari menonton acara televisi secara acak. Lama tidak menemukan acara yang cocok, Arsen pun memutuskan untuk mematikan pesawat televisi tersebut.

"Aku punya dongeng menarik." Mia bersuara lirih. Namun, Arsen bisa mendengarnya jelas karena posisi Mia yang bersandar di bahunya.

"Hm? Apa?"

"Ada seorang pangeran, jatuh cinta sama peri hutan." Mia mulai bercerita. Sambil bercerita, jemarinya menari-nari di dada Arsen yang kini dibalut piama. "Peri hutan menjelma menjadi tanaman yang bunganya semerbak. Dalam mahkota bunganya ada cairan nikmat yang menggoda siapapun untuk mendekat. Bukan semata cairan yang menjebak. Cairan itu juga ibarat tetesan nutrisi dan racun yang dikumpulkan sang peri hutan selama hidupnya. Sayangnya, kehilangan cairan itu sama saja membunuh dirinya sendiri. Tapi, sudah kehendak dari dewi hutan, bahwa peri hutan tugasnya adalah merayu pengembara yang datang."

Arsen menangkap jemari lentik Mia. Mengusap lembut jari itu sambil terus menyimak.

"Keluarga si pangeran sudah mengingatkan untuk menjauhi sang peri hutan. Namun, peri hutan terlalu memesona. Pangeran terlanjur terpikat. Saat pangeran nggak bisa menahan hasratnya lagi, ia menyentuh mahkota si peri hutan.

"Pangeran pun meminum cairan yang rasa nikmatnya tak tertandingi, tapi juga mematikan. Ia pun meregang nyawa dalam pelukan peri hutan yang kembali ke wujud aslinya. Tanpa disangka, sang peri juga jatuh hati pada pangeran. Melihat kematian pangeran, ia menangis tersedu sebelum akhirnya menemui ajalnya sendiri."

Mia menutup kisah itu dengan nada sendu. Arsen merapatkan tubuh Mia ke arahnya. "What a tragic story. Kamu dapat dari mana?"

Mia mengangkat bahu. "Lupa. Cuma kisahnya aja yang membekas di aku. Besok aku mau bikin ilustrasinya."

Arsen terenyak. "Kamu mau ngelukis lagi?"

Mia membalas dengan anggukan. "Tadi aku belanja cat sama peralatan lukis di olshop."

"Aku nggak sabar lihat hasilnya," ucap Arsen antusias. Lalu keduanya terdiam untuk beberapa saat.

"Sen," panggil Mia.

"Ya?"

"Aku bisa jadi merupakan peri hutan buat kamu. Membius kamu sama apa yang kamu mau, tapi juga ikut menyeret sesuatu yang buruk ke kamu."

Jeda. Detik itu, ponsel Arsen berdering. Namun, Arsen memilih mengabaikannya. "Pada akhirnya keduanya mati bersama, kan? Sama seperti pangeran, aku memilih sama kamu. Apapun konsekuensinya."

Ponsel Arsen berdering lagi. Arsen hendak meraih benda itu, namun tangan Mia lebih dulu merangkulnya, membuat perhatiannya kembali ke wanita itu.

"Kalo kamu nggak yakin, kamu bisa bilang berhenti sekarang." Mia berbisik.

Arsen menatap intens bola mata hitam Mia. "This is my choice. I won't regret it."

Kemudian, Arsen mengambil ponsel dan menolak panggilan yang selama ini pantang ia abaikan. Dijauhkannya ponsel itu entah kemana.

Setelah tidak ada lagi yang mengganggu, Arsen meraih tubuh Mia dan menjatuhkan wanita itu ke tempat tidur, menindihnya. Keduanya saling menatap, sebelum akhirnya mempertemukan dua bibir yang kembali bertaut.

Untuk hari yang terasa panjang dan amat melelahkan, keduanya luruh dalam dekapan satu sama lain. Mengurai untaian rasa untuk saling menguatkan. Dilepaskannya segala penat yang nyaris menghancurkan isi kepala, dalam sebuah aktivitas yang membuat mereka menyatu seutuhnya. Tanpa ada yang lain andil dalam hidup mereka.

------------------------------------to be continued

Just like nicotine, heroin, morphine
Suddenly, I'm a fiend and you're all I need
All I need, yeah, you're all I need

It's you, babe
And I'm a sucker for the way that you move, babe
And I could try to run, but it would be useless
You're to blame
Just one hit of you, I knew I'll never be the same

Camila Cabello - Never Be The Same

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang