48. Terombang - Ambing

23.2K 2.3K 645
                                    

Mia sudah tidak menangis lagi. Setidaknya setelah hampir satu bulan berada di sini.

Mia sudah tidak menangis lagi. Meski tidak bisa menjamin sejauh mana ia bisa bertahan.

Semuanya bisa saja luruh dengan mudah jika ia bersinggungan dengan segala hal tentang Arsen.

Arsen. Mia sempat melakukan panggilan melalui nomor ponsel baru hanya untuk mendengar suara laki-laki itu.

Kala itu awan berarak ke atas pemukiman. Hujan membasuh tanah kering, mengisi sela-sela lubang semut dan rayap. Mia duduk di kursi teras. Ponselnya menempel rapat di telinga kiri, sementara tangan kanannya membekap mulutnya sendiri rapat-rapat.

Takut bila desah napasnya bahkan dikenali. Takut kalau-kalau tangisnya terlepas. Jantung Mia berdegup cepat. Perasaannya carut-marut. Antara berharap mendengar suara yang dirindukannya, tapi lebih tenang bila yang terdengar di telinganya hanyalah nada sambung yang berkepanjangan.

Mia menunggu. Cemas.

Suara air hujan yang ibarat rombongan tentara langit, memukul atap. Menghasilkan suara bising sehingga menyamarkan apapun yang ribut dan berkecamuk dalam diri Mia.

Hingga akhirnya nada sambung lenyap. Berganti suara berat seseorang dari seberang. Seseorang yang hilang dari hidupnya. Seketika Mia merapatkan dekapan tangannya ke mulut. Berusaha meredam apapun agar tidak bocor keluar.

Mia hanya terdiam.

"Halo--bentar Pa!" Arsen bicara dengan seseorang di ujung sana. "Halo? Dengan siapa saya bicara?" ulang pria itu dari seberang.

Sebuah decakan sebal nyaris mengakhiri sambungan, sebelum akhirnya terdengar namanya disebut. "Mia?"

Arsen menyadari kejanggalan itu. Mia pun langsung memutus sambungan dan segera menonaktifkan telepon seluler itu.

Seketika tubuhnya luruh ke lantai. Meringkuk dalam pelukan bumi yang menerima air matanya yang jatuh bersama hujan.

Mia merindukan Arsen. Namun mendengar sosok itu sepertinya mulai bisa hidup normal dan bahkan kembali akur dengan papanya, membuat Mia membungkus rindu itu rapat-rapat. Lalu melepaskannya bersama air mata terakhir malam itu.

Mia lega Arsen bisa hidup normal, tapi ia juga tidak menampik bahwa fakta itu juga membuatnya patah hati.

****

Hangat sinar matahari menyapu sebagian area start Jogja Marathon pagi ini. Spanduk event dan sponsor mulai memenuhi jalanan sekitar Candi Prambanan. Para peliput dari berbagai media mulai memadati lokasi. Sementara para peserta sibuk melakukan pemanasan, ada juga yang berfoto ria sebelum peluh dan panas matahari yang membakar kulit, membuat muka mereka cemong.

Moza mengangkat satu kakinya untuk meregangkan otot-ototnya. Di dadanya sudah tertempel nomor peserta 0915. Di hadapannya, Romeo berdiri menatap sekeliling.

Laki-laki itu mengenakan setelan kaos berkerah abu-abu dan celana jeans warna hitam. Ya, celana jeans. Karena kehadiran Romeo di sini bukan untuk menjadi peserta, melainkan untuk penyambutan dan pemberian hadiah kepada pemenang.

Pasalnya, perusahaan Romeo merupakan sponsor terbesar dalam acara ini. Bekerja sama dengan pemerintah dan asosiasi altlet nasional, event ini menjadi salah satu wujud program CSR dari perusahaanya.

*CSR : Corporate Social Responsibility.

Maka, ketika tahu Moza menjadi salah satu peserta, Romeo menawarkan agar wanita itu menginap di hotel yang sama dengannya. Di kamar dengan fasilitas terbaik, bersebelahan dengannya. Tentu saja dengan connecting door, yang kata Romeo... hanya untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang