8. Cincin Pengikat

38.6K 3.3K 214
                                    

Arsen belum bergerak lagi. Beberapa detik ia lewati dengan berdiam di bawah shower. Air mengguyur tubuhnya. Mengalir dari kepala hingga ke ujung-ujung yang membuat aliran itu membentuk tetesan dan berkawan dengan gravitasi bumi. Tangan Arsen bergerak memijat kepalanya. Dinginnya air mau pun sensasi menthol dari shamponya ternyata tak mampu mendinginkan apa yang mendidih di dalam sana.

Ketika mendengar isu yang menghebohkan itu pertama kali, hal pertama yang dirasakan Arsen adalah tidak terima. Ia tidak terima Mia yang ia kenal terlibat skandal menjijikkan itu. Namun, meski menolak percaya, Arsen tak henti meng-update kabar tentang kasus itu. Beberapa menit sekali ia memeriksa ponselnya. Dan berbagai portal memberitakan hal yang sama.

Damn it!

Ia tidak siap kecewa kalau berita itu benar. Namun, matanya tetap tidak bisa terpejam sampai ada klarifikasi resmi terkait kasus itu. Sampai akhirnya siang tadi, lewat akun media kecil namun cukup terpercaya, Mia dikabarkan tidak terlibat dan statusnya hanya sebagai saksi. Yang mana masih akan diperiksa lebih lanjut.

Kelegaan tentu saja melingkupi Arsen. Namun, belum cukup. Kini ia kalut, gusar, khawatir, dan yang paling parah... tidak bisa melakukan apa-apa. Pertanyaan dan kemungkinan dalam kepalanya bertumpuk. Bagaimana keadaan Mia sekarang? Bagaimana ia menghadapi luapan makian dan hujatan yang terlanjur menyasar kepadanya, tanpa peduli bahwa gadis itu sama sekali tidak terlibat?

Arsen berteriak berang. Kesal karena tidak tahu apa-apa. Faktanya, dia memang tidak punya hak untuk tahu apa-apa.

Tanpa diduga, sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.

Irene membuka pintu kamar Arsen dan menemukan kakaknya itu masih di kamar mandi.

"Kak Arsen belum siap? Keluarga udah pada kumpul loh," ucap gadis remaja empat belas tahun itu. Tampilannya sudah rapi dan anggun dibalut dress warna peach.

Arsen menelan ludah. Teringat bahwa malam ini pertunangannya dengan Moza akan dilangsungkan seperti yang sudah direncanakan.

****

Bunga, lampu kristal, dan berbagai ornamen pelengkap berpadu serasi menghiasi ruangan. Kain dan pita menyelimuti meja, kursi, bahkan bahu tangga.

Di kamarnya, Moza dibantu perias, sedang merapikan kembali dandannya. Baru saja Arsen mengabarkan bahwa sedikit lagi ia dan keluarganya tiba di kediaman orang tua Moza. Gadis itu bercermin untuk terakhir kali sebelum turun ke ruang dihelatnya pesta pertunangannya. Kebaya warna pastel berpayet melekat di tubuhnya dengan sempurna.

Di belakangnya, sang bunda tersenyum mengingat masa mudanya dulu. Merasa bangga telah mewariskan separuh gennya terhadap sang putri.

Deru mesin mobil menandakan rombongan yang mereka tunggu telah tiba.

"Tuh mereka dateng!" Sang Bunda menengok ke bawah dari jendela kamar Moza. Ia pun segera berjalan menuju pintu keluar kamar. Namun sebelum benar-benar keluar, wanita itu menoleh ke arah putrinya. "Bunda turun dulu, ya? Kamu jangan lama-lama," tukasnya yang dibalas anggukan oleh Moza.

Moza mengenakan sepatu heelsnya yang berwarna senada dengan kebayanya, khusus disiapkan untuk hari ini. Kemudian dengan langkah mantap, ia berjalan keluar ruangan.

****

Setelah beberapa patah kata dari masing-masing orang tua sebagai pembukaan, kini giliran bintang utama menyampaikan serangkaian kalimat inti dari sebuah acara lamaran. Tidak ada persiapan. Sesaat sebelum berangkat, atau bahkan sampai sekarang, pikiran Arsen masih terpusat pada satu hal. Mia.

Arsen menghela napas. Ia menatap Moza. Sahabatnya itu tampak jelita dibalut setelan kebaya dan bawahan kain tradisional mengkilap. Arsen pernah melihat Moza tanpa make up. Arsen sering melihat Moza bangun tidur. Arsen juga pernah melihat wajah Moza cemong saat bermain di kelas alam. Arsen bahkan pernah melihat wajah itu pucat karena sakit. Ia seringkali mendampingi Moza ketika gadis itu sakit.

Moza, perempuan itu sudah menetap di memorinya sejak lama. Detik itu, saat pikirannya mulai mengenang masa pertemanannya dengan Moza, otaknya mulai jernih dan tenang. Arsen mulai bicara.

"Jujur, saya nggak inget kapan pertama kali ketemu Moza. Moza udah menetap di memori saya bahkan sebelum saya bisa mengingat. Saling mengenal, menjadi satu-satunya orang yang tahu rahasia masing-masing, membuat kami merasa paling aman dan paling nyaman berada di dekat satu sama lain dibanding dengan orang asing, atau orang baru. Dan saya nggak ingin kehilangan hal itu. Dua puluh tahun mungkin terhitung sangat lama untuk dua orang yang saling mengenal. Tapi bagi kami itu jelas belum cukup, dan nggak akan pernah cukup." Arsen berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada bercanda.

"Karenanya malam ini saya datang ke sini, untuk mengabadikan hubungan ini." Arsen mengakhiri untaian kalimat lamarannya

Jeda beberapa detik, mikrofon diserahkan ke Moza yang berdiri di samping Arsen.

"Acara ini cuma formalitas. Saya yang ngelamar Arsen," ucap Moza enteng. Sama-sama disertai tawa yang membuat kedua keluarga tampak kaget dan tak sedikit yang terkekeh. "Di mobil. Tanpa aba-aba. Dia aja sampai kaget." Moza melanjutkan, yang disusul gelak tawa lagi.

Gadis itu tersenyum. Kemudian seolah menerawang jauh. Rautnya perlahan berubah serius. "Everybody said, we might end up together. But, actually we've already together for the past twenty years, even more. I'm not sure with the number. Because nothing special, indeed. We've just grown up together, and will continue like this for the next 20 years, then another 20 years." Moza menoleh lalu menatap Arsen.

"Jadi Arsen, meski ini menyalahi urutan acara yang udah disusun... Tapi demi mencegah supaya sejarah nggak membingungkan, biar tetep aku yang bilang ini." Moza menarik napasnya dalam-dalam. "Arsenna Samudera, bestfriend-ku, mau kah kamu jadi besthusband-ku?"

Lagi-lagi, Moza membuat seisi ruangan terkejut. Bundanya menepuk jidat dengan kipas di tangannya, ayahnya terpesona dan langsung mengacungkan dua jempol. Calon mertuanya tertawa sambil bertepuk tangan. Dan Arsen, laki-laki itu menatapnya tidak percaya. Bagaimana mungkin ia dicurangi lagi, dicuri start lagi?

Lalu dengan gerakan kilat ia merebut mikrofon yang disodorkan Moza. Ia tidak punya kosa kata selain mengatakan, "That should be my line, Moz."

Semuanya tertawa.

Sebuah cincin emas putih akhirnya melingkar di jari manis Moza.

-----------------------------------to be continued

Pertunangan macam apa sih ini?? Udah cewek yg ngelamar (beneran geleng-geleng sama kelakuan Moza yang unpredictable). Udah gitu calonnya masih nyantol ama mantan!

Udah ya, aku mau tubir dulu sama netijen yg bully Mba Mia. Kasian dia gapunya pasukan. Punya bucin tapi lagi tunangan 🤧🤧

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang